RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #32

DISORDER Bagian Dua

Salman menyunggingkan senyum. Dia melihat jasad itu persis ibunya, dengan wajah yang bercahaya, sambil tersenyum. Posisi tahi lalat di pipi kiri jasad semakin membuat alam pikir Salman kacau. Salman ragu ingin menyentuh. Tetapi, karena muncul rasa kerinduan yang menyeruak terhadap Nuraini, Salman memberanikan diri menyentuh wajah jasad itu.

Blub! Lampu-lampu ruangan otopsi menyala.

Salman terperanjat. Melihat ke seluruh ruangan yang awalnya redup dan suram. Seketika itu pula ruangan terasa terang benderang. Jasad yang dilihat Salman tampak cantik dan berseri, langsung berubah menjadi sosok yang kurus kering, pucat pasi, dan raut muka sedih seperti menahan sakit. Wajah jasad itu menyerupai tengkorak yang berbalut kulit. Salman refleks menjauhi meja.

Mak! Bangun, Mak! Tiba-tiba Salman tersedu.

Bangun, Mak! Salman rindu, Emak dan Ayah.

Salman terus menangis. Air matanya bercucuran ke lantai. Tangannya berpegangan ke sudut meja.

Jasad itu tak bergerak, terbujur kaku. Mata terpejam sempurna.

“Bang Salmaaaan.” Sebuah suara perempuan nan lembut dan mendayu-dayu kembali terdengar, seperti orang berbisik.

“Bang?” Suara itu kembali terdengar.

“Hamidah? Kau di sini? Kau dimana, Midah?” tanya Salman, mencari-cari sumber suara.

Suara terasa terdengar jelas di samping kuping kanannya. Salman berputar pelan-pelan ke kiri, lalu ke belakang, memutar berlawanan dengan arah jarum jam. Mencari sumber suara. Persis di belakangnya berdiri di awal tadi, dilihatnya ada wastafel dan cermin yang menempel di dinding. Berharap ada sosok Hamidah muncul di cermin itu, tetapi hanya bayangan dirinya. Salman melihat tubuhnya yang lemah dan lesu. Pucat pasi.

“Midah? Di mana kau?” tanya Salman.

“Bang Salmaaaan, tolong sayaaaa!” Sebuah suara muncul kembali dari arah belakangnya, tetapi tak muncul sosok orang lain.

“Midah! Jangan kau dekati dia! Pulang kau!” Terdengar suara lelaki di belakang Salman.

“Abrar? Di mana kau? Kalian di mana?” tanya Salman, dengan nada tinggi, sambil mencari sumber suara. Kini dia memutar badan searah jarum jam. Melihat ke langin-langit.

“Bang Salmaaaaan! Tolong saya, Baaang!” teriak suara menyerupai Hamidah. Terdengar keras di telinga kiri Salman, lalu di telinga kanan, berakhir di belakang kepalanya. Namun, semakin lama semakin kecil.

Salman juga mendengar suara Abrar yang memarahi Hamidah, dan merampas tangan Hamidah untuk menjauh.

“Hamidaaaah… Di mana kau, sayaaaang?” Salman masih memutar-mutarkan badannya ke kiri dan ke kanan, bergantian. Sambil terisak, dan muka yang mewek.

Lihat selengkapnya