RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #31

DISORDER Bagian Satu

Salemba Raya, Jakarta, Oktober 2013

 

Kepergian Tarmizi, Nuraini, dan Hamidah menyisakan bekas luka yang sangat dalam. Salman tak pernah sekalipun terpikir hal itu menimpa diri, dan adik-adiknya. Mimpi besar yang sedang ia rajut, dan hampir menjadi kenyataan, tak sempat disaksikan oleh kedua orang tuanya. Hanya Hamidah, yang entah dimana batang hidungnya, pun bagai niat mendulang intan, tapi terdulang angina. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hati Salman remuk redam bila mengingat semuanya. Bahkan tanpa diundang dan disadarinya, sejak satu minggu setelah kepergian ibundanya, mimpi buruk dan mimpi indah tentang mereka itu selalu hadir bergantian saat Salman mulai memejamkan mata.

Demi menghibur hatinya yang lara, agar tak larut dalam kelam, Salman diajak oleh Affan dan Raisa untuk ikut mereka saja ke Jakarta. Menjalankan stase sandwich untuk stase Forensik dan Medikolegal yang masih dalam pengampuan FKUI. Satu minggu di FKUI di Salemba Raya, Jakarta, dan tiga minggu di RS dokter Soedarso. Walau masih bermuram durja, murung, dan cenderung menarik diri dari teman-temannya, Salman menyetujui usulan itu. Demi meningkatkan kadar hormon endorfin, yang lekat dengan rasa senang dan bahagia. Demi menyembuhkan luka batinnya, ditinggal orang-orang tercinta. Meski Salman tahu bahwa stase Forensik juga bukan stase yang mudah, dia memutuskan sendiri pilihannya tanpa paksaan. Sekedar sebuah short escape dari kenangan buruk di Pontianak.

Mereka berlima, Salman bersama Affan, Raisa, Tania, dan Handy, berangkat dari Pontianak ke Jakarta, hari Minggu malam dengan pesawat terakhir. Lalu menginap di Mess Provinsi Kalimantan Barat di daerah Guntur, Manggarai. Salman tampak segar dan bugar, namun masih tak banyak bicara. Terkadang melamun sendirian, melihat jauh dengan tatapan kosong. Teman-teman stase selalu menghiburnya. Mengajak juga untuk segera mengikhlaskan takdir yang telah terjadi. Salman masih tersenyum pahit ketika disapa, lalu melamun lagi. Tak seperti biasanya, yang selalu ceria dan antusias.

“Salman!” panggil Affan pelan, Minggu malam sesampainya di Mess, dan mereka mulai tidur. Salman terdengar terisak. Memanggil-manggil Ayahnya.

“Salman! Salman!” panggil Affan lebih keras lagi, sambil menepuk tungkai bawah Salman.

Salman terkaget, lalu beristighfar, pukul dua pagi.

“Kau mengigau, Salman. Kau mimpi, ya? Baca doa setelah ini, sebelum kau tidur lagi.”

“Astaghfirullah!” Salman mengusap wajahnya. Lalu kembali terbaring dan terpejam.

Saat terpejam, antara tidur dan tidak, Salman kembali terisak. Memanggil-manggil Ibunya, dan Hamidah.

“Salman! Kau mengigau lagi!” ungkap Affan. “Lebih baik kau wudhu dulu sana.”

Salman bergegas membasuh mukanya di toilet kamar, yang dihuninya bersama Affan. Membasuh sebanyak mungkin, berulang-ulang. Agar mimpi yang dialaminya segera enyah selamanya. Salman lalu menyambangi cermin yang ada di toilet, menyaksikan refleksi wajahnya sendiri. Muram, tak bersemangat. Merasa wajahnya kotor dan banyak dosa, karena kurang berbakti kepada orang tua. Salman membasuh lagi wajahnya, berulang-ulang. Dalam mimpinya, Salman melihat ayah dan ibunya menyesal, karena Salman tak merawat mereka sampai sembuh. Hamidah juga marah karena tak bisa menyelamatkannya dari cengkeraman Abrar.

Hamidah? Kau kenapa?

“Salman! Lama sekali kau di dalam?” Terdengar suara Affan memanggil dari tempat tidur.

Berkali-kali mencuci muka dan mencuci tangan, berkali kali juga Salman merasa tidak bersih.

Salmaaan... Salmaaan.

Terdengar suara memanggil namanya. Mendayu-dayu. Suara perempuan nan lembut. Salman merasa mengenali suara itu, suara ibunya.

Emak?

Salman berbicara sendiri. Lalu memukul mukul kedua pipinya untuk memastikan dia berada di alam mimpi atau alam sadar. Suara itu kemudian menghilang. Salman paham, dia masih di alam sadarnya.

“Salman?” panggil Affan, menuju toilet.

“Fan, aku dengar suara Emak aku barusan! Tetapi menghilang!” Napas Salman terengah-engah.

“Betul, ke? Kau melamun lagi, kah? Atau cuma perasaan kau, jak? Insya Allah Emak kau sudah tenang.”

“Tapi terasa nyata sekali, Fan!” ujarnya serius, menatap Affan penuh antusias.

Lihat selengkapnya