Resolusi-Resolusi Gila

Ansito Rini
Chapter #6

Resolusi Shasa

Gigiku terus memperpendek wortel yang ada di tangan, sementara tangan kiri tetap menyetang. Jauh di depan sana, seorang pengemudi sepeda motor yang berlawanan arah denganku menyerempet seorang anak SD dan membuatnya terjatuh. Aku berhenti, memperhatikan kecelakaan itu dari radius 20 meter.

Seorang anak SMA menepikan motor, menggotong si anak SD dengan segera. Didudukannya bocah laki-laki itu di tepi jalan. Sang pemuda melepas helm kemudian melepas jaket biru yang ia kenakan. Ia membebat lutut si anak dengan jaketnya untuk menghentikan pendarahan. Tampak wajah tegas dan dingin pemuda itu geram ketika melihat orang yang menabrak justru diam saja, tetap nangkring di atas motor, menonton, dan tidak berusaha melakukan apa-apa. Si pemuda bangkit, mengomel kepada seorang ibu-ibu gendut seperti memperjuangkan nasib si anak.

Aku menghela napas. Melihat alis tegas, tulang pipi menonjol, dan gigi gingsul pemuda itu, tak salah lagi, orang itu adalah orang yang pernah kutemui dan kukenal. Namun, ada hal yang membuatku ragu.

“Kok berhenti, sih? Liatin apa?”

“Haaah!!” setengah menjerit, aku kaget mendapati Irvan telah berdiri di atas boncengan, tampak berusaha melihat apa yang aku saksikan. Wortel yang masih setengah di tanganku terlempar ke tengah jalan. “Aduh Irvan... bisa nggak sih kamu dateng nggak ngagetin?!”

Irvan nyengir sambil mendorong-dorong bahuku, menyuruhku untuk segera melaju. Kupancal pedal, menyebrang jalan raya dan berbelok ke kompleks gedung SMA Mandala. Irvan masih duduk manis di boncengan ketika aku menarik standar sepeda. Tumben.

Pemuda yang kulihat di jalan tadi baru saja mematikan mesin motor. Tatapannya menajam saat mata kami bertemu. Sebuah tatapan enggan, tak acuh, dan angkuh. Sebuah tatapan yang sangat kubenci dari seorang laki-laki.

“Van,” sapanya pada Irvan saat berjalan mendahului kami.

“Yuhuuu.” Irvan manyahut bahkan saat pemuda dingin itu sudah jauh.

Penasaran, kusodok siku Irvan. “Siapa, sih?”

“Krisna... temen SMP-ku. Kenapa? Ganteng?” jawab Irvan yang membuatku berdecak.

“Mukanya rese banget,” komentarku.

Irvan tergelak. “Dia jadi gitu tahu nggak gara-gara siapa? Gara-gara aku!”

Alisku bertaut, menuntut penjelasan lebih lanjut.

“Dulu dia jadi idola cewek-cewek. Tiap hari dikerubungin dan direbutin. Hari-harinya dipenuhi godaan-godaan yang menyebalkan. Itu jaman SMP dan dia curhatnya sama aku, temennya yang perhatian ini. Dulu dia nggak kaya gitu. Murah senyum, ramah, baik hati, dan tidak sombong. Aku bilang, itu yang harus dia ilangin. Pokoknya… buat suatu impression yang membuat cewek langsung sebel. Dan hasilnya, kaya yang kamu liat. Ideku bagus, kan?” Penjelasan Irvan membuatku tercengang. Ide yang aneh tapi masuk akal.

“Rinjaniii...!” panggil seseorang dari arah belakang. Aku menoleh, menemukan Alan sedang berlari ke arahku dengan wajah penuh peluh, napas tersengal, dan kemeja putih tidak dikancingkan sehingga menampakkan kaos oblong biru muda yang basah oleh keringat. Ia tersenyum lebar seraya menyejajariku dan Irvan.

“Habis ngapain Mas bro?” tanya Irvan sambil menepuk bahu Alan keras.

“Abis balap sepeda,” jawab Alan di sisa-sisa napasnya. “Rinjani nyepedanya cepet banget!”

“Enggak, kok. Kamu aja Lan yang kurang pagi.”

“Oh... gitu, ya?”

Aku tertawa kecil. Salut oleh kegigihan Alan untuk berangkat naik sepeda. Kutepuk bahunya dan menggenggamnya erat guna mengalirkan semangat. Pemuda itu lantas tersenyum simpul sambil terus bercerocos tentang pengalaman bersepedanya pagi ini.

***

Hari pertama bimbingan olimpiade, bidang yang kutekuni tidak jadi dimulai hari ini. Guru piket mengatakan bahwa Pak Wahid–pembimbing Olimpiade Komputer kami sedang ada urusan penting di kantor dinas dan tidak bisa ditunda. Padahal peserta sudah lengkap, memenuhi seperempat lebih dari jumlah meja-meja di laboratorium komputer. Setelah mendengar pemberitahuan itu, dua orang keluar, menyisakan delapan orang lain yang masih tetap diam di kursinya.

Kupandangi layar monitor lebar di hadapanku dan mulai menyalakan mesin. Setelah halaman desktop terbuka, ku-klik shortcut gambar rubah mengelilingi bumi dan mengetikkan blogger.com pada addres bar. Begitu memasukkan email dan password, sampailah aku di halaman dashboard. Rugi jika kesempatan ini hanya dilewatkan dengan berdiam diri.

“Rinjani duluan, ya!” kata Erwin–pemuda berkacamata yang merupakan satu-satunya teman kelasku di sini.

“Oke...,” jawabku seraya melambaikan tangan pada Erwin dan pada dua teman laki-laki yang menyertainya. Sekarang, aku satu-satunya anak perempuan yang tersisa di lab ini.

Baru saja mengembalikan pandangan mata ke layar monitor, sebuah jendela chatroom terbuka.

Client14 : lagi ngapain?

Dahiku mengernyit. Komputer-komputer di lab ini memang saling terhubung sehingga memungkinkan percakapan antar client. Kuputar leherku, menyapu penghuni lab yang tampak asyik dengan urusan masing-masing. Seorang pemuda di belakang meja sampingku yang tengah sibuk dengan tabletnya? Tidak mungkin. Pemuda di belakangku? Pemuda berkacamata tebal yang sibuk memenceti keyboard-nya? Atau... pemuda yang sedang menghadap ke belakang, yang sedang mengobrol dengan seorang pemuda lain yang dari sini, terlihat sedang memegangi mouse-nya yang menyala?

Lihat selengkapnya