RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #37

KURVA

Rumah Sakit Jiwa Provinsi KALBAR, Sungai Bangkong, Pontianak

 

           “Salman, terima kasih sudah mau datang, ya. Saya sangat senang kamu bisa kooperatif,” ujar dokter Dora, saat menerima Salman di ruang periksa Poli Psikiatri. Profesor Tjokro, yang ikut mengantar, menunggu di doctor’s lounge.

           “Siap, Dok.”

           Salman masih terlihat lelah dan mengantuk. Tetapi dia memaksa dirinya sendiri untuk memenuhi anjuran Profesor Tjokro menceritakan detil demi detil kejadian yang dia alami. Sejak awal masuk kuliah, tinggal kelas, skipsi, hingga masuk ke pendidikan profesi dokter. Dan hal-hal terpenting yang menjadi pemicu gangguan yang dia alami selama ini. Hampir satu jam dia bercerita di depan dokter Dora, dokter yang kental dengan logat Batak.

           “Salman, apakah kamu ingat di buku Synopsis of Psychiatry Kaplan and Sadock? Di dalamnya terdapat dua aspek yang sangat erat kaitannya dengan kondisimu saat ini. Yaitu, kurva The Kubler-Ross model, dan CBT.”

           “Masih ingat, dok. Dulu di Modul Saraf Jiwa, saya pernah baca. Kalau CBT apa maksudnya, Dok.”

           “Cognitive Behaviour Therapy. CBT sangat diperlukan untuk relieve dari gangguan kejiwaan. Obat hanya diperlukan kalau kondisinya berat. Saya lihat pencetusmu berat, significant loss dalam kehidupan. Pacar, Ayah, dan Ibu. Ditambah faktor-faktor lain yang menjadi penyerta. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa membaik. Kamu sendiri tahu itu kan?”

           Salman tertegun. Mengingat kembali materi kedokteran jiwa yang telah dia pelajari. Insight-nya yang baik, sadar akan penyakit dan keinginan untuk sembuh, membantu Salman lepas dari stres yang menderanya.

Dokter Dora mencoba menjelaskan kembali Kurva Model Kubler-Ross. Ia adalah sebuah proses dalam mengatasi perubahan, salah satunya akibat kehilangan yang mendalam dalam kehidupan. Tergambar dalam bentuk kurva menyerupai huruf A di sisi kiri dan V di sisi kanannya, yang saling berhimpit. Sumbu Y yang tegak, memuat morale dan competence, yang terdiri dari fase shock di kaki huruf A, menanjak ke puncak menuju fase denial, melandai ke fase frustration, titik nadir di fase depression, menanjak lagi ke fase experiment, decision, dan integration di ujung atas kurva. Sedangkan sumbu X menggambarkan waktu yang akan dihabiskan seseorang dalam menjalani seluruh perubahan itu, bisa lebih cepat maupun berkepanjangan.

“Kira-kira kamu berada di fase mana, Salman?” tanya dokter Dora memancing.

“Hhmmm. Mungkin saya berada di fase frustration menuju depression, Dok.”

“OK, bagus sekali. Dan kamu ingin sumbu X ini lebih pendek sampai mencapai fase integration? Atau malah ingin berlama-lama dalam fase sekarang? Dengan kemarahan terus menerus, menyalahkan Tuhan, mood yang rendah, menarik diri, kehilangan energi karena sering panic attack, dan palpitasi? Gimana?”

Salman kembali tertegun. Mencoba menganalisis pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan dokter Dora. Salman merasa lelah dengan semuanya. Dalam hatinya ingin segera keluar dari benang kusut dan mencari titik temu. Pandangannya masih tertuju kepada kurva yang digambar oleh dokter Dora. Sesekali dia terpejam, merapatkan kedua tangan, memijit-mijit kepala, menutup mulut dengan tangan kanan dan kiri secara bergantian.. Salman terbayang harapan almarhum kedua orang tuanya untuk menjadikan dia dokter, kehidupan adik-adiknya di Natuna, harapan PEMDA Natuna yang sudah memberikannnya beasiswa, dan harapan teman-temannya di kampus. Dia harus bangkit dan melawan segala ketakutan yang selama ini mengganggu. Dokter Dora dengan sabar menunggu keputusan Salman

“Insya Allah, saya siap sembuh, Dok. Saya capek begini terus, Dok,” ungkap Salman, memecah keheningan.

“Nah, gitu, dong. Tapi yang semangat ya, Salman. Nggak boleh lemes. Mungkin kamu belum sarapan ya?” balas dokter Dora, sambil tertawa ringan.

“Siap, Dok.”

Dokter Dora sangat menyambut baik keinginan Salman, walau masih terlihat belum sepenuh hati. Sejalan dengan kondisi psikosomatis yang masih dialami. Dokter Dora menjelaskan dengan panjang lebar apa yang harus Salman lakukan dalam dua minggu sampai beberapa bulan ke depan. Melakukan CBT secara rutin. Lalu beliau juga mencontohkan latihan relaksasi dan latihan pernapasan rutin untuk menghilangkan rasa stress yang berkepanjangan. Semakin Salman kooperatif dan rutin melakukan latihan untuk masuk ke fase eksperimen, maka semakin cepat pula Salman menanjak sampai ke fase integration.

“Karena ada depresi sedang-berat, dan psikotik ringan, maka saya akan meminta kamu meminum obat ini ya, Salman. Kita evaluasi dulu tiap dua minggu. Minta teman atau saudara, atau siapapun yang dekat denganmu untuk mengingatkan meminum obat secara teratur, setiap malam sebelum tidur.” Dokter Dora menuliskan resep atas nama Salman. Kamu tau diagnosis gangguan yang kamu alami ini?"

"Hhhmmm... acute stress reaction?" jawab Salman sambil tersenyum tipis. Berharap jawabannya benar.

"Sebetulnya lebih berat dari itu."

"Oh, ya, Dok? Saya baik-baik saja, bukan?"

:"Kamu tidak sedang baik-baik saja, Salman. Tetapi kamu bisa lebih baik dan kembali ke kehidupan normal."

"Jadi apa diagnosisnya, Dok?"

"PTSD."

"Apa? Post-traumatic stress disorder? Sampai sejauh itu, Dok?" Salman terbelalak, lalu menggeleng.

"Iya, Salman." Dokter Dora mengangguk, dan tersenyum. Memberikan harapan akan kesembuhan Salman, asalkan Salman bisa bekerjasama dengan dirinya sendiri dan saran penyembuhan dari dokter Dora.

“Siap, Dok. Terima kasih banyak, Dok atas segala bantuannya. Tapi, apa saya boleh cuti dulu dari stase, Dok?”

Lihat selengkapnya