KELAS yang tadinya cukup hening mendadak heboh ketika Bu Astrid, Guru Bahasa Indonesia, memberikan tugas menyusun karya tulis ilmiah yang dikerjakan per kelompok. Tugas kelompok itu seharusnya menyenangkan, tetapi karena Bu Astrid yang memilih sendiri anggota per kelompok itu maka banyak anak-anak kelasku yang menentangnya. Apalagi, Bu Astrid memutuskan bahwa satu kelompok hanya beranggotakan dua orang dan harus terdiri atas laki-laki dan perempuan. Menurutku, seharusnya ini bukan disebut kerja kelompok, tapi kerja berpasangan.
“Bu, pokoknya Nia nggak mau kalau harus sama Ide.” Suara manja Nia mendominasi ruangan kelas.
“Elah, siapa juga yang mau sama lo?” balas Ide, sewot. Pasti harga dirinya sebagai laki-laki terasa terinjak mendengar penolakan langsung dari mulut Nia.
“Bu, aku juga nggak mau sama Marko!” sahut Talitha, cewek yang paling demen nonton drama Korea. Dia menolak dipasangkan dengan Marko yang notabene cowok paling suka nyinyirin anak-anak kelas kalau lagi bergosip tentang cowok-cowok dari negara ginseng tersebut.
Suasana kelas sekarang mirip pasar. Aku cuma diam karena namaku belum disebut oleh Bu Astrid, jadi aku belum tahu siapa pasanganku. Kalau boleh memilih, sih, aku maunya dipasangkan dengan Fahmi. Dia jago menulis, tidak terhitung sudah berapa kali dia memenangi lomba sastra seperti lomba esai, puisi, cerita pendek, dan lain-lain. Kalau sekadar karya tulis tentu gampang baginya. Selain Fahmi, aku juga bakalan senang hati bila dipasangkan dengan Reza, cowok pintar nan rajin yang sempat satu kelas denganku sewaktu kelas X dahulu.
“Tenang dulu semuanya! Ibu belum selesai,” kata Bu Astrid dengan volume sedikit meninggi. Yang tadi sibuk memprotes mendadak terdiam.
“Selanjutnya ... Calista Wijaya, kamu sama Ernaldi Dovan.”
Terlihat Calista yang duduknya tepat di depanku hendak memprotes kepada Bu Astrid karena mendengar namanya disandingkan dengan Ernaldi Dovan alias Dido. Namun, ketika melihat Dido yang tempat duduknya berseberangan dengannya menoleh, Calista langsung diam. Yah, semua orang tahu bahwa Dido punya tatapan mematikan seperti Romeo.
Bu Astrid menandai sesuatu di buku presensinya, lalu wanita yang berusia empat puluh tahunan itu melanjutkan. “Kinara Alanza ... hm, kamu sama Romeo Ananta.”
Apalagi ini?
“Bu, aku—”
Romeo memotong laju mulutku dengan dehaman keras. Aku menoleh ke arahnya dan kudapati dia tengah menatapku dengan alis terangkat dan seringai di wajahnya. Seringainya itu seolah mengatakan bahwa aku tidak punya hak untuk protes.
Aku mengembuskan napas pasrah. Ini, sih, sama saja dengan kerja individu namanya. Aku yakin Romeo tidak akan turun tangan dengan tugas ini.
Bu Astrid terus dengan kegiatannya mengabsen nama-nama yang dipilihnya untuk bersanding dalam satu kelompok. Aku sudah tidak berminat lagi mendengarnya. Pupus sudah harapanku untuk bisa berpasangan dengan Fahmi atau Reza.
Setelah Bu Astrid selesai, kelas kembali heboh dalam aksi protes. Aku diam dan sok sibuk dengan buku catatanku. Kudengar Romeo berdecak kesal. Aku menoleh ke arahnya dengan bingung.
“Lama banget, sih, jam istirahatnya!” omelnya kepadaku. Arlojiku menunjukkan bahwa masih ada waktu sekitar lima menit lagi sebelum bel istirahat berbunyi.
Aku menoleh kepadanya dengan tatapan bertanya.
“Lo, sih, pake acara telat, harusnya nasi goreng itu jadi sarapan gue. Sekarang gue jadi laper, kan,” decaknya.
Aku balas berdecak. Tak lama kemudian, bel istirahat berteriak nyaring, Bu Astrid langsung meninggalkan kelas dan anak-anak kelasku kompak mendesah kecewa karena aksi protes mereka berujung sia-sia.
“Kin, kantin, nggak?” tawar Calista sambil beranjak dari tempatnya duduk. Aku mengangguk, tapi tangan Romeo tiba-tiba mencekalku.
“Lo ke kantin duluan aja, Kinar ada urusan sama gue,” ucap Romeo.
Aku terkejut, dan makin terkejut lagi ketika Calista mengangguk dan berjalan meninggalkanku.
Iya, sih, wajar saja kalau Calista langsung tunduk dengan perintah Romeo. Selain karena Romeo selalu bicara dengan nada ketus, sinis, dan penuh otoritas, Romeo juga punya kekuasaan di sekolah karena bokapnya tak lain dan tak bukan adalah donatur terbesar di sekolah. Dari seluruh anak-anak SMA Pelita, mungkin cuma aku yang dahulunya tidak tunduk sama sekali dengan cowok satu ini. Kalau sekarang, sih, jangan ditanya. Aku adalah orang yang paling tidak bisa membantahnya.
Aku menyentak tangannya yang masih menempel pada lenganku hingga terbebas. Lalu, dengan gerakan cepat aku mengambil kotak makan Tupperware dari bawah laciku dan memberikannya kepada Romeo.
“Makan, nih, gue mau ke kantin.”
“Lo di sini aja, temenin gue makan,” kata Romeo, enteng.
“Gila, gue juga butuh makan, bukan lo doang. Emang lo mau gendong gue ke UKS kalau tiba-tiba gue pingsan karena kelaperan?” tanyaku retoris.
“Mau,” jawabnya singkat sambil membuka tutup Tupperware di hadapannya. Dia mengulum senyum simpul ketika aroma nasi goreng menguar di udara.
Aku memandang Romeo tak habis pikir. Gila! Nih anak gila! Ya Tuhan, dosa apa yang pernah aku lakukan sampai bisa berurusan dengan iblis berbentuk Romeo ini?
“Nih!” Romeo menyodorkan kotak makan tersebut kepadaku. Dia mengambil sendok dan menaruhnya di telapak tanganku. “Lo dulu yang makan!”
“Hah? Nggak mau, ah!”