Kamis pagi, Salman sudah siap memeriksa pasien di bangsal sebagai kasus ujian. Sejak jam tujuh pagi, dia sudah berada di bangsal setelah pada pukul enam pagi, dibagikan kasus untuk ujian oleh staf admin Departemen Anak. Selama satu setengah jam dia melakukan anamnesis kepada seorang anak usia 9 tahun, dan orangtuanya. Pemeriksaan fisik pun dia lakukan. Tetapi dengan pikiran yang kalut, dan jiwa yang gundah. Perutnya pun mual, tak napsu makan. Salman memeriksa pasien itu dengan kacau balau, dan tak terurutan. Tak sesuai dengan yang selama ini diajarkan oleh pembimbing. Ingin dia meminta bantuan Raisa atau Affan untuk mengurai pikirannya yang sedang kusut, tetapi mereka juga sedang menyiapkan ujian akhir. Sesekali teringat Hamidah yang akan menikah satu minggu ke depan.
Anak laki-laki yang berada di hadapannya, pucat pasi, Dadanya sesak tampak naik turun. Kurus kering, dan perut yang membuncit. Di samping anak itu terpasang transfusi darah. Persis seperti kondisi ayah Salman yang dulu dihadapinya. Konsentrasinya membuyar lagi. Salman pun mengambil sampel darah pasien untuk diperiksa di laboratorium RS khusus pendidikan. Hasilnya nanti akan dilaporkan pada saat ujian.
Proses ujian berlangsung sangat menegangkan. Dua orang penguji bertubi-tubi menanyakan riwayat pasien dari awal sampai akhir. Salman sempat gelagapan. Tetapi lumayan bisa menjawab pertanyaan meski tak sempurna.
“Kamu kacau, Salman!” ungkap penguji pertama.
“Masak kamu ndak bisa melihat apa penyebab anemia beratnya ini?” tambah penguji kedua.
Salman terus berpikir dengan menggigit bibirnya. Apa penyebab anemia gravis pada seorang anak.
“Jadi apa diagnosis final kamu nih?”
“Leukemia, Dok.”
“Leukemia? Kamu lihat dong hasil lab nya bagus gini untuk gambaran leukosit-nya!”
“OK, Salman. Sampai di sini dulu, ya. Karena kamu tidak berhasil merangkum hasil pemeriksaan kamu dengan baik, ujian dibatalkan. Nilaimu masih nol. Kami kasih kesempatan satu kali lagi untuk mencari pasien dengan kasus berbeda. Kalau tidak berhasil juga, berarti kamu ngulang stase anak,” ungkap penguji kedua, lalu meninggalkan Salman sendiri di ruang ujian.
“Baik, Dok.”
Salman seketika merinding. Rasa berdesir sampai ke ubun-ubun. Wajahnya cemas. Tertunduk lesu, membisu. Tetapi isi hatinya terasa marah. Marah terhadap kegagalannya.
Aaarrggghh!! Salman menggebrak meja, tetapi tidak terlalu kuat.
Segera diambilnya paksa tas ransel, memasukkan semua buku teks yang dia hamparkan di meja, di depan penguji. Serampangan, sampai kulit buku terlipat-lipat di dalam tas dan berantakan. Dia pun penuh emosional menuju rumah jaga mahasiswa. Raisa dan Affan yang sudah selesai ujian menunggu di sana.
Salman datang ke kamar dengan bermuram durja, menemui teman-teman satu stasenya. Tak ada sedikitpun senyum terpancar. Tak sempat menyapa Raisa dan Affan di ruang aula, dia langsung menuju kamar jaga, melempar tas, dan membenamkan wajahnya ke bantal. Terisak. Merasa gagal ujian. Affan mendatanginya.
“Salmaaaan,” panggil Affan pelan. “Kau lulus kan?”
Masih dengan tubuh yang telungkup dengan kepala terbenam ke bantal, Salman menggeleng-gelengkan kepala dan lehernya. Lalu bangkit dan duduk di atas dipan, menghadap ke Affan.
“Aku ndak lulus, Faaan,” jawabnya lirih. “Aku memang tak bisa belajar banyak minggu ini. Kau tau, kan? Tak bise tidur nyenyak! Mual! Tak napsu makan!”
“Karena kejadian minggu lalu? Kau kan belum cerita ke kami apa yang sebenarnya terjadi,” tutur Affan lembut.
“Midah, Fan, Hamidah! Dia dah disuntung orang! Oleh temanku sendiri!” Salman meraung.
Affan beristighfar. Lalu menyatakan prihatin dengan peristiwa yang dialami Salman. Serta menyuruhnya bersabar, dan berwudhu.