Resolusi-Resolusi Gila

Ansito Rini
Chapter #3

Tentang Om dan Kemenakannya

“Rinjaniiii!”

Terdengar suara falseto seorang lelaki memanggil dari luar kamar.

Aku yang semenjak pulang sekolah menggeliat merdeka di atas ranjang menarik selimut tebal hingga menutupi kepala. Terdengar pintu kamar dibuka, tetapi tak membuatku berkeinginan untuk membuka mata.

“Udah seminggu lebih kamu sekolah, kelakuanmu samaaa aja. Bangun-sekolah-tidur, bangun-sekolah-tidur. Monoton banget, sih!” Om Rafa mulai mengomel, membuatku diam-diam menghela napas di bawah selimut. “Main kek sama temen, jalan-jalan, nonton, belajar bareng, atau apalah! Ini SMA, beby... have fuuuunn!!”

Suara Om Rafa mulai menggelegar. Selimutku ditarik kasar. Mau tak mau aku langsung bangun, berusaha membuka mata lebar-lebar. Rasa malas yang terlanjur berkuasa dalam tubuh membuatku mengeluh.

“Lagian kamu tidur mulu nggak pusing apaa!?” gertak Om Rafa mulai melipat selimut ungu bergambar wortel milikku.

“Enggak, lah... tidur kan enak, Om!” jawabku enteng, masih setengah mengantuk.

“Ihh... kebanyakan tidur itu nggak baiiik. Jarang baca artikel kesehatan, sih!”

“Iya, iya! Ini juga lagi bangun!” Aku mulai menggerutu.

“Keluar dong dari kamar. Ke supermarket sana! Bahan makanan abis,” titah Om Rafa sambil melangkah menuju pintu. Sebelum aku sempat melenguh, Om Rafa berbalik, “Ke supermarket, atau kamu nggak makan?!” ancamnya.

“Iya, iya!”

Dengan mata masih terpejam, kuturuni ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi. Setelah membasuh muka dan mengeringkannya dengan handuk, aku mendekat pada kaca yang tertempel di almari putih. Kuraih sisir di rak yang ada di samping almari, mulai menyatukannya dengan rambut tebal sebahuku.

Kupandang sebingkai wajah lonjong di hadapan. Mata lebar dengan bulu mata lebat alami. Di dalamnya terdapat bulatan hitam kecoklatan dengan bintik hitam di tengah bulatan itu. Hidung kecil, menonjol jika dilihat dari samping. Bibir tebal bagian bawah yang selalu kering dan berwarna merah kelabu. Kuletakkan sisir kembali ke tempatnya dan mulai menyatukan rambutku dengan karet. Di akhir kuciran, rambut tak kuloloskan sepenuhnya. Tertekuk acak, membuat ujung-ujung rambut itu sebagian mencuat-cuat. Aku mulai bergegas, menyambar jaket kaos abu-abu dan melapiskannya di luar kaos putih yang kukenakan. Celana balon selutut yang warna hijaunya sudah luntur pun tak kupedulikan.

Aku berlari kecil melewati ruang tengah, menuju ruangan dekat pintu masuk. Pemandangan berupa kertas-kertas yang berhamburan di lantai adalah yang pertama kali hinggap saat pintu ruangan itu kubuka. Di sudut ruangan, dua manekin tanpa kepala mengenakan baju hasil desain Om Rafa. Sedangkan satu set komputer berada di sudut lain. Ruangan yang tidak luas tapi terasa nyaman. Tempat bagi Om Rafa mencurahkan segenap karya, yang setiap harinya dipenuhi persoalan trend, mode, and art. Fashion Designer adalah jiwanya; jiwa yang penuh ekspresi dan inovasi. Semangat dan penuh motivasi adalah yang kusuka dari lelaki paruh baya itu. Sedang hal yang paling tidak kusuka; saat Om Rafa menjelma jadi tante-tante. Over, bawel, dan apa-apa serba salah. Namun, enam tahun bersamanya membuatku sadar bahwa sosok penyayang dan perhatian lebih mendominasi sikapnya, lebih dari Mama dan Papaku sendiri.

