“Kamu mau pindah??! Seriously?!!”
Suara dengan oktaf tinggi memekik, melesat cepat ke seluruh penjuru kantin. Sebagian besar siswa menoleh ke meja pojok, tempatku dan dua temanku duduk. Antara heran atau melirik kesal, tapi beberapa detik kemudian mereka cuek juga. Sang pemilik suara yang baru saja meneguk milkshake vanilla penuh busa, mengelap mulutnya yang belepotan. Shasa nyengir melihat Marla melotot seakan mengatakan, “Tolong deh, Shas. Suaranya kondisikan!”
“Hehe… sorry-sorry, kelepasan,” lanjut Shasa lirih. Cengirannya yang lebar hingga memperlihatkan gigi-gigi kecil putih dan rapi, dibarengi dengan dagunya yang melancip mendadak berganti. Dengan raut sedih, Shasa kembali bertanya “Jadi… gimana? Kamu serius mau pindah? Yaampun Mar… di sini kamu tu udah punya semuanya. Temen, relasi, kepercayaan, jabatan, dan kasih sayang semua warga sekolah. Siapa sih yang nggak sedih ditinggal Ketua OSIS teladan sepanjang sejarah SMP Satu?”
Marla yang sedang menyantap gado-gadonya hanya mengedikkan bahu. “Yah. Aku cuma nurut orang tua. Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Selain itu aku juga harus nemenin sepupuku di sana. Yang pas aku melayat ke Jakarta bulan lalu, itu Ibunya dia… meninggal. Sementara Omku, Ayahnya dia, udah nggak ada sejak dia masih kecil,” jelas Marla yang membuat kami semakin menatapnya sedih, “Kalau soal jabatan… aku pindahnya kan habis selesai semester ini. Ya kali aku ninggalin OSIS gitu aja sebelum masa baktiku selesai?”
“Tapi kamu bakal balik ke sini lagi, kan?” tanyaku yang membuat Marla justru terkekeh.
“Iya, lahhh... aku bakal ke sini lagi, kok. Tenang! Kan kita udah janji bakal bareng-bareng masuk ke…,” sendok Marla teracung ke salah satu sisi dinding kantin, tempat sebuah poster promosi SMA impian kami terpampang: SMA Mandala. “Sana!”
Cemberut di wajah mungil Shasa tak juga menghilang.