RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #26

POST MORTEM DELIVERY

Salman masih resah meninggalkan keluarganya di Sedanau untuk melanjutkan pendidikan profesi. Terutama ibunya, yang bertambah kurus. Perjumpaan selama 2 minggu, 2 bulan yang lalu terasa singkat. Sesekali Salman memimpikan ibunya yang terlihat ringkih, tetapi selalu tersenyum.

Memasuki masa pendidikan profesi, Salman dan teman-temannya yang sudah eligible, sudah punya hak untuk berinteraksi langsung dengan pasien, termasuk keluarganya. Tetapi tetap di bawah supervisi dari dokter pendidik klinis yang berada di rumah sakit pendidikan utama dan jejaring, serta wahana pendidikan lain seperti PUSKESMAS dan Klinik. Sejak jam 7 pagi kegiatan dimulai dari belajar melakukan anamnesis, atau wawancara untuk mengetahui gejala penyakit, sampai mengonfirmasi diagnosis dan tatalaksana pasien. Sehari-hari kegiatan Salman hampir sama di setiap stase, yaitu diskusi topik penyakit tertentu, mengkritisi jurnal, laporan kasus, dan kerja poliklinik. Tugas jaga di IGD atau di bangsal perawatan, dilakukan setiap sore hingga pagi hari besoknya setiap beberapa hari sekali. Akhir stase diakhiri dengan ujian akhir, dengan mengambil pasien dan penyakitnya sebagai bahan ujian dan diskusi dengan penguji.

Salman tak mampu menahan kantuknya di ruang IGD RS Dokter Soedarso. Pukul dua malam suasana IGD yang biasanya riuh dan hactic oleh pasien-pasien gawat kini mulai hening. Tak ada satupun pasien. Dia sedang menjalani stase pertama, stase Obstetri dan Ginekologi (OBSGIN) yang memasuki minggu keempat, dari total sepuluh minggu. Tubuhnya menyerah. Kepalanya kini tertunduk dan menyentuh meja nurse station, di atas lipatan kedua tangannya. Baju jas putih, stetoskop, dan sebuah pena, masih tersandang di tubuhnya. Perawat, dokter jaga, dan bidan yang juga bertugas, mulai memasuki ruangan istirahat sementara mereka di belakang Salman.

“Eklampsi! Eklampsi!” Teriakan keras terdengar dari pintu masuk IGD

“Kejang! Kejang, woy!” Teriakan itu bertambah keras.

Bunyi roda brankar yang didorong dengan cepat tiba-tiba terdengar. Masuk ke ruang tengah IGD. Didorong oleh petugas ambulance dan dua bidan berbaju dinas putih-putih. Salman terperanjat dan secepatnya berdiri.

Salman terperanjat. Tergagap-gagap dengan apa yang tampak di hadapannya. Ruangan riuh. Berisik oleh beberapa petugas yang bicaranya sangat cepat. Pasien perempuan hamil yang mengalami kejang-kejang kini tepat di hadapannya. Salman berdiri mematung. Tak tahu harus berbuat apa-apa. Teriakan itu juga membangunkan dokter residen yang sedang berdinas, dokter umum, perawat, dan bidan yang berada di kamar jaga. Mereka semua keluar dari kamar dan bergegas menyambangi pasien di bed pemeriksaan Triage 1.

“Salmaaan! Jangan berdiri aja! Cepat bantu!” teriak dokter residen, berbaju dinas biru, dokter Emmy.

Salman bergidik dan segera menyusul mereka, mengelilingi pasien. Instruksi segera disampaikan dokter Emmy. Cepat, tepat, tanpa titik apalagi koma. Pasien itu berusia 40 tahun, dirujuk dari daerah Sungai Ambangah, Kabupaten Kubu Raya, sekitar dua jam dari Pontianak, melewati sungai Kapuas kecil.

“Siap, Dok!”

“Dokter Surya, periksa ABC! Siapkan oksigen! Kakak perawat dan bidan siapkan line infus satu lagi, dan siapkan cadangan infus MgSO4 yang banyak.”

Salman memandangi pasiennya dengan terngaga. Perempuan hamil besar itu kejang, kelonjotan terus menerus tanpa henti. Matanya melotot ke atas. Wajahnya pucat. Sebagian buih keluar dari mulutnya. 

“Salman! Siapkan CTG! Cepat!”

“CTG, Dok?”

“Ce Te Ge! Kamu nggak tahu? Tidur aja kerjaanmu! Cepat!” pinta dokter Emmy yang sedang sibuk memeriksa kondisi pasien.

“Oohh, siap, Dok!” jawab Salman tegas. Tiba-tiba dia lupa nama barang yang disebut dokter Emmy.

Salman bergegas mengambil alat CTG, Cardiotocography, di ruang instrument medis IGD, tak jauh. Alat itu digunakan untuk memantau aktivitas dan denyut jantung janin, serta kontraksi rahim saat janin berada di dalam kandungan. Segera dia bantu dokter Emmy memasang alat itu, dengan melingkarkan sebuah belt mengelilingi perut pasien yang besar. Terdengar kemudian bunyi dug-dug-dug yang ritmis dan berulang, menunjukkan denyut jantung janin, dan terpantau di sebuah monitor.

“Gawat janin!” ungkap dokter Emmy. Semua yang berada di situ cemas. Salman menarik napas panjang. Ini pengalaman keduanya di IGD, dengan pasien gawat.

“Siapkan operasi Caesar! CITO!”

“Siap, Dok!” jawab semua petugas serentak.

“Salman, kamu nanti jadi asisten saya di OK, bersama perawat bedah. Dokter Surya, menyambut bayi, ya. Hubungi juga Spesialis Anak untuk minta ijin, dan dokter anestesi.”

Dokter Surya, yang merupakan dokter umum yang berdinas malam itu mengiyakan dan segera melanjutkan tugas yang diberikan. Salman bersiap-siap.

“Dok, pasiennya apnoe dok, henti napas! Nadinya juga lemah dan lambat!” ungkap dokter Surya.

Mendengar apnoe, Salman kembali terngaga. Bingung apa yang harus dilakukan. Dia hanya menyaksikan suasana suram IGD yang mencekam.

“Salman panggil keluarganya, sekarang! Kita siapkan post mortem delivery!”

Salman bersiap, bergegas keluar IGD untuk mencari keluarga pasien, Tapi, dia tak tahu seperti apa yang dimaksud dokter Emmy. Suami pasien segera menghadap dokter Emmy di ruang dokter. Salman menyaksikan proses edukasi dan penandatanganan persetujuan tindakan medis oleh lelaki paruh baya itu. Raut muka lelaki itu tegang dan cemas. Tak sempat tersenyum ataupun berbincang lama karena keadaan janin genting.

Lihat selengkapnya