Om Rafa masih memunggungiku saat aku tiba di depan mejanya.

“Mana uangnya!?” tanyaku setengah mengageti. Lelaki berkardigan hitam itu langsung memutar kursi. Mulutnya membuka. Air mukanya datar menyimpan kaget. Aku hanya nyengir, “Makanya nggak usah spaneng gitu! Santayyy oooom! Masak designer spaneng.”

“Bukan masalah spaneng apa enggak. Kamu… nggak ada angin, nggak ada ujan… tiba-tiba udah berdiri di situ. Gimana nggak kaget!? Makan yang banyak makanya… jalan aja sampai nggak bunyi saking entengnya.” Om Rafa berkomentar kemudian lekas mengeluarkan dua lembar seratus ribuan dari dompet. “Sisanya buat kamu.”

“Oke makasih omkuuu...,” jawabku sambil meraih uang di meja dengan segera. Aku berlari ke luar rumah. Sepeda polygon putih-ungu masih berdiri tegap di halaman. Kupacu kendaraan itu dengan seulas senyum. Bersemangat akibat membayangkan nominal uang yang mungkin tersisa.

***

Mataku tak henti-hentinya menatap bungkus-bungkus kopi dengan berbagai macam pilihan rasa. Mocca? Caffe latte? Cappuccino? Berkali-kali aku meraih salah satu dari mereka dan berkali-kali pula aku mengembalikannya. Andai aku setia pada satu rasa, mungkin tak sulit untuk memilih salah satu. Sayangnya, lidahku terlalu toleransi. Semua kuinginkan, tapi kocek tak mengizinkan. Uang ini harus tersisa agar aku dapat upah atas ini semua.

“Kalau aku suka caffe latte. Busanya dikit, creamer sama susunya lebih berasa,” jelas seseorang di sampingku tiba-tiba. Aku menoleh.

“Astagaaaa,” seruku lirih, menatap kesal anak laki-laki yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku. Kepalanya bergoyang-goyang saat aku menatapnya heran. Senyum cerianya mengingatkan aku pada anak kecil berseragam SMA–yang bahkan masih layak menjadi anak SMP– yang menemaniku menjalani hukuman dari panitia MOS–Masa Orientasi Sekolah–untuk menanam rumput di lapangan upacara. “Kamu ngapain, haaa?”

“Belanja,” jawabnya sambil menunjuk troli di sampingnya. Telah ada saus, kecap, sayur-sayuran segar, dan berbagai bahan baku masakan di keranjang. Dahiku makin mengernyit tak percaya. “Bantuin Nenek,” tambahnya seakan tahu keterherananku.

Aku ber-oh sambil manggut-manggut. Ia mulai mengambil beberapa roti tawar di rak nomor dua atas. Cekatan aku mengambilkan sebungkus lagi saat tangannya mulai kesulitan meraih.

“Minum susu makanya… biar tinggi!” ledekku sambil tersenyum asimetris.

Ia justru nyengir, “Thanks,” ucapnya kemudian berlalu bersama trolinya.

Aku geleng-geleng kepala saat Irvan melangkah semakin jauh. Kulirik sebungkus caffe latte yang tertata manis di rak. Kuraih ia dan kumasukkan ke dalam troli bersama barang belanjaan lain.

Kesan saat bertemu Irvan pertama kali; usil, aneh, dan hiperaktif. Jika tidak kakinya yang menghentak-hentak, maka kepalanya yang bergerak-gerak. Mirip boneka yang kepalanya mau lepas. Pemuda berbadan kecil, berambut pendek rapi, dan berwajah bulat itu terlalu murah senyum. Saat tertawa, bibir gelapnya selalu menampakkan gigi-gigi rapi yang terpampang lebar, dan membuat kedua matanya menyipit. Karena terlalu polos dan tak kenal dengki, ketika MOS, masih sempat-sempatnya ia mencandai Sie Evaluasi yang sedang murka. Selalu saja ia nyengir, di manapun dan dalam keadaan bagaimana pun.

Lihat selengkapnya