Bulan September.
Bulan di mana demokrasi dan politik sekolah sedang memanas. Majelis Permusyawaratan Kelas bekerja sama dengan KPU, menyelenggarakan Pemilos. Kebetulan sekolahku dijadikan sentral Pemilos se-kota Jogja. So, umat-umat sekolah akan merasakan atmosfer pemilu sebagaimana yang terselenggara di Indonesia.
Minggu lalu para tim sukses sibuk merekrut anggota-anggota partai. Semua berlomba untuk memperoleh masa sebanyak-banyaknya; menjaring pendukung agar saat hari orasi nanti, dapat bersuara paling meriah. Itu sudah merupakan tekanan mental tersendiri bagi kandididat yang memiliki masa sekelumit.
Tentu saja, kami berlima pendukung Marla garis keras. Hari Senin kemarin gadis itu berdiri di depan podium, menghadapi 600 lebih manusia dan berorasi dengan semangat. Dengan slogan ‘beriman, berwawasan, berkarakter, dan bertanggung jawab’ ia mampu mengundang tepukan tangan para hadirin dalam setiap kalimatnya. Sedangkan kami, para anggota Partai Nyiur Melambai sudah tidak hanya sekadar tepuk tangan, tetapi juga berteriak, mengepalkan tangan, dan berdiri memberikan dukungan penuh. Tentu saja, kami berlima lebih tertarik dengan konsekuensi Marla yang berhasil daripada Marla yang gagal.
Spanduk sudah dipasang, stiker telah disebar. Tinggal meyakinkan teman-teman yang butuh perjuangan ekstra. Alan dan Irvan adalah yang paling bersemangat. Mereka sampai mencari dana agar bisa membagi-bagikan air mineral dan makanan kecil gratis, yang pada bungkusnya telah ditempel stiker kampanye. Agar–tentu saja, mendukung Marla di pemilihan nanti.
Sementara kami berkampanye hingga berbusa-busa, Marla justru tidak mampu berkata-kata. Ia hanya bisa menggigit bibir dan berdiam diri di kelas karena cemas. Masih belum membayangkan dirinya sendiri memimpin flashmob dan memakai kostum sedemikian gila.
“Balik, nih?” tanya Alan yang membuat kami langsung mengangguk. Keringat Alan sudah bercucuran. Di pundaknya tersampir handuk putih kecil yang sesekali digunakannya untuk mengelap dahi. “Hei... jangan lupa coblos Marla, ya! Calon Ketua Dua OSIS... nomor tiga jangan salah!” kata Alan sambil tersenyum manis dan membagikan stiker yang masih tersisa di tangan kepada empat siswa perempuan yang sedang berdiri di depan kelas mereka. Kulirik gadis-gadis itu memekik tertahan sepeninggal Alan.
“Sabar, Rin... playboy cap kaleng Kong Guan mah biasa kaya gitu,” bisik Mia yang membuatku hanya bisa menjawab ‘apa sih’. “Tapi tenang aja, Alan sukanya sama kamu, kok.” Mia melantur lagi. “Ehhh... nanti jadi, kan?”
“Iya, dong! Kalau enggak aku nggak punya temen,” ujarku dengan bibir manyun. Mia kemudian tersenyum, berusaha berjinjit untuk meraih bahuku.
“Okeee... nanti aku temenin.” Mia tersenyum lebar yang membuatku tersenyum juga.
***
Setelah pulang dari warung makan Nenek Irvan, aku dan Mia langsung meluncur ke rumah. Satu agenda baruku setiap malam minggu: menghabiskan waktu bersama Mia. Om Rafa tidak akan ada di rumah di Sabtu malam. Ia harus ada di butiknya, mendatangi acara arisan dan perkumpulan bersama para pelanggan. Besok pagi baru akan pulang.
Sebelum melakukan agenda kami berdua, aku harus membantu menyelesaikan editing video terlebih dahulu. Jadi, aku selalu akan jadi yang pertama menonton video series itu, bahkan sebelum video itu diunggah. Resolusi dan kualitas gambar video Mia cukup baik sehingga membuatku tidak harus mengatur pencahayaan dan warna sedemikian rupa. Dan perlu diketahui; ini adalah video pertama.
“Terkadang seseorang tidak menyadari perasaan cintanya sampai berpikir bahwa ia telah jatuh cinta. Kemudian apa yang harus kita lakuin? Buatku, karena love is like a wind and water, let it blow, let it flow. And for you who always make my day brighter, you will always be my favorite topic to talk about.”
“Gimana, Mi?” tanyaku sambil menghempaskan diri di ranjang tempat Mia menayangkan videonya. Serta merta Mia memelukku.
“Bagus, Rin, baguuuus! Thanks banget!” ucapnya kemudian mengelap matanya yang berkaca-kaca. “Keren!”