Di atas sadel sepeda gunung hitam mengkilap, Alan telah nangkring, menunggu di seberang jalan depan rumah dengan senyum terkembang lebar. Berangkat melintasi jalan perumahan, ia terus bercerocos. Sempat terjeda karena kami harus memperhatikan jalan saat membebaskan diri di jalan raya. Lalu ceritanya bersambung. Kali ini tentang play off Putih Abu-Abu Futsal kemarin. Tentang bagaimana panitia hanya menginginkan tim yang benar-benar memenuhi kriteria layak tonton. Bahkan sampai uji kelayakan suporter dengan mengadu kekompakan lewat social media. Menggunakan hastag #MandalaBelongstoPAF, tagar tersebut harus trending. Dan tentu saja yang paling utama; adu kualitas pemain.
Minggu depan, pertandingan futsal antar SMA se-Yogyakarta itu akan dimulai. Untuk pertama kali, dapat kutangkap ambisi Alan yang sedemikian kuat, lewat profil wajahnya dari samping. Ternyata, setiap orang punya sisi seriusnya. Dan kali ini, aku akui, sisi Alan yang serius menguarkan aura yang lebih memikat dibanding penampilan sikapnya sehari-hari.
Sesekali aku melirik boncengan. Pikiranku beralih pada Irvan. Apa dia ketinggalan? Atau tidak berangkat?
“Kenapa?” Alan menangkap kegusaranku.
“Irvan?”
Alan melengos. “Nggak apa-apaaa… cuma 80 meter kalau jalan kaki,” sahutnya enteng.
Keterherananku hilang saat dari jauh, kulihat seorang pemuda berkaos abu-abu, bercelana jin selutut, dan beralas kaki sandal jepit sedang membenahi posisi gerobak.
Seketika aku berteriak, “Irvan!”
Bocah itu menoleh. Mukanya terlihat syok mendapati kami berdua. Sedang Alan sudah terbahak melampiaskan kepuasan.
“Kok kalian udah berangkat, sih! Aku belum mandiii!”
Irvan cepat-cepat menyelimuti gerobak mi ayam mininya dengan sebuah spanduk besar. Ia sampai melompat-lompat agar benda yang dibawanya bisa tersembunyi dengan sempurna. Terpampanglah gambar Marla dengan raut serius di spanduk maha besar itu. Sesegera mungkin Irvan meraih tas yang tergeletak di lantai koridor dan cepat berlari menuju kamar mandi. Aku dan Alan terpingkal-pingkal menyaksikan tingkahnya
***
“Mi, mi, mi!” Irvan terus saja menjajakan mi terakhir. Padahal bagi kami, konsekuensinya telah lunas.
Sejak pulang sekolah, kami menemani Irvan berjualan. Banyak yang mengantre untuk menikmati mi ayam Irvan, akibat bosan dengan menu makanan ‘kantin sehat’–yang sayangnya kurang mengenyangkan dan justru menguras isi kantong dalam satu kali makan. Maka, kehadiran mi ayam Irvan disambut gembira oleh teman-teman. Namun susahnya ketika dari kejauhan, terlihat ada guru yang mendekat. Seperti sekarang. Kami kelimpungan menggelar spanduk, memepetkan gerobak dengan tembok masjid. Kini gerobak Irvan tepat menghadap koridor kelas X.
“Siang, Pak.” Irvan menyapa Pak Jalu, guru berkacamata old frame bersongkok hitam yang matanya selalu terlihat kuyu. Kadang melihat raut mukanya, membuat kami ikut-ikutan pasang ekspresi serupa saat beliau bercerita panjang lebar tentang imperialisme zaman Belanda; mengantuk.
“Sedang apa kalian?”–tambahan: selalu ingin tahu.
“Kampanye, Pak! Pak, jangan lupa dukung Marla... Calon Ketua II OSIS. Nomor tiga! Jangan salaaah!” Irvan nyengir menepuk-nepuk foto Marla di spanduk yang tergelar. Yang disebut-sebut hanya menunduk seperti berkata–oh my God sementara aku dan Shasa manggut-manggut mendukung. Pak Jalu geleng-geleng kepala dan memilih melanjutkan langkah menuju gedung perpustakaan. Kami berempat menghela napas lega.
“Krisnaaa!” Irvan berteriak girang saat seorang pemuda muncul dari jalan kecil yang terhubung ke Masjid.