Resolusi-Resolusi Gila

Ansito Rini
Chapter #4

Kenangan yang Terlintas

Kompleks perumahan Nusa Permai yang terlihat lebih hijau di pagi hari selalu membuatku tentram. Daun pohon-pohon palem dan jajaran tanaman hias menengadah khidmat menerima siraman cahaya matahari. Sebentar lagi penyiram tanaman otomatis di beberapa titik akan turut mencurahkan kasih sayangnya pada rumput dan pepohonan sekitar.

Beberapa kali aku mengangguk pada tetangga yang kutemui. Menyapa anak-anak kecil yang tertawa-tawa sepanjang jalan menuju Sekolah Dasar, serta satpam yang berjaga di gerbang kompleks. Aku bersenandung begitu ban sepeda melindas jalan raya. Perlu lima belas menit untuk sampai sekolah. Dan kini, jalan raya mulai ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor.

“Suaramu bagus.” Mendengar ujaran itu, aku kaget setengah mati.

Kulihat di belakang, sudah ada seorang pemuda yang memasang cengiran lebar.

“Yaampun Van… sejak kapan kamu di situ, haaa?” tanyaku yang membuat Irvan terkekeh.

“Pas kamu lewat warung Nenek tadi, aku langsung naik,” jawabnya simpel. Aku menautkan alis. Mendadak suasana di sekitarku terasa mencekam. “Kayaknya kamu harus boncengin aku tiap hari, deh,” tambahnya enteng.

“Heh?”

Aku masih berpikir keras. Memikirkan Irvan yang… apakah selalu seperti itu? Datang tanpa tanda-tanda dan pergi begitu saja? Mungkin tubuhnya terlalu ringan sampai-sampai ia membonceng pun tidak terasa.

Thank you, Rinjani!”

Aku melongok dan mendapati Irvan sudah turun di depan lobi. Tuh, kan!

Terlihat dari kejauhan, pemuda mungil itu melambaikan tangan dengan kepala bergerak-gerak seperti biasa. Bagus, sekarang ia lebih mirip boneka selamat datang.

Kuparkir sepeda di samping sepeda-sepeda lain dan mulai berjalan melintasi parkiran motor. Sebuah kunci terlihat masih menggantung di salah satu motor yang kulewati. Hanya ada satu orang yang baru saja hengkang dari tempat itu; pemuda tinggi berambut lebat yang kini menapakkan sepatu PDH-nya ke koridor.

“Mas!” panggilku sembari mencabut kunci. Ia tak juga menoleh, membuatku segera bergegas untuk berlari menyusul. “Mas yang pake jaket biru!” baru setelah kupanggil seperti itu, ia menoleh. “Is it yours?” tanyaku sambil menunjukkan kunci di tangan. Ia mulai meraba saku hoodie-nya.

“Iya,” jawabnya tanpa ekspresi, “Thanks.” Ia mengucapkan itu dengan tidak tersenyum sedikit pun. Bahkan senyumku yang begitu lebar ini tak juga dibalasnya. Aku menghela napas saat ia berlalu begitu saja. Seriously? Tahan, Riiin.

“Rinjaniiii!” panggil seseorang yang membuatku menoleh ke belakang. Terlihat Alan dengan baju berantakan berlari ke arahku. Menyaksikan penampilannya yang tidak rapi, aku geleng-geleng kepala. “Pagi...,” ucapnya dengan senyum terkembang lebar, merekahkan kedua lesung pipinya.

“Tumben, pagi banget kamu berangkatnya,” komentarku. Kini ia sibuk merapikan kemeja.

“Tapi tetep ajaaa… kalah pagi dari lo. Berangkat sekolah naik apa, sih!? Jet? Motor? Sepeda? Ngojek? Ngebis? Dianter?” tanya Alan memberondong.

“Nyepeda.”

“Naaa... mending lo gue jemput tiap hari aja gimana? Kasihan lo... udah ramping, nyepeda tiap hari lagi,” tawar Alan yang membuatku tertawa kecil.

“Enggak, lah, makasih. Nyepeda itu sehat, kok,” sahutku yang membuat Alan manggut-manggut sambil tersenyum kecewa. “Lagian, aku juga harus boncengin Irvan.”

“Irvan?” tanya Alan dengan alis bertaut. Aku hanya mengangguk. “Jadi lo boncengin Irvan tiap hari?” Alan tampak berpikir sambil mengelus-elus janggutnya. Tak lama kemudian, senyumnya terkembang lalu bertanya, “Lo kalau berangkat jam berapa?”

“Emm... jam berapa, ya? Enam, kali.” lagi-lagi Alan manggut-manggut. Matanya menyipit, lalu tersenyum misterius.

Segera setelah itu, keramaian lain menyusul. Shasa dengan jeritan khasnya menyapa kami, disusul omelan Marla kepada Alan seperti biasa. Di belakang mereka, seorang gadis berjalan santai dengan headset putih di telinga. Saat menyejajariku, ia tersenyum dan mengajakku bersalaman.

“Pagi yang ramai,” komentar Mia. Aku tersenyum mengiyakan.

Mataku tertuju ke gedung kelas yang akan kami tuju. Tampak di lantai dua, seorang pemuda berjalan tegap menyusuri balkon. Tangan kanannya menahan ransel yang hanya ia sampirkan di bahu kanan, sementara tangan kirinya ia simpan di saku hoodie biru yang ia kenakan. Pemuda angkuh tadi. Reflek bibirku mencebik. Kemudian fokus pada gerak-gerik dan wajahnya. Wajah itu… seperti pernah tahu.

Lihat selengkapnya