“Hari ini kamu udah nolak ajakanku dua kali.”
Ungkapan yang membuatku harus menyusun kalimat seefektif mungkin, dengan nada bicara yang biasa saja. Padahal Alan mengatakan itu datar, tapi saat diterima hatiku, serasa dibonceng dan dilewatkan jalan berbatu.
Kuuraikan permintaan Kak Demian siang tadi. Dan di akhir penjelasan menekankan, “Kita pulang sekolah bareng kan bisa besok lagi. Apa aku harus tunda nganterin Kak Demian ke rumah Shasa? Kan ini demi Shasa juga. Siapa tahu dengan kedatangan Kak Demian, Shasa jauh lebih baik?”
Pada nyatanya tidak ada emosi di wajah Alan. Aku saja yang sensi. Malah ia berpesan sambil tersenyum lebar, “Iya… aku cuma komen doang, Rinjani. Jangan serius-serius. Hati-hati, ya! Kalau kamu nggak nyaman, ajak siapa gitu, Marla atau Mia.”
Aku manggut-manggut. “Nggak apa-apa. Kami diantar Kak Haidar sama Kak Astrid. Nggak berdua aja.”
Lalu dua tepukan beruntun mendarat di bahuku sebelum kami berpisah di lobi.
Sebagaimana aku; yang menyimpan secuil rahasia hidup–terutama soal keluarga–dan tak membagikannya pada orang lain; Shasa pun begitu. Bedanya, punyaku masih terlipat rapi dalam amplop kertas. Keutuhannya bergantung padaku akan membukanya atau tidak, atau pahit-pahitnya ada yang mencuri lalu mendedel paksa. Atau justru tergantung kondisi ruang penyimpanan, yang kadang lembab, kadang kering, sehingga amplop itu lama-lama koyak sendiri. Sedangkan amplop milik Shasa, sore ini terbuka. Dikelupas oleh Kakak laki-laki pertamanya; seorang Ayah muda yang langsung memboyong keluarga kecilnya–istri dan anak balita kembali ke rumah milik orang tuanya (yang nyatanya hanya berjarak belasan kilometer dari rumah sendiri) setelah menerima kabar perundungan yang Shasa alami–hanya untuk menemani Shasa pulih kembali. Bahkan Kakak kedua Shasa yang bekerja di Bandung, yang telah bertahun-tahun merantau, ikut pulang juga.
“Sebenarnya, ini aib keluarga kami. Aku ceritain ini, karena yakin, kalian lah teman terbaik Shasa. Dan biar ngerti keadaan Shasa, dan yang sebenarnya dia lalui. Aku kenal Rinjani sejak Shasa SMP. Teman paling setia dan amanah yang aku tahu