BERISIK banget, sih. Ini juga udah bangun, kok. Hm, iya. Nggak bakal telat, tenang aja. Ini gue denger, nggak usah diulang-ulang melulu. Hm, iya.”
Tit!
Aku mengumpat setelah panggilan dari Romeo terputus. Aku melirik layar ponselku. Pukul 04.15 dan Romeo dengan lancangnya membangunkanku agar aku tidak kelupaan membuat bekal nasi goreng untuknya?
Cowok gila! Bahkan, azan Subuh pun belum berkumandang. Aku menggeram menahan kemarahan. Sifat Romeo yang bossy ini membuatku tidak tahan lagi. Alhasil, aku berteriak keras dengan bantal yang menutupi mukaku, dan kakiku menendang apa pun yang bisa kujangkau. Bantal dan selimut-selimut langsung berserakan di lantai.
Aku mengangkat tubuhku hingga terduduk. Demi Tuhan, aku ingin mencekik Romeo sekarang juga.
Perasaan kesal langsung menggerogotiku. Aku tak tahu siapa yang harus kusalahkan karena terciptanya ikatan bak majikan dan babu antara Romeo dan aku ini. Mungkinkah aku harus mengutuk diriku sendiri? Atau, Romeo? Atau, Kania? Aku benar-benar tidak tahu.
Terjebak di dalam kondisi seperti ini tentu ada alasannya. Dan, alasannya benar-benar akan membuatku tampak seperti malaikat baik hati sekaligus berotak dungu. Aku rela jadi asisten pribadi garis miring pesuruh Romeo karena Kania suka setengah mati sama Romeo. Dan, ya, Kania itu adikku.
Hari itu aku mendengar langsung dari mulut Kania bahwa dia terpesona kepada salah satu murid kelas XII yang bernama Romeo. Rasanya aku terkena mini heart attack begitu mendengar pengakuannya tersebut. Hari itu adalah hari-hari pertama dia menjejakkan kaki di SMA Pelita, makanya dia bisa langsung jatuh hati kepada Romeo. Berbeda denganku, yang sudah kenal Romeo sejak dua tahun lebih karena memang kami satu angkatan. Jadi, aku tahu betul keburukan Romeo itu.
Kukira Kania cuma main-main dengan pengakuannya. Kukira perasaannya cuma sebatas rasa kagum karena harus kuakui Romeo punya tampang cakep dan dia punya segala ingredients yang bisa membuat dia diidolakan adik kelas yang masih unyu-unyunya.
Akan tetapi, ternyata dugaanku salah, Kania ternyata suka setengah mati sama Romeo. Dia bahkan mengirimi Romeo surat cinta yang diletakkannya secara sembunyi-sembunyi di loker cowok itu, menuangkan rasa cintanya lewat diary yang diam-diam kubaca saat dia mandi. Isi diary itu benar-benar gila.
Saat itu, sifat protektifku muncul. Aku sangat menyayangi Kania, lebih dari apa pun. Dan, aku tahu betul seburuk apa sifatnya Romeo itu. Kania bukan jenis cewek yang bisa dilirik oleh Romeo, bukan karena Kania punya tampang jelek, hanya saja Romeo itu yang terlalu unreachable. Oleh karena itu, aku memperingatkan Kania agar menghentikan perasaan konyolnya itu. Namun, apa yang terjadi selanjutnya? Dia malah membentakku dan mendiamkanku selama lima hari.
Aku menelan egoku dengan meminta maaf duluan. Namun, tanpa kuduga dia mengajukan sebuah syarat jika aku ingin dia memaafkanku. Dia meminta bantuanku agar dia bisa lebih dekat dengan Romeo. Gila, kan? Tentu saja. Aku nyaris gila mendengarnya.
Akan tetapi, entah karena aku terlalu baik, entah karena aku selalu menginginkan kebahagiaan Kania di atas segalanya, aku menemui Romeo. Kami memang sekelas. Dan, aku menemui cowok itu sambil menebalkan muka.
Aku mengatakan to the point kepadanya, bahwa ada adik kelas yang naksir dia dan ingin mengenalnya lebih dekat. Dan, kalian tahu apa reaksinya? Dia menjawab dengan sebelah alis terangkat, “Lo Kinara yang benci sama gue itu, kan? Ngapain sekarang lo nemuin gue cuma buat ngasih tahu hal yang nggak penting begini?”
Aku langsung kagok, mati kutu, mati gaya, dan hampir saja mati dalam artian sesungguhnya. Soalnya, waktu itu jantungku terasa seperti berhenti berdetak dan kepalaku tiba-tiba berputar. Lalu, semuanya menjadi gelap. Aku pingsan di hadapan Romeo karena menahan malu (dan sebenarnya juga karena menahan lapar). Kejadian itu benar-benar tak terlupakan.
Semuanya terjadi begitu saja. Ketika sadar, aku sudah berada di UKS, dan menemukan Romeo juga berada di sana.
“Jadi, kenapa lo pingsan, padahal gue nggak ngapa-ngapain lo?” Pertanyaan Romeo sontak membuatku salah tingkah. Kepalaku tertunduk, mencoba menghindari tatapan Romeo. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, barulah aku menengok ke arah Romeo yang berdiri dengan tangan bersedekap di sebelah ranjang tepat tubuhku terbaring.
“Ah, itu ... gue mendadak pusing. Belum sarapan pagi tadi ...,” jawabku geragapan. Tidak sepenuhnya berbohong, sih, karena aku memang tidak punya kebiasaan sarapan setiap pagi.
“Anak-anak kelas langsung ngelihatin gue pas lo tiba-tiba pingsan tadi. Gue yakin mereka nuduh gue yang macem-macem.”
“Sori.”
“Hm.”
Hening. Aku sebenarnya ingin membahas Kania, tapi aku takut disinisin lagi oleh cowok di sampingku itu.
“Kalo mau ngomong sesuatu, ngomong aja!” katanya tiba-tiba, terselip nada perintah di dalamnya.
“Gue serius pas bilang ada adik kelas yang naksir lo,” ucapku pelan.
Romeo menatapku dengan kening berkerut samar. “Ada omongan yang lebih penting dari ini? Gue rasa itu bukan hal yang baru untuk gue denger.”
Songong banget, ya, nggak, sih?
“Masalahnya, dia nggak sekadar naksir, tapi cinta,” jawabku agak ragu karena aku sendiri belum mengerti definisi dari kata cinta.
“Oh, ya? Siapa? Cantik, nggak?” Pertanyaan Romeo membuat sebagian hatiku tersentil. Apakah hal pertama yang dinilai semua cowok dari seorang cewek adalah fisiknya, dan menjadikan hati sebagai urusan belakangan?
“Namanya Kania Aninda. Dia adik gue,” kataku, akhirnya.
Romeo memasang tampang terkejut, lalu tertawa sesaat, “Lo benci setengah mati sama gue, tapi adik lo malah suka sama gue?”