Satu jam sebelum jadwal yang telah ditentukan, Mia sudah tiba di depan rumah. Saat pintu kubuka, mata bulat itu berbinar. Bibir tipis yang diolesi lipstik merah muda itu terkembang, menampilkan gigi-gigi putih besar yang berderet rapi, membuat otot di sekitar pipi tembam itu mengencang. Seperti biasa, rambut Mia dikucir rapi, memakai kaos abu-abu polos berlapis kemeja kotak-kotak merah-biru yang tidak dikancingkan, dan celana jeans hitam. Aku merangkulnya masuk dan mempersilakannya duduk di sofa ruang tamu. Dilepasnya tas selempang coklat, lalu menghela napas panjang dan tersenyum simpul.
“Mau minum apa?” tawarku yang membuat Mia menggeleng.
“Nunggu yang lain aja,” jawabnya.
Aku menyibak taplak meja kecil yang ada di tengah ruangan. Kuraih tumpukan majalah yang ada di bawah meja dan memindahkannya ke atas.
“Biar nggak bosen,” kataku yang membuat Mia segera meraih salah satu tabloid. Aku ikut duduk di sampingnya.
“Kamu pernah nonton ini nggak? Sumpah keren banget!” Mia menunjuk sebuah halaman ulasan film, membuatku ikut mencermati.
“Belum sempet nonton yang itu. Tapi... yang Divergent... keren!” sahutku yang membuat Mia sumringah.
“Gereget, kan? Chemistry-nya Tris sama Four waw gilaaaa. Kamu harus nonton yang Insurgent!” seru Mia sambil gigit jari. “Aku punya, besok tak bawain.”
“Beneran??” kepalaku terasa meledak-ledak saking senangnya. “Thankyou Miaaa.... Oiya, aku baru baca Divergent sama Insurgent. Kamu punya Allegiant nggak?”
“Punya, besok sekalian, ya,” janjinya, “Kamu juga suka ini nggak... The Hunger Games? The Hobbit?”
“Harry Potter? The Mortal Instrument? Supernova?” lanjutku.
“Ascendant Trilogy?”
“The Darkest Mind? The Host!”
“Aaaaaa!”
Aku dan Mia berpelukan. “Tapi yang The Hobbit kelima belum, sih.”
“Ihh... kamu harus baca!” titah Mia yang kemudian bercerocos tentang keseruan buku itu. Aku antusias menyimak. Sesekali menyahuti hingga kami membicarakan buku lain. Akhirnya setelah sekian lama merasa bodoh karena tidak nyambung dengan segala topik pembicaraan teman-temanku, ada juga yang akhirnya se-otak.
“Oh... jadi kamu juga suka nulis?” Mia manggut-manggut begitu kuceritakan hobiku. “Kamu punya blog?” tanyanya yang membuatku mengangguk. “Kapan-kapan aku ngintip blog kamu, deh. Pernah kepikiran bikin vlog nggak?”
Keningku mengernyit. “Vlog?”
“Iya... video blog. Blog bentuk video yang biasa di-upload di Youtube,” jelasnya.
“Baru denger ini, sih.”
“Ya semacam itu, lah. Coba tonton aja. Seru! Aku sih... cuma penikmat.”
Lama aku dan Mia mengobrol, tapi belum juga ada teman lain yang datang. Obrolan kami tak putus-putus karena ternyata, kami sehati dalam banyak hal. Mia juga bercerita banyak tentang dirinya, tentang Ayah-Ibunya, adik laki-lakinya, dan beberapa keisengannya ketika kecil. Juga tentang Neneknya yang keturunan Yaman, yang jejaknya masih terlihat di wajah Mia yang hitam manis. Mia bertanya banyak tentangku, yang kemudian aku jawab apa adanya tanpa ada yang kututup-tutupi.
Tak lama kemudian, suara motor vespa terdengar. Aku keluar, melambai pada Alan yang baru saja melepas helm. Ia masuk dan terlihat kecewa saat mengetahui sudah ada Mia di dalam.
“Yah, Mi... lo selalu ngebuat gue gagal jadi yang pertama,” celetukan Alan membuat Mia tergelak. Sontak gadis itu melemparinya dengan majalah.
Keributan dan gelakan tawa panjang terdengar dari luar. Kubuka pintu lagi. Irvan, Marla, dan Shasa berseru, bergabung masuk ke dalam bersama Mia dan Alan. Lengkaplah keonaran itu menyesaki ruang tamu.
“Perapian sudah siap.” Sebuah suara berbisik, menyela diantara gelakan tawaku dan teman-teman.
Aku menoleh ke sumber suara. Terlihat Om Rafa melongok dari balik pintu ruang tengah. Aku mengangguk dan mengode teman-temanku untuk bersiap. Diam-diam kuperhatikan wajah Marla tampak menahan senang. Sedangkan Om Rafa justru tersenyum. Senyum yang baru kali ini aku lihat di wajah lonjongnya: senyum laki-laki tulen yang tebar pesona.
“Malem ini kita bakar ikan gurame mau?” tawarku.
“Mauuuu!!” teman-teman menjawab kompak. “Yee... makasih Rinjaniiii! Makasih ooom!”
Malam itu untuk pertama kalinya aku menghabiskan malam minggu dengan kegiatan selain tidur. Kegiatan yang tak pernah kulakukan sebelumnya bersama orang selain keluarga. Aku dan Alan sibuk dengan bakar-membakar. Kadang aku yang menusuk dan membolak-balikkan ikan, sedangkan Alan yang mengipasi, kadang sebaliknya. Tampak Marla sedang mengobrol seru dengan Om Rafa, membuat tiga teman lain antusias menyimak.
Malam ini alam sangat bersahabat. Di atas sana, atap dunia bersih tanpa awan, menyajikan gemintang yang sangat menawan dan berkerlip indah. Angin berhembus lemah, bahkan sama sekali tak terasa. Jalan cor blok di samping kebun masih menyimpan panas tadi siang, membuat kami merasa hangat saat mendudukinya. Om Rafa undur diri, tidak mau menganggu quality time kami, katanya. Sedang kami masih saja mengobrol, masih ingin melakukan berbagai hal. Malam itu kami lewati dengan menonton film, bermain truth or dare, gaple, bahkan ular naga. Seakan kami sedang me-re-act segala perangai masa kecil yang pernah kami lakukan. Waktu sudah hampir pukul sebelas saat kami memutuskan berhenti.
Merasa lelah, kami tidur terlentang berjajar sambil memandangi langit.
“Aku pengen hari-hari yang berkesan di SMA ini,” cetus Marla memecah keheningan.
“Aku juga,” sahut Irvan yang diulang Shasa dan Mia.