Raisa dan Affan mengantarkan Salman dari Bandara Supadio, menyusuri Jalan Ahmad Yani yang licin karena hujan. Hingga tiba di depan gerbang asrama. Stase yang tak hanya mencekam, namun juga memberikan pengalaman baru bagi Salman. Mereka berdua selalu ada di setiap perjalanan Salman menempuh pendidikan. Teman seangkatannya, yang akan berpisah karena mereka akan menjalani stase terakhir, setelah Forensik. Berbeda dengan stase yang akan diikuti Salman, karena ketinggalan satu semester lebih. Tapi dia sendiri tidak tahu, apakah bisa melanjutkan ke stase di RS Soedarso mulai Senin besok, dan stase-stase berikutnya.
Salman masih memiliki Gilang yang sudah menunggu di kamar. Gilang, ketinggalan hampir satu tahun karena penyakit autoimun yang menyerang. Dia juga akan menemani Salman menghabiskan masa pendidikan yang tersisa, jika Salman bisa bangkit kembali. Affan dan Raisa melihat Salman tersenyum ringan di lobi asrama. Dari kaca jendela, dari mobil yang diluruhi tetesan air hujan dan pelan-pelan beranjak. Salman mengangkat sedikit tangannya untuk memberikan lambaian, namun tampak lemah dan tak bersemangat. Sosok periang, yang kini seperti senja nan muram, dan mengalami peristiwa yang membuatnya remuk redam, raga maupun jiwa. Affan dan Raisa menahan haru, tak kuat menyaksikan wajah sahabatnya yang masih terlihat lunglai.
“Assalamu’alaikum,” ucap Salman, memasuki kamar.
Salman seperti orang yang kelelahan dan afek yang datar. Namun Gilang menyambutnya dengan antusias, beranjak dari meja belajarnya.
“Salmaaan! Waalaikumsalam.”
Gilang tersenyum tanda gembira, lalu menarik tangan kanan Salman, dan mendudukkannya di dipan.
“Hey, gimana Jakarta, a dreaming city? Pasti kalian banyak jalan-jalan ya? Aku lihat kalian di Facebook Affan. Seru banget, ya!”
Gilang menatap Salman dengan wajah serius. Salman membalas senyuman Gilang secukupnya. Datar.
“Salman? Kau kenapa? Masih teringat Hamidah?”
“Jangan kau sebut-sebut lagi nama itu, Gilang!” Tiba-tiba Salman menghardik.
Lalu Salman berbaring di kasur, menatap ke langit-langit. Sesekali dia terpejam dan menarik napas dalam.
“Uppsss, sorry. Aku tak bermaksud menyinggung. Aku hanya ingin mengajakmu move on dari riwayat-riwayat yang membuat hati dan pikiranmu hancur, boy.”
Gilang sudah mengetahui kasus yang menimpa Salman, dari Affan, pagi hari setelah kejadian di IGD RSCM.
“Kau belum tidur?” tanya Salman. Mengalihkan pembicaraan.
“Aku lagi belajar. Besok ada ujian DOPS, Direct Observed Procedural Skills.”
“Stase apa?” tanya Salman lemah.
Gilang tertawa. “Salman, Salman. Stase yang dijalani kawan sekamarmu saja kau lupa?”
“Astaghfirullah. Kok aku bisa lupa, ya? Stase THT, kan?”
“Iya. Besok ujian DOPS, pemeriksaan telinga menggunakan otoskop. Besok stase minor minggu kedua. Minggu ketika ada ujian Mini-CEX. Minggu keempat baru ujian akhir. Seminggu di FKUI, seru kan? Ketemu kasus-kasus popular dan sering muncul di TV.”
Salman menyeringai, sinis.
“Yuk, kita tidur aja,” ajak Salman.
“Tidur? Baru jam 10, Salman. Biasa pun kau tidur larut.
Gilang merasakan perbedaan berarti sejak kedatangan Salman dari Jakarta. Setelah kejadian bertubi-tubi yang menimpanya, Salman hampir tiap malam insomnia, dan sering sekali mengigau. Tapi malam ini, Gilang melihat Salman mudah mengantuk.
“Kau dikasi obat penenang?”
“Iya, Gilang. Terasa sekali ngantuknya. Badan-badanku juga lemah rasanya.”
“Semangat, Salman. Itu perasaan kau saja.”
“Kau udah bisa lepas tongkat, boy?” tanya Salman, tersenyum ringan.