Resolusi-Resolusi Gila

Ansito Rini
Chapter #8

Berawal dari Musikalisasi Puisi

Andai saja sekolah tidak mewajibkan setiap siswa mengikuti ekskul selain olimpiade, dengan kata lain olimpiade dimasukkan dalam ekskul, tentulah aku tidak di sini; di ruangan sempit remang-remang yang dinding dan lantainya dilapisi karpet abu-abu tebal. Ruangan yang dingin kerena AC ini memiliki seperangkat alat band di sudut dalam, berbagai alat musik kecil-kecilan seperti tamborin, ketipung, dan lain-lain yang tergantung di dinding atau tergeletak di meja, serta sofa panjang berwarna putih tulang di sudut dekat pintu; yang kutempati saat ini.

Namun aku beruntung memilih ekskul seni musik. Tak lain karena kebebasan yang ada di dalamnya. Kami dibebaskan untuk melakukan apapun di dalam studio. Pak Santo hanya mengisi di 15 menit awal. Setelah beliau menawari kami apa yang akan dilakukan–yang kami jawab dengan belajar alat musik, maka guru beruban berpenampilan trendi itu akan keluar dan tidak kembali lagi.

Sedangkan aku dari tadi hanya diam, terus menggigiti wortel sambil mendengarkan tiga teman perempuan yang sedang duduk di bawah merumpi. Seorang pemuda dengan wajah frustasi sedang bersungguh-sungguh belajar gitar ditemani buku chord di pojok studio. Dua teman laki-laki yang duduk di tengah-tengah studio sedang menyanyikan lagu 90-an, terdengar seperti why do you love me, dengan suara sumbang diiringi genjrengan gitar pemuda yang duduk di antara mereka–dialah Krisna.

Guys! Ditawarin sama anak-anak sastra, nih! Musikalisasi puisi,” ujar Santi yang baru saja masuk sambil memperlihatkan kertas yang ia bawa, “Ada yang luang?” pertanyaannya mengundang gelak tawa penghuni studio. Semua tahu bahwa anak-anak musik terkenal selo, paling luang, tapi tetap saja selalu sok sibuk.

Menyaksikan pertanyaannya tak bersambut, bahkan beberapa ada yang terang-terangan menggeleng, Santi menghela napas dan berjalan ke kelompok anak laki-laki yang kini telah menghentikan nyanyiannya. “Nih! Kamu aja, Kris! Ajak siapa gitu terserah. Cuma lima orang, yang satu udah dari anak sastra. Yang jelas aku nggak bisa. Tanggal segitu Kakakku nikahan,” jelas Santi panjang lebar. Dijatuhkannya kertas yang kutebak berisi ketentuan lomba itu tepat di depan Krisna.

“Harus!” tekan Santi saat Krisna melirik kertas itu berpikir.

Akhirnya Krisna mengangguk, membuat Santi tersenyum lega. “Nah, gitu, dong! Kamu mau ngajakin siapa?”

Alis Krisna terangkat. Tangan kanannya merangkul Ferdi–pemuda langsing yang putihnya keterlaluan, dan tangan kirinya merangkul Bima–pemuda gempal berpipi tembam. “Mereka berdua... sama...,” mata Krisna tertuju ke arahku. Seketika aku mengernyit ketika sudut bibirnya menyunggingkan senyum. “Rinjani?”

“Hm??” Aku mendelik dengan mulut penuh wortel, potongan terakhir yang kulahap semua.

“Udahlah... nggak usah sok-sokan, deh! Krisna udah milih kamuuu.” Alisku bertaut mendengar nada bicara Santi di kalimat terakhir. “Udah! Diskusi, yaa...!” Tuturnya yang sengak berubah manis setelah berhasil menyeret dan mendudukkan aku di hadapan tiga kaum adam yang kini menatapku dengan beragam ekspresi.

“Oiya... tadi aku bareng anak sastra yang jadi pembaca puisinya.”

Santi berjalan keluar, kemudian kembali dengan menggandeng seorang gadis. Mataku berbinar.

“Miaaa!”

Gadis itu tersenyum lebar saat aku memanggilnya. Ia ikut duduk di sampingku dan berbisik, mengungkapkan kebahagiannya saat tahu bahwa dia akan satu tim dengan Sang Pujaan Hati.

“Selamat diskusiiii,” ucap Santi tersenyum puas sambil berlalu meninggalkan kami.

Mia ambil suara mencairkan kebisuan yang terasa kaku. Ferdi mulai bertanya-tanya soal kompetisi. Mia yang telah berpengalaman mulai menjelaskan, kemudian ditimpali Bima dengan pertanyaan lain. Mengalirlah diskusi itu dipimpin oleh Mia yang memang memiliki keterampilan bicara yang cukup mumpuni. Kulirik pemuda yang sejak tadi tidak terlibat dalam interaksi. Dengan serius ia justru memilih membaca ketentuan yang ada di kertas padahal di depannya, ada orang yang bersedia menjelaskan panjang lebar, bahkan yang tidak ada di ketentuan sekalipun. Tidak menghargai sekali, pikirku.

“Ini puisi yang kamu pilih?” tanya Krisna seraya memperlihatkan halaman paling akhir. Sebuah puisi dari Sapardi Djoko Damono.

Dengan senyum ceria Mia mengangguk. Penjelasannya berlanjut pada teknik musikalisasi, dan sebagainya. Krisna tetap tak memperhatikan, membaca puisi itu dengan ekspresi datar. Setelah Mia mengatupkan bibir, Krisna menghela napas.

Lihat selengkapnya