Resilitan

M. Fagih Alhafizh
Chapter #4

Chapter 2: Penerimaan

“Lunae?”

“Lunae, bangun.”

“Hmm?”

Aku terbangun, masih di dalam helikopter. Aku kaget saat tanganku memeluk Miss Vulfia dan aku segera melepas. Aku menjadi sedikit canggung.

“M-maaf,” ucapku dengan pipi agak merah.

“Tidak apa-apa,” ucap lembut Vulfia. “Bagaimana tidurmu?”

“Nyenyak…”

“Syukurlah.”

Aku melihat keluar jendela. Aku hanya melihat tanah yang tandus, sejauh mata memandang. Tidak ada kehidupan yang bertahan hidup di sini. Tumbuhan mati dengan hanya ranting yang kering, dan banyak sekali bangkai hewan dan tengkorak di bawah.

“Jadi… kita kemana?”

“Kita akan ke Resilitan Landship. Sebentar lagi kita akan sampai kok, jadi tenang saja.”

Dan saat aku melihat sekeliling, aku menyadari bahwa di helikopter ada 1 kotak di pinggir pintu dengan tulisan 'turn on' dan 'off'. Aku tidak tahu gunanya kotak kecil itu?

“Miss Vulfia, itu apa?” ucapku sembari menunjuk kotak kecil itu.

“Itu? Itu-”

Tapi tiba-tiba sebelum Vulfia berbicara, Elliot (ia sudah melepas selotip di mulutnya) memotong dengan nada senang.

“Jadi itu adalah kotak ARP.”

“ARP?”

“Iya, ARP itu adalah singkatan dari Anti Radiation Protection. Jadi karena itu, helikopter ini memiliki lapisan anti radiasi yang membuat kita di sini aman. Sekitar seperti itu.”

“Oh begitu, terima kasih, Pak Elliot.”

Namun ekspresi Elliot tiba-tiba datar dan kosong dan ia duduk di sebelah Vulfia. Vulfia yang melihat ini hanya bisa tertawa kecil.

“Lunae, kamu seharusnya panggil dia 'Kak'. Kalau 'Pak' atau 'Om' itu buat moodnya hancur, xixi,” ucap Vulfia sembari mengusap kepala Elliot.

Dan aku hanya bisa terdiam dengan kedekatan Vulfia dan Elliot. Tadi mereka saling adu mulut, tapi sekarang Vulfia yang menenangkan Elliot.

Setelah beberapa menit, aku mulai melihat di kejauhan… sebuah landship besar dengan mesin yang terlihat jelas dengan banyak gear dan memakai sistem roda rantai yang sangat besar. Dan juga aku melihat lapisan pelindung anti radiasi yang mengelilingi seluruh landship.

“Kita akan segera mendarat,” ucap kru helikopter sembari memasuki lapisan anti radiasi.

Helikopter mulai terbang rendah dan rendah di helipad. Setelah roda menyentuh landasan, baling-baling mulai melambat dan melambat. Suara dering mesin dan baling-baling mulai berhenti.

Pintu helikopter mulai terbuka dan aku melihat banyak sekali personil yang memegang senjata. Aku menjadi takut, tapi Vulfia melihat tanganku gemetar dan ia memegang tanganku.

Aku kaget, namun saat aku melihat ke arahnya, ia hanya tersenyum. Dan senyuman itu… sangat tulus. Dan itu membuatku merasa aman.

Dan setelah aku memegang tangan Vulfia, kita turun dari helikopter. Tiba-tiba tiga orang datang ke arahku dengan cepat sambil membawa alat medis.

Aku melihat ke arah Vulfia.

“Tenang saja, mereka orang baik kok.”

Aku masih menatap Vulfia. Aku tidak tahu, aku cuma gugup dan sedikit takut dengan lingkungan baru.

Aku berdiri diam dan ketiga orang tadi mulai menscan dan mengecek keadaan tubuhku. Seperti seberapa parah radiasi yang diterima dan mengecek sisik hitam yang berada di sisi bawah pipi kananku.

Setelah beberapa menit, mereka selesai dan hasil sudah muncul. Satu orang mendekati Vulfia dan memberitahu sesuatu. Ketika sudah selesai, dia mendekatiku.

“Jadi, hasil pemeriksaan tadi. Kondisimu masih stabil, tapi masih dalam keadaan pengawasan. Dan aku juga lumayan kaget.”

“Kaget kenapa?”

“Karena aku baru melihat infected dengan kondisi stabil. Biasanya radiasi akan selalu mencoba membuat sisik baru, tapi kamu seakan menyatu dengan radiasi itu?”

“Aku tidak mengerti.”

“Nanti kamu akan paham.”

Namun aku melihat seseorang yang keluar dari pintu besi. Semua orang yang berada di sekitar melihat ke arah tersebut dan aku bisa merasakan kakiku lemas, entah kenapa. Dia memakai jubah putih dokter sampai ke pergelangan kaki, ia memakai celana hitam. Dan yang paling membuatku tidak nyaman, mukanya… tidak terlihat. Ia memakai helm medis yang menutup seluruh kepalanya. Aku hanya bisa melihat kaca hitam yang memantul kembali kepadaku.

Ia berjalan mendekatiku dan saat ia berada di depanku, ia menatapku lama… seakan waktu melambat.

“Jadi kamu ya, infected dengan radiasi paling stabil?”

“A-aku tidak tahu.”

“Jelas kamu tidak tahu. Kamu hanya  korban  di dunia ini. Korban yang tak bisa berbuat apa-apa. Kamu hanyalah orang yang kurang beruntung. Bahkan pemerintah menolak dan menganggap Sickone hanyalah sampah yang mudah untuk disingkirkan atau dieksploitasi.”

Aku bisa merasakan perkataan yang sangat berat. Dia seperti sudah merasakan semuanya.

“Carius, jangan-jangan…” ucap Vulfia.

Vulfia mendekat dan mengetuk helm dia.

Lihat selengkapnya