Pantai Tanjung, Ranai
“Kernas! Kernas!” teriak Dayah, petang hari di pesisir Pantai Tanjung.
“Air kelapa muda! Enak! Segar!” teriak Bukhari. Ia menawarkan dagangan khas Natuna, kepada para pengunjung yang ramai menikmati pemandangan indah menjelang terbenam matahari.
Selama di Sedanau, kemudian memilih pindah ke Ranai, Salman dan adik-adiknya bertekad untuk meneruskan usaha ibunya untuk berjualan kernas dan kerupuk. Mereka harus bertahan hidup secara mandiri, walaupun Pak Darwis sudah siap sedia menanggung mereka. Dua bulan masih belum cukup bagi Salman untuk meningkatkan motivasinya untuk kembali ke kampus lagi.
“Bang Salman di mane, Kak?” tanya Bukhari.
“Mungkin lagi duduk di batas pasir dan gelombang sana, Bu,” jawab Dayah.
Hidayah lalu menunjuk ke sebuah sosok di pinggir pantai yang berwarna putih kekuningan. Sosok lelaki yang terpaku, menatap jauh laut lepas, dan sesekali melihat ke Pulau Senoa yang berwarna kebiruan.
Salman mengingkari janjinya untuk menemui dokter Dora sesuai saran Profesor Tjokro. Ia lebih memilih pulang dan berkumpul dengan kedua adiknya. Melepaskan penat dari hiruk pikuk dunia akademik. Meninggalkan Sedanau, berharap agar kenangan buruk yang menimbulkan luka bisa terhapus. Setelah pindah ke Ranai, Salman masih sering melamun. Teringat kebersamaan bersama mendiang kedua orang tuanya. Dua kali dia masih memimpikan Hamidah, yang terlihat lusuh dan kurang bahagia meski bersama Abrar.
“Kalian Dayah dan Bubu. Apa kabar kalian?” Seorang perempuan muda menyapa tiba-tiba.
Dayah dan Bukhari terperanjat. Mata mereka terbelalak. Dayah mengangguk. “Iya, Kakak siapa ya?”
“Saya Raisa!” jawabnya tegas sambil menghulurkan jabatan tangan.
“Kak Raisa? Teman Bang Salman kan? Abang sering cerita ke kami tentang Kakak. Kakak orangnya pintar kata Abang.”
Raisa tersenyum simpul. Berjuta pertanyaan muncul di benak Dayah, apa tujuan Raisa ingin menemui Salman.
“Iya, Dayah, Bubu,” jawab Raisa dengan seutas senyum. “Abangmu dimane?”
Dayah menunjukkan kepada Raisa posisi Salman yang tampak berjalan mondar-mandir mengarungi ombak yang bercampur pasir, dengan kaki telanjang. Setelah berterima kasih dan mencuil kedua pipi Bukhari dan Dayah, Raisa bergegas, dan tak sabar menyapa Salman yang tampak melamun memandangi laut lepas.
Raisa terpesona melihat keindahan pesisir pantai pulau Natuna yang menenangkan itu. Pohon kelapa menjulang tinggi, tumbuh rapi tersusun di sepanjang pantai. Persis seperti yang pernah diceritakan Salman kepadanya, Affan, dan teman-teman seangkatannya. Angin sore yang bertiup cukup kencang menyibak-nyibak jilbab, baju, dan celana Raisa. Ia pun berlari-lari kecil menapaki pasir yang kekuningan, disertai suara debur ombak.
Salman masih berjalan-jalan pelan, sesekali duduk di atas pasir, kemudian berdiri kembali. Ia juga beberapa kali melemparkan satu demi satu batu-batu kecil ke arah laut lepas. Batu-batu itu memantul di atas air dua hingga tiga kali hingga akhirnya tenggelam. Raisa memandangi sahabatnya itu dengan seulas senyum dan hati lapang, tapi sesekali timbul rasa cemas, apakah Salman mau menerima kehadirannya. Raisa melihat Salman, dan mendekat pelan. Ia tak berubah secara fisik, tetapi pipinya mulai tirus.
“Bagus sekali lemparan kau, Salman.” Raisa tiba-tiba menyapa Salman. Membuat Salman bergidik. Ia kenal betul suara lembut itu. “Salmaaaan! Assalamualaikum.” Salman menoleh, dan kini mereka berdua berhadapan berjarak lima meter.
“Hai, Raisa. Waalaikumsalam,” jawab Salman, bernada datar. Tak bersemangat, tapi berbalut senyum tipis. “Apa kabarmu?”
Salman sangat menaruh rindu kepada Raisa, Affan, Gilang, dan teman-temannya yang lain. Tetapi, loss of energy terlalu kuat mencengkeramnya, sehingga Salman tak antusias di mata Raisa.