Ketika kau sedang merasa bahagia akan suatu hal, pernahkah kau dipaksa untuk melepas dan menjauh dari hal itu?
Dunia kadang kejam dan serba berkebalikan. Selalu ada benci di setiap senang. Selalu ada derita di setiap bahagia. Selalu ada perpisahan di setiap pertemuan. Untuk yang terakhir, tentu, setiap manusia pasti pernah dipaksa melepas, meski baru sekejap menggenggam apa yang baru saja diperjuangkan dengan keras. Tuhan telah menggariskan keterbatasan waktu pada setiap temu. Manusia tak bisa mengelak. Yang bisa dilakukan hanya pasrah, ikhlas, dan tetap optimis dalam menghadapi kejutan-kejutan Tuhan yang akan datang.
“Rinjaniiiii...!” seseorang memanggil dari arah belakang. Seketika lamunanku buyar.
Aku yang sedang duduk di kursi, memandangi spanduk ‘Pelepasan Siswa Kelas 12’ yang tertempel di panggung langsung menoleh ke sumber suara. Tampak di sana, di belakang kursi yang berderet, Mia dengan senyum ceria menunjukkan kamera di tangan kanan. Sambil tersenyum, aku menggeleng. Pipi tembam orang di seberang menggembung. Alis panjang tebalnya bertaut. Paras timur-tengahnya menampakkan raut kecewa, tapi tak juga membuatku tergerak untuk memenuhi permintaaanya.
Sejak tadi aku memang tidak berminat berhambur dengan yang lain. Aku memilih merenung, sendiri di sini, jauh dari keramaian. Tak ada yang perlu disedihkan memang. Semua lulus, SMA tetap jadi nomor satu se-Kabupaten. Namun, resah-gundah yang mengacaukan hati ini tak bisa lagi kutahan-tahan.
Berpisah.
Terpisah.
Terlalu mencintai.