RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #39

EPILOG

Salman memandu Raisa, menyusuri jembatan penghubung rumahnya ke daratan, yang terletak di pesisir timur, dekat dermaga Sedanau.

"Ayo, sini, Raisa. Kita ke rumah kenanganku dan adik-adik. Sengaja tidak kami jual."

"Wah, seru, nih."

Suasana tepi pantai terasa nyaman bagi Raisa.

"Ini tempat bulan madu kita, Salman? Ehhh," ungkap Raisa sambil menutup mulut.

"Bukan, Raisa. Nanti kita bulan madu di Parang Tritis saja, hehe." Salman terkekeh. 

Semilir angin laut menyibak-nyibak jilbab lebar Raisa, dan juga rambut Salman yang tipis.

"Lalu kenapa ke sini, Salman? Ini juga sudah bagus sekali buatku," tanya Raisa heran. 

"Untuk dikenang saja."

"Tapi kok sekarang rumahnya bagus sangat? Kata kau mulai reyot dan lusuh?"

Raisa takjub melihat rumah Salman yang bersinar diterpa sinar matahari pagi. Rumah kecil si tepi pantai itu kini bercat nuansa putih-putih White Apple dan abu-abu muda. Tidak seperti yang pernah diceritakan Salman sebelumnya. 

Jendela-jendela rumah juga tampak manis, dengan desain minimalis. Atapnya berbentuk limas segiempat berwarna kecokelatan. Di dinding luar rumah juga tertanam lampu-lampu dinding berwarna hitam, dengan lampu yang menyala berwarna kuning emas. 

"Ini sih, bungalow, Salmaaan!" teriak Raisa antusias. "Mirip di Maldives!"

"Keren, kaan! Kau suka?"

"Suka sekali!" Raisa spontan mencecah air laut yang jernih dengan kedua kakinya. 

"Maldives, kau pernah ke sana?"

"Lihat di film, Salman. Maudy Ayunda, di Naked Traveller!" Raisa kegirangan. "Berarti kau, jadi Hamish Daud-nya, dong?"

Salman tertawa gelak. Raisa pun girang, menepuk-nepuk lengan Salman. 

"Kau cantik sekali, Raisa, pagi ini."

"Iya, dong, Boy! Apalagi kalau aku sematkan ini di jilbab. Bros yang cantik sekali. Masih berkilauan." Raisa mengeluarkan sebuah bros kupu-kupu.

Salman terperanjat.

"Ooo, kenapa tak kau buang saja ke laut sana?"

"Tak lah, Salman. Barang ini kan tidak bersalah."

"Kau tak takut, kalau kau memakainya, aku akan teringat Hamidah terus?"

"Tak lah, Salman. Hamidah itu anak baik. Saya tahu sejak dulu saat kau pernah cerita. Dan saya percaya sepenuhnya."

"Percaya apa?"

"Percaya bahwa cinta tak harus memiliki seperti kau pernah bilang. Saya cuma berharap, dengan memakai bros ini, cintamu selalu tulus ke Raisa, Bang. Setulus pemberian dulu kepada Hamidah. Dan juga setulus cinta terhadap para pasien-pasien. 

"Insya Allah, Raisa."

"Stetoskop dan Pena, Professor Tjokro," ucap keduanya serentak.

Lihat selengkapnya