RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #28

KELAM Bagian Dua

Salman baru saja kembali dari RS Soedarso, setelah Salat Magrib terlebih dahulu di Masjid AsySyifa di RS. Sempat ia terlelap di pinggir shaf karena tak kuat menahan kantuk. Dari jam tujuh pagi sudah dimulai dengan visite pasien dan menuliskannya di lembar follow up pasien. Jam delapan mulai diskusi topik atau laporan kasus. Jam sembilan hingga jam satu, kerja di poli. Istirahat satu jam, kemudian jam dua hingga sore lanjut kegiatan ilmiah lain. Begitu selalu kegiatan Salman dan teman-temannya di stase IKA.

Memasuki minggu kedelapan stase, membuat Salman resah. Dalam dua minggu ke depan, dia sudah harus menyiapkan sebuah presentasi kasus dari pasien yang sudah dia tangani, Diare Akut Dehidrasi Berat. Ujian tengah stase akhirnya bisa dia lewati saat minggu keenam, meski sempat diancam tidak lulus oleh penguji karena diskusi kasus yang kurang memuaskan.

Dengan mengendarai sepeda motor Honda Suprafit edisi 2005, berwarna hitam dan banyak baretan, dia menuju ke asrama sekitar 10 menit. Jalan Ahmad Yani ke arah Jalan Sepakat II menuju asrama, licin karena baru saja turun hujan yang lebat, memasuki awal September, setelah satu bulan tidak turun hujan. Salman menggunakan jas hujan berwarna biru tua.

Salman menemui Gilang sedang terbaring di kamar. Segera ia mengganti baju kemejanya yang basah dan sepatu cats yang juga kuyup. Air hujan tak mampu ditahan membasahi tubuhnya meski sudah menggunakan jas hujan terbaik. Gilang menjalani cuti satu semester karena kondisi nyeri di kakinya yang memberat. Sudah diberi obat pereda nyeri selama 1 tahun belakangan, tetapi dokter tak memberikan kabar lebih lanjut.

“Salman, ada paket tuh datang dari POS,” jelas Gilang, di kamar mereka.

           “Ooh, dari siapa, Gilang? Eh, bagaimana hasil pemeriksaanmu, Gilang?”

           “Ndak jelas namanya. Cuma pakai inisial. Terbungkus rapat.” Salman mengambil segera paket kardus tipis bersampul plastik hitam.

           “Tadi aku sudah mengambil hasil darah yang kemarin lusa diperiksa. Terus dikonsulkan ke Spesialis Penyakit Dalam.” Salman masih memandangi paket itu. Menggigit bibir bawahnya. Tak konsentrasi mendengarkan Gilang.

           “Hhhmm, hasilnya?”

           “Ankylosing spondylitis.” Gilang tertunduk.

           Salman terkesiap. Urung membuka paket itu. Lalu menatap wajah Gilang.

           “Spondilitis ankilosa? HLA B-27?” Tatapan Salman lebih serius. Juga memandangi tubuh Gilang yang terlihat lebih kurus.

           Gilang mengangguk pelan. Tangan kanannya memegang dahi. Berkerut. Wajahnya muram. Salman segera memeluk sahabatnya itu.

           “Sabar ya, Gilang. Insya Allah sembuh. Jangan lupa berobat dan selalu berpikir positif.”

           “Terima kasih, Salman. Yang kupikirkan sekarang bukan nilai-nilai yang bagus dan sempurna. Bisa lulus tanpa remedial saja sudah cukup.”

           “Semangat, boy. Aku siap bantu kau.”

           “Aku siap dengan semuanya, kawan.” Salman melepaskan dekapannya, lalu tersenyum indah di depan Salman.

           “Sekarang kau buka paket itu. Aku pun tak tahu isinya apa,” ujar Gilang.

           “Okeee, kita buka ya. Kau jadi saksinya. Siapa tau isinya bom. Hehe.”

           Pelan-pelan Salman membuka paket itu. Ditujukan atas nama lengkapnya, beralamat di Asrama Mahasiswa FK UNTAN. Pengirim? Hanya inisial, AJ.

           “AJ? Siapa ya? Tak ada nama dan alamat. Cuma sebuah nomor hape yang tak ada dalam contacts hapeku,” ucap Salman. Gilang menyimak dengan serius, sambil memegang panggulnya bagian belakang.

           “Aku baring dulu, ya, Salman. Panggulku nyeri lagi. Mungkin orang iseng kali tuh.”

           Setelah lapisan terluar paket dibuka, Salman menemukan pembungkus koran. Dirobeknya, lalu ditemukannya kardus kecil seukuran kotak DVD. Gilang melihat Salman gelisah, kembali bangkit dari dipan. Kotak itu berlakban berwarna bening. Dibukanya dengan cutter yang tajam. Salman semakin penasaran. Kardus terbuka. Isinya kumpulan plastik ronyok, dan styrofoam putih yang tercerai berai. Juga koran-koran sobek. Dibuangnya semua, tertinggal sebuah amplop cokelat seukuran map di dasar kardus. Salman mengambilnya paksa dan penuh tanda tanya.

           “Dari siapa, sih? Tak ada nama lagi. Bikin penasaran aja.”

           “Sabar, Salman. Buka pelan-pelan.”

           Tak tahan dengan kejutan itu, Salman langsung merobek ujung amplop. Segera ia ambil isinya. Sebuah booklet berbahan dove, berwarna hijau daun kekuningan, empat halaman seukuran kertas B5 di kedua tangannya. Tertulis A & H di halaman depan.

           A & H?

           “Siapa, Salman?” tanya Gilang.

           Dibukanya pelan-pelan undangan akad nikah itu.

           Abrar Jamaludin bin Jamaludin Tahir? dan Hamidah Husein binti Husein Azhari? Salman tercengang, ternganga.

           “Siapa, Salman?’ tanya Gilang lagi. Salman tak menjawabnya.

           Murka Salman mulai naik ke ubun-ubun. Menggeram. Desiran darah terasa berjalan sangat cepat. Naik dari bagian belakang tubuhnya, sampai ke puncak kepala. Napasnya menderu. Denyut jantungnya menggebu-gebu. Keluar keringat dingin. Tangannya mengepal. Mulutnya membentuk huruf O, sambil menarik napas, lalu mengeluarkannya. Berulang-ulang, sambil melihat ke arah luar kamar. Sontak dia buka pintu kamar. Memandang jauh dengan tatapan sinis.

           Tak mungkin! Ini pasti mimpi! Tak mungkiiiin! teriak Salman dalam hati. Tak mendengar pertanyaan kedua Gilang.

           “Salman!” teriak Gilang. Membangunkan Salman dari berbicara sendiri.

           “Aaaarghhhh!!!” Salman berteriak sekuat-kuatnya di dalam kamar.

Meggema hingga ke luar kamar. Menepuk-nepuk daun pintu, lalu spontan menendang pintu dengan kaki kanannya. Meremas-remas dengan kuat undangan itu dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih mengepal sempurna. Undangan itu terjatuh lemas ke lantai.

Lihat selengkapnya