Resilitan

M. Fagih Alhafizh
Chapter #3

Chapter 1: Penolakan

"Hey! Kemari kau Sickone!"

"Tangkap dia!"

"Jangan sampai dia kabur! Dasar pencuri!"

Gemuruh langkah kaki dari para penduduk Kota Cherburg di sektor barat. Mereka sedang mengejar pencuri sekaligus Sickone. Nafasnya sudah terengah-engah mencoba melarikan diri dari amukan massa. Dia, Lunae Pulchra, seorang gadis berumur 16 tahun. Ia terkena radiasi karena perisai radiasi di areanya hancur tanpa sebab dan membuat dirinya serta orang lain di sektor itu yang kurang beruntung menjadi Sickone. Orang tuanya berusaha menyuruhnya kabur saat rumah mereka hendak dibakar oleh massa, tapi saat Lunae menoleh, ia melihat orang tuanya sedang diamuk massa dan ia mendengar, “Sickone lebih baik mati saja!”. Lunae sudah bertahan selama 3 bulan dengan mencuri makanan dan minuman dari toko.

Namun, hari ini adalah hari sial untuknya. Ia ketahuan mencuri makanan dan sekarang berusaha melarikan diri.

Ia bergerak cepat sambil memeluk roti yang ia curi. Suara amukan warga masih terdengar di belakangnya dan Lunae tidak boleh berhenti. Ia melesat masuk ke dalam beberapa gang sempit untuk kabur. Suara amukan warga semakin mengecil, tapi Lunae masih tidak mau berhenti berlari.

Setelah beberapa menit berlari, akhirnya ia berhenti di satu rumah terbengkalai. Lunae masuk lewat jendela yang rusak dan berhati-hati masuk ke dalam rumah itu.

Setelah ia masuk, ia melihat banyak sekali barang yang terbengkalai di ruang tamu. Namun, matanya melihat pintu yang terbuka di samping. Saat ia melihat ke dalam, ia melihat ruangan ini seperti kamar tidur. Kasurnya lumayan berdebu tapi masih bisa dipakai. Ia duduk di kasur dan memakan roti yang dari tadi ia peluk. Rasanya hambar, sangat hambar, tapi Lunae tak peduli. Dia hanya kelaparan.

Setelah ia makan roti itu, perutnya lumayan terisi. Tapi disisi lain, ia melihat ke samping dan melihat refleksi dirinya sendiri lewat kaca pecah. Ia melihat sesuatu di atas kepalanya, itu seperti ada dua benjolan kecil. Ia baru menyadari jika di belakang tulang ekornya juga terasa gatal. Tapi Lunae, karena kelelahan dan kakinya seperti mati rasa, tertidur di kasur berdebu itu.


 Sementara itu… 

“Kawasan kumuh? Maksud kamu sektor barat?”

“Iya, di sana tempat para Sickone. Kami sudah memisahkan mereka dari yang lain.”

“Kenapa kau melakukan itu?”

“Kenapa aku melakukan ini? Jelas mereka sudah terkena penyakit, dan juga mereka sangat menjijikkan. Bagaimana masyarakat dan kita bisa berdampingan dengan mereka? Jadi ‘bersihkan’ mereka. Kota Cherburg butuh lingkungan yang bersih dan terbebas dari penyakit itu.”

“... Serahkan itu kepada kami dan tolong tarik mundur semua petugas yang berjaga dan evakuasi masyarakat.”

Keesokan harinya, Lunae terbangun karena mendengar suara langkah kaki yang banyak di luar. Ia mencoba mengintip di jendela dan melihat para petugas pergi bersama dengan warga. Ia segera menjauh dari kaca dan mencoba tidak panik. Anehnya, ia merasakan sesuatu di belakangnya dan pendengarannya seperti lebih sensitif dari kemarin. Ia melihat kaca kemarin dan ia melihat…

Dirinya dengan telinga kucing. Lunae terpaku dan takut. Ia secara perlahan mengangkat tangannya dan ingin menyentuh. Ia berharap ini mimpi, mimpi yang sangat buruk. Tapi saat ia memegang telinga itu, ada sensasi menggelitik dan seperti denyut kecil yang dibalas oleh telinga itu.

Lunae terdiam dan matanya mulai berair karena ketakutan. Ia duduk di samping kasur dan memeluk lututnya, lalu menangis. Ia bukan manusia lagi, dan semuanya pasti akan membencinya, termasuk dirinya sendiri.

“Kenapa… kenapa aku jadi seperti ini?”

Setelah beberapa menit menangis, Lunae tidak mendengar apa-apa di luar, seperti benar-benar hening. Lunae mengelap air matanya dan mengintip keluar lagi. Jalanan itu benar-benar kosong. Lunae segera keluar dari rumah terbengkalai itu secara hati-hati.

Jalanan yang biasanya selalu ada warga sekarang sepi. Petugas yang biasanya patroli juga pergi. Aku melewati jalanan dan gang sempit, tapi masih terlalu sepi. Seperti semuanya pergi dari sini. Sampai…

Lunae mendengar suara teriakan dan tembakan di kejauhan. Lunae terkejut dan tanpa berpikir panjang ia segera menjauh. Tapi saat ia ingin berbelok di gang, ia melihat dua orang berseragam hitam dengan senjata sedang menghadapi Sickone yang terpojok. Lunae melihat Sickone itu memohon-mohon untuk tidak dibunuh, tapi…


 DOR


Salah satu dari mereka langsung menembak. Setelah itu, salah satu mereka menoleh ke belakang dan melihat Lunae yang diam karena ketakutan. Dia kaget, langsung memberitahu temannya, dan Lunae segera cepat lari ke arah sebelumnya.

“Infected!! Kejar dia!”

Infected? Tapi Lunae tak punya waktu untuk berpikir dan ia memilih untuk melarikan diri terlebih dahulu. Langkahnya cepat, tapi di belakang, kedua orang tadi masih mencoba mengejarnya.

Namun, salah satu mereka menembak kaki kanan Lunae. Lunae merasakan rasa panas dan sakit di kaki kanannya dan membuatnya tersungkur ke depan. Matanya menjadi kabur dan saat ia menoleh ke atas, kedua orang tadi sudah berada di sisinya dan mengarahkan senjatanya ke dahi Lunae.

“Hei, ini infected. Akhirnya,” ucap salah satu yang berada di samping pria itu.

“Kau benar. Jadi benar kata mereka.”

“Kita dapat infected bagus untuk kita. Kita akan dapat pujian dari kapten kita.”

“Kau benar."

Mereka berdua berbicara dan membahas tentang dirinya. Mereka juga mendapat interkom dari radio mereka. Sedangkan Lunae mencoba merangkak keluar, tapi…

“Ugh!"

Salah satu kaki mereka menginjak punggung Lunae dan menghentikannya di tempat.

“Hei, kau kira kau bisa kabur? Lihat posisimu sekarang.”

Lunae tak bisa menahan rasa takutnya dan ia menangis. Mereka berdua sepakat untuk membawanya kepada kapten mereka. Namun sebelum mereka berdua membawanya…

“Tahan di sana, tuan-tuan. Bukankah kalian terlalu kasar untuk gadis manis itu?”

Mereka berdua menoleh ke arah suara itu dan melihat seseorang di depan gang dengan topi bundar dan jas berwarna hitam dengan motif api di bawahnya.

Satu dari mereka mengangkat senjatanya.

Lihat selengkapnya