DUH!” Aku meringis ketika merasakan sebuah benda mendarat mulus tepat di mukaku. Tidak sakit, sih, tapi cukup mengagetkan. Aku mendongak, suasana hatiku memburuk karena kutahu pelemparnya tak lain adalah seorang cowok songong yang mukanya selalu menggoda untuk kulempari dengan kursi.
Untung refleksku masih bagus sehingga benda itu—yang ternyata adalah sebuah jaket putih—dapat kutangkap sebelum mendarat ke lantai koridor dan kemungkinan menyebabkan pemilik sekaligus pelemparnya mengomeliku.
“Lo pulang sana, pake, tuh!” perintahnya ketus, seperti biasa. Aku bersungut dalam hati. Kenapa juga aku harus memakai jaket miliknya yang bau ini? Oke, aku agak berlebihan, jaket ini tidak bau, hanya saja aromanya terlalu menusuk untuk dinikmati indra penciumanku. Perpaduan antara aroma mint dan sabun mandi! Serius, aku tidak bohong.
Karena aku bergeming kayak orang bego, mata elangnya langsung menatapku dengan tajam. “Denger, nggak, sih? Pulang sana! Gue lagi nggak butuh lo.”
Aku merutuk di dalam hati. Cih, siapa juga yang pengin dibutuhin lo?
“Syukur, deh,” balasku enteng. “Gue pulang kalau begitu.”