Aku memperhatikan teman-teman yang mendandani Marla dengan kostum yang telah disiapkan. Sesekali Marla mengomel saat dengan semena-mena Alan menempelkan barang-barang aneh di tubuhnya. Membuatku dan Shasa cekikikan.
Pemilos berakhir pada jam kelima, satu jam pelajaran sebelum pulang. Kami berlima datang ke ruang perhitungan suara, menjadi saksi bertambahnya garis-garis lurus kecil-kecil di papan tulis. Beruntung, jam terakhir kosong. Membuat kami bisa menemani Marla yang sudah tegang sejak dibukanya kotak suara Ketua II. Padahal di sampingnya, Pitoko, pemuda berambut klimis berkacamata kotak tebal yang merupakan Calon Ketua II OSIS yang lain, mengembangkan senyum tenang. Tentu saja kerena dialah pemegang suara terbanyak sampai sekarang. Sudah 300 dari 600-an suara yang dibacakan, Pito unggul dengan menguasai 45 persen suara. Sedangkan Marla hanya 30 persen. Sisanya kandidat lain.
Di sampingku, Alan meremas kertas dan menjadikannya bola kecil. Dilemparnya bola kertas itu ke barisan yang tegak lurus dengan barisan kami, barisan para calon-calon pemimpin Organisasi Siswa Intra Sekolah. Kepala Marla menyerong ke kanan saat benda itu mengenai dahinya. Alisnya bertaut.
“Lu kenapa pucet? Kebelet?” celetuk Alan lirih, membuat kami tertawa tertahan.
Marla semakin mengerutkan dahi. Ia kembali menghadap ke depan, memperhatikan tiga anak MPK yang sedang bekerja sama menghitung suara.
Akhirnya, tibalah waktu ketika hanya nomor urut tiga yang disebut. Tak ada nomor lain, hanya tiga, tiga, tiga, dan seterusnya. Marla terus mengejar Pito yang telah mencapai angka 181. Dan akhirnya, angka Marla berhenti di nomor 193 bertepatan dengan habisnya kertas di kotak suara.
Seketika kami menjerit. Membuat orang-orang yang ada di ruangan itu menatap kami.
Dan di sinilah kami saat ini, di ruang remang-remang lagi penuh debu tempat peralatan olahraga disimpan. Alan tertawa terbahak-bahak. Ia sudah tidak kuat melihat Marla yang terlihat konyol. Helm biru terpasang di kepalanya. Pelampung berwarna hijau neon membalut kemeja kotak-kotak putih-hitam lusuhnya. Selendang tipis oranye melingkari leher. Celana cut bray abu-abu belel dihiasi dengan ikat pinggang berbahan rafia terpakai di kakinya yang panjang. Penampilan sinting itu masih ditambah dengan high heels merah dan berbagai gelang berwarna-warni di kaki dan tangan.
“Sumpah! Lo sekarang kaya alien yang paham mode!” Alan yang terduduk di lantai berseru sambil memegangi perut. “Bahkan alien sama lo, jelekan looo!!”
Serta merta high heels setinggi enam senti itu menginjak paha Alan. Pemuda itu berteriak. Membuat Marla tak segan-segan menempelengnya. Tak kapok pemuda itu kembali tertawa. Sedangkan kami, tertawa dengan suara sewajarnya, membuat perut kami sakit.
“Udah-udah.... Lan, bantuin Irvan nyiapin sound atau ikut Shasa sama Rinjani ngumpulin anak-anak kelas sepuluh. Mereka udah dikasih tau, kan?” Mia menghentikan pertikaian sambil memeluk lengan Marla, menenangkannya. Aku dan Shasa mengangguk dan mulai keluar dari gudang olahraga diikuti Alan yang masih sempoyongan menahan tawa.
Kami semakin bersemangat menyeret masa saat dari arah lapangan upacara terdengar musik disko bertempo nge-beat. Tak perlu kesulitan untuk meminta teman-teman karena beruntung, angkatan kami solid. Setelah anak-anak kelas sepuluh benar-benar terpusat di tengah lapangan–tepat di tengah-tengah kawasan SMA Mandala, musik disko meluruh menjadi musik dance Korea. Beberapa terpingkal melihat sosok pemimpin flashmob di depan, yang mengacungkan telunjuk kanan ke atas pertanda siap. Namun kemudian ikut bergerak dengan semangat saat Marla memulai gerakannya. Kami berlima telah tersebar di antara kerumunan, menjadi pemandu gerakan bagi yang lain. Dapat kulihat kakak-kakak kelas dan guru berkerumun di balkon lantai dua, koridor, dan sekitar lapangan. Beberapa penghuni lantai dua bersegera turun dan bergabung. Beberapa sibuk merekam video sambil tertawa-tawa.
Aku suka mix music ini tak lain karena akulah yang mengeditnya. Sementara koreo, kami minta tolong anak dance. Minta gerakan yang sederhana dan mudah ditirukan.
Hasilnya? Mampu membuat kami berkeringat dan... menjadi kenangan yang layak ingat.
***
Tubuh Alan berhenti tepat di depanku saat aku hendak keluar kelas melewati pintu. Ia nyengir, menyandarkan tubuhnya di gawang pintu menghalangiku.
“Lo nanti nonton, kaaann?” tanyanya sambil meraih rambutku yang jatuh di wajah karena lepas dari kuciran. Sontak aku beringsut mundur. Menyelipkan rambut yang berantakan ke belakang telinga dengan tanganku sendiri.
“Ya nonton, lah! Sahabatku kan lagi berjuang!”
Kudorong bahu Alan, agar beroleh jalan untuk keluar.