Denyut jantung Salman memacu. Frekuensi napasnya meningkat. Melantunkan istighfar terus menerus. Dokter Budiman yang masih berjaga bersama perawat lainnya secepat mungkin menyambangi. Riuh. Hactic. Berpadu dengan alarm monitor yang membuat bising dan pilu.
“Dokter Salman, biar kami yang tangani sekarang. Kalau Anda tak kuat, mohon menjauh dulu. Sekalian saya ijin melakukan RJP kalau diperlukan, ya,” ungkap dokter Budiman.
Salman sedikit menjauh, berada di ujung kaki ibunya.
“Suction! Bagging! Bagging, Kak!” pinta dokter Budiman kepada perawat.
Perawat memasang alat pompa napas manual, Ambubag. Menutupi hidung dan mulut Nuraini. Lalu dengan tangan kanan perawat itu memompa bagian self-inflating bag, yang menyerupai balon yang bisa dikempiskan dan dikembangkan berkali-kali. Salman pun sudah pernah melihat pemandangan itu selama menjalani kepaniteraan. Dan membuatnya semakin pilu, seperti teriris sembilu. Terisak. Menggugu.
Tuuuuuut! Keluar bunyi tut panjang dari layar monitor.
“EKG, mulai flat! Asistol! Nadi tak teraba!” teriak dokter Budiman. “RJP! RJP! Epinefrin!”
“Siap, Dok!”
“Tiga puluh kompresi dada, dua ventilasi! Kompresi 100 – 120 kali per menit! Biar saya yang kompresi!” tambah dokter Budiman, berbicara kencang tanpa titik koma.
Pemandangan menyesakkan dan mencekam kini ada di hadapan Salman. Ingin sekali dia membantu ibunya sendiri. Tetapi karena belum ada kewenangan klinis, membatasinya melakukan hal itu. Rasa menyesal dan bersalahnya bertambah besar. Merasa ilmu yang sudah dia dapatkan selama ini, tak terpakai.
“Lanjut siklus berikutnya! Sampai dua menit, cek nadi lagi. Masih asistol, nih!” sambung dokter Budiman.
Dokter Budiman yang berada di sisi kanan bed, menyingsingkan lengan baju. Berusaha keras berulang-ulang “menghidupkan” jantung Nuraini yang tetap berhenti berdenyut. Sampai menit kedua puluh, pupil kedua mata Nuraini melebar sempurna. Mati batang otak. Usaha tim ICU kandas. Ibunda Salman berpulang. Dokter Budiman menyampaikan berita buruk itu kepada Salman. Memohon maaf atas segala usaha yang tidak berhasil. Takdir Allah telah menentukan semuanya.
“Sabar ya, Dok,” ungkap dokter Budiman, dengan keringat yang bercucuran. Matanya juga memerah. Bisa merasakan pilu sejawatnya.