Kutatap langit-langit kamar yang putih bersih. Cairan hangat yang semenjak tadi merembes, membuat mataku lelah. Seharusnya aku tidak menangis. Namun menyadari bahwa aku tidak mampu berdiri menyaksikan sahabatku berlaga gara-gara masalah seperti ini membuatku kesal. Untung ada kasur, bantal, dan selimut lembut, sehingga membuat kepalaku sedikit nyaman. Emosi yang beberapa jam lalu menguasaiku berangsur-ansur jadi reda. Aku menghela napas, memiringkan tubuh ke kiri, ke arah tembok. Kini di depan mataku adalah ponsel flip ungu, yang tadi sempat berulang-kali berdering.
Alan menelponku. Menanyakan posisiku karena sejauh mata memandang, tidak ditemukannya aku di antara kerumunan suporter maupun teman-teman. Dengan nada menyesal, sedih, dan hancur, aku mengatakan tidak bisa menonton karena ada sesuatu yang harus aku kerjakan; menyelesaikan tugas kelompok ekskul dan ketuanya tidak mau menoleransi. Alan paham walau bisa kutangkap nada kecewanya. Ia berjanji, akan memberiku kesempatan menonton lagi. Satu jam kemudian, ia mengirimkan kabar bahwa tim futsal sekolah berhasil melaju ke final. Janjinya terpenuhi.
“Rinjaniii...,” panggil seorang laki-laki dari luar kamar pelan. Sudah empat kali ia melakukan itu. Namun, aku tak juga menjawab apalagi membukakan pintu. Aku bukannya marah, hanya ingin menenangkan hati. Baru kali ini aku ‘berkelahi’ dengan orang selain Mama-Papa. Dan itu sedikit membuatku syok.
Kuhirup udara banyak-banyak kemudian menghembuskannya pelan. Mengumpulkan kekuatan untuk menuju pintu.
Terlihatlah laki-laki berambut jabrik, berhidung mancung, dan bercambang tipis; melukiskan raut khawatir. Ia tersenyum getir begitu melihatku. Rambut yang tergerai berantakan dengan sepasang mata kuyu. Tangan Om Rafa menyela-nyela rambutku dan merapikannya.
“Kalian, ya… sama-sama keras kepala! Lekas temuin Krisna, gi.... Dia nggak mau pulang kalau kamu belum nemuin dan maafin dia,” jelas Om Rafa yang membuatku terbelalak.
“Krisna belum pulang?” tanyaku tak percaya. Padahal ini sudah pukul enam petang. Itu artinya, ia sudah menunggu selama tiga jam!
“Belum. Makanya cepet sana! Kasihan dia, kan? Tampangnya udah kaya orang patah hati,” komentar Om Rafa yang membuat tawaku terpantik.
Dan benar saja. Di depan layar televisi flat, terduduk seorang pemuda, bersandar di punggung sofa sambil melamun. Aku melongok dari belakang. Memperhatikannya dari samping. Begitu menoleh dan mendapatiku, matanya melebar dengan ekspresi wajah yang sulit kubaca. Senang, kesal, menyesal, atau perpaduan ketiganya? Yang jelas, keangkuhannya telah memudar.
“Nungguin?”
“Menurutmu?”
Aku segera berjalan ke sisi depan untuk duduk di sampingnya. Dengan sungguh-sungguh, Krisna menatapku sambil berucap, “Maaf... aku tadi kebawa emosi.”
Aku mengangguk pelan, memberanikan diri untuk menantang matanya. “Aku juga minta maaf ya, Kris… udah egois. Kebawa emosi juga.”
Untuk pertama kali setelah sekian lama, senyum melengkung di bibir Krisna. Kerupawanannya kian sempurna. Ada dentuman beruntun yang lagi-lagi menyerang jantung saat mencoba menyaksikan senyumnya lagi. Berbeda dengan yang kurasakan siang tadi saat dekat Alan, kali ini debarnya menyebar, disertai aliran euforia ajaib yang meluruhkan tembok pertahananku yang menjulang. Aku baru tersadar lagi saat Krisna bertanya, “Kerjain sekarang mau nggak?”
Mendengar tawarannya, alisku bertaut. “Katanya ada acara?”
“Aku udah membuat agendamu kacau. Sekarang, agendaku juga harus kacau. Aku sama kamu udah berkorban. Biar pengorbanan itu nggak sia-sia, ya harus ngelarin lagu itu, kan?” jelas Krisna.
Aku manggut-manggut sambil menyipitkan mata. “Oke! Penebusan yang setimpal.”
Kemudian kami tergelak.
***
“Kamu masih inget rumah ini?” tanyaku sambil menyodorkan sepiring nasi pada Krisna.
Kami sudah selesai mengerjakan lagu. Butuh dua jam bagi kami untuk menyelesaikannya sampai tuntas. Untung Krisna tidak membawa pekerjaan itu dalam keadaan belum tersentuh sedikit pun. Bisa-bisa sampai besok jika harus mengerjakannya dari nol.
“Masih, lah...,” jawabnya tenang. Tangannya terulur mengambil telur balado di tengah meja.
Aku tertawa. Teringat bagaimana Krisna beserta orang tuanya pernah mengantarku pulang ke rumah saat Om Rafa belum juga menjemputku seusai camp pemrograman empat tahun lalu. Itulah mengapa ingatan tentang bocah itu sedemikian berkesan. Kini justru ia datang lagi ke sini seorang diri.
“Om kamu nggak ikut makan?” tanyanya di sela-sela peraduan piring dan sendok.