Dokter Dora sudah terinformasi mengenai rencana Salman untuk menemuinya. Profesor Tjokro sangat berharap Salman mampu melewati semua kepahitan beruntun itu, karena insight atau tilikan Salman masih baik, sehingga memberi peluang lebih besar untuk kebaikan Salman. Dokter Dora dan Profesor Tjokro juga sudah membuka lagi catatan hasil serangkaian pemerikaan psikologi dan MMPI selama Salman dan mahasiswa lain menjalankan pendidikan di fakultas kedokteran. Mereka berdiskusi dengan intensif, dan melihat lebih jauh potensi Salman secara psikologis dalam menghadapi tekanan hidup.
Namun, wajah dokter Dora dan Profesor Tjokro tak cukup sumringah. Perlu usaha keras agar kewajiban mereka menuntun semua mahasiswa yang mengalami hal sebagaimana Salman, bisa berhasil dengan baik.
Salman urung menemui dokter Dora. Beberapa malam setelah kunjungan dari Profesor Tjokro, ia selalu bermimpi bertemu dengan mendiang ayah dan ibunya yang terlihat ringkih dan kurus, tetapi kulit mereka berdua cerah dan memancarkan cahaya dari balik pakaian putih. Nuraini dan Tarmizi tersenyum melihat sosok Salman, namun disertai batuk-batuk pada keduanya. Semakin lama semakin keras, dan akhirnya menghilang dari pandangan mata Salman. Pukul tiga pagi, Salman pun tersentak, dan terjaga, lalu terduduk dengan peluh yang membasahi baju tipisnya. Dilihatnya Gilang masih tertidur lelap. Tapi koper kini tertutup rapi, dan berdiri menempel di sudut kamar, padahal ia tak merasa merapikannya setelah bertemu Profesor Tjokro. Beragam barang-barang yang berserakan dan berantakan juga telah tersusun apik.
“Emak ke yang merapikan semua ini?” tanyanya dalam hati. “Atau Ayah?” tanyanya kembali dengan napas yang terengah-engah. “Mak? Ayah?” Kedua mata Salman berkeliaran ke seluruh penjuru kamar, untuk memastikan apa yang ia pikirkan.
Gilang terbangun mendengar suara Salman, dan segera menegurnya.
“Salman? Ape kau buat?”
“Aku terkejut, Gilang. Tapi tak perlu lah kau risau.”
“Istighfar, Salman. Jangan-jangan sebelum tidur tadi malam, kau lupa bace doa.”
“Astaghfirullahal adzim.” Salman menutup kening dan kedua matanya dengan telapak tangan kanan.
“Cobe kau tidur lagi habis ini. Kalau tak bise juga, segera kau ambil wudhu. Mau tahajjud boleh, berdzikir pun lebih bagos lagi. Mane tasbih kau yang selalu kau bawa di tas kau tuh?”
“Tasbih? Tasbih yang mane?” tanya Salman dalam hati. “Tasbih dari Hamidah?”
Salman pun menjawab dengan ketus. “Jangan kau sebut-sebut lagi barang itu, Gilang! Besok nak kukubur benda itu!”
Gilang hanya menggeleng. Salman lantas menarik kembali selimutnya dan larut dalam tidurnya yang mulai memanjang sejauh ini.
***
Salman nekat meninggalkan kampus dan rumah sakit. Ia lebih memilih kembali ke Sedanau. Ia sudah tak kuasa menahan rindu. Untuk menemui adik-adiknya, dan Pak Darwis. Sosok yang sudah seperti pengganti ayahnya kini berada di hadapan, menjemput Salman di pintu keluar Pelabuhan Selat Lampa. Baru saja dia turun dari kapal Bukit Raya, Pak Darwis langsung menyambutnya dengan penuh haru, ditemani oleh Dayah dan Bukhari, pada Minggu pagi. Mereka memeluk Salman satu per satu, khusyuk melepas rindu.
“Sehat kau, Salman?”
“Alhamdulillah, Pak Long. Pak Long sendiri sehat?”
“Sehat, Salman, demikian pula adik-adikmu.”
Salman tersenyum melihat semuanya. Tapi, senyumnya masih belum sebebas biasanya. Senyumannya tertahan. Salman sempat membelai-belai kepala Dayah yang sangat dewasa, yang sudah dua tahun lebih menjalani kuliah dan sebentar lagi akan menyusun skripsi. Bukhari pun sedang di kelas dua SMA di Sedanau. Salman menyaksikan Dayah tumbuh dewasa menyerupai almarhumah ibunya yang bermata sipit. Serta memandang Bukhari yang kurus tinggi, menyerupai almarhum ayahnya. Salman merasa melihat sosok kedua orang tuanya. Sesekali menimbulkan palpitasi di dadanya. Tapi segera dia abaikan.
Sambil mengendarai mobil di kursi sopir, Pak Darwis banyak menyampaikan petuah. Beliau sudah tahu kasus yang menimpa Salman, dari Gilang dan beberapa temannya yang berasal dari Natuna.
“Sabar ya, Salman. Pak Long yakin kau bisa melewatinya semua. Dan kita harus banyak bersyukur. Tak semua orang di Sedanau ini bisa sekolah sepertimu.”
“Insya Allah, Pak Long.”
“Kalau saja daun yang jatuh berguguran tak akan pernah membenci angin, bagaimana mungkin kita, manusia yang punya akal, bisa memprotes Pencipta kita sendiri yang Mahatahu dan Mahasempurna.”
Salman lebih banyak terdiam. Sesekali lamunannya kosong, memandang hijaunya Sedanau di sepanjang perjalanan.
“Iye, Pak Long.”
Sesampainya di Sedanau, Salman menginap selama dua minggu di rumah Pak Long, yang tinggal berdua saja bersama istrinya, serta Bukhari. Salman tak kuasa melirik rumah Hamidah yang dilewatinya ketika menuju rumah Pak Darwis di dekat Kantor Camat Sedanau. Salman juga belum berani berkunjung apalagi tinggal di rumahnya di tepi pantai. Dia khawatir akan membuka luka lama tentang kenangan buruk dengan orang tuanya. Dan bisa menghambat proses penyembuhan dirinya.
Darwis mengajak Salman kembali ke dermaga. Tak banyak berubah. Kedai ikan Darwis pun masih teguh berdiri di tepi dermaga.
“Hhmmm, Hamidah ade di sini ke, Pak Long?”
Pak Darwis menggeleng. Beliau tak tahu banyak tentang keberadaan Hamidah.
“Kenapa kau tanyakan itu, Salman?”
“Tak ade maksud ape-ape, Pak Long,” jawab Salman singkat, sambil tersenyum kecut.
“Ooo, Pak Long kire kau masih merindukannye,” balas Darwis sambil terkekeh.
“Sudah tak mungkin lagi, Pak Long. Nasi sudah menjadi bubur. Buat ape disesali. Tapi…”
“Tapi ape, Salman? Kau masih sakit hati same die dan Abrar?”