“Mau sampai kapan kamu ingin menenangkan diri, Salman? Sebulan? Setahun? Waktu terus berjalan, Salman.” Profesor memancing. Salman memegang keningnya. Kepalanya terasa berat dan nyeri hingga ke bagian oksipital.
“Kamu mau sembuh, kan? Kalau bukan kamu sendiri yang memulai, lalu siapa yang bisa bangkit selain diri kita sendiri. Masalah seperti ini bisa sembuh tanpa obat. Cukup dengan psikoterapi. Bila diperlukan, baru ditambahkan obat,” ungkap Profesor lagi.
Salman lama tak merespons ajakan Profesor. Beranjak dari dipan, lalu berdiri memandang jauh melalui pintu kamar yang terbuka. Berkacak pinggang, kemudian memegang kusen pintu dengan tangan kanannya. Kemudian masuk lagi ke kamar, dan duduk di sisi dipan. Melamun, melihat ke arah lantai, sambil sesekali menutup mulut dengan tangan kanan. Jantungnya berdebar-debar. Sesekali menarik napas panjang, kemudian membuangnya. Profesor sengaja menunggu tanggapan itu untuk memastikan bahwa tilikan Salman masih baik. Masih ingin sembuh. Atau tilikan buruk, yang malah menganggap dirinya tidak sakit sama sekali dan tidak butuh pengobatan. Profesor menunggu dengan was-was dan harap-harap cemas. Juga tak sedikitpun mengalihkan perhatiannya selain melihat sosok Salman yang terus bergerak mondar-mandir dan tampak resah.
Nasihat Profesor Tjokro mulai masuk ke alam pikir Salman. Sebagian besar dia membenarkan, tapi masih ada yang dia tentang. Bayangan-bayangan kejadian yang melibatkan ayah dan ibunya, serta Hamidah masih muncul. tetapi kemudian hilang.
“Baik, Prof.” Profesor Tjokro cukup terkesiap, mendengar suara Salman setelah lama hening.
“Gimana, Salman? Mau kan kamu berobat?”
“Saya bersedia, Prof. Tapi bantu saya sembuh, ya, Prof.” Profesor menyambut hal itu dengan penuh antusias dan mengucap syukur.
“Alhamdulillah. Besok kita sama-sama berangkat menemui dokter Dora, ya, di RSJ Sungai Bangkong.”
“Insya Allah, Prof.”
Salman refleks mendekati Profesor Tjokro, dan mencium tangan beliau. Wajah Salman mulai terpancar aura kebahagiaan. Kadar serotonin dalam darahnya mulai meningkat sedikit. Profesor Tjokro pun serta merta memeluk anak didiknya.
***
Kabar Salman mengambil cuti satu semester, terdengar hingga ke telinga Raisa. Ia paham betul kondisi internal Salman yang hancur setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya. Raisa yang masih di bawah pembimbingan Profesor Tjokro, sungkan untuk menemui beliau. Tapi, demi mendapatkan kabar tentang Salman, Raisa memberanikan diri menemui dokter ahli andrologi itu di ruangan beliau.
Raisa mengetuk pintu dan melihat Prof Tjokro duduk di meja kerja, sambil mengerutkan kening. Setelah dipersilahkan masuk, ia pun pelan-pelan dan merunduk memasuki ruangan, dan duduk berhadapan langsung dengan profesor. Lelaki di hadapannya itu tampak lesu, menutup sebuah file berwarna kuning setelah sebelumnya dibolak-balik oleh profesor, dan memperhatikan dengan detil setiap halamannya dengan serius.
“Silahkan duduk, Raisa. Apa kabarmu? Gimana koass-mu? Lancar?” tanya Profesor.
“Alhamdulillah, Prof. Sejauh ini lancar dan tidak ada yang mengulang stase.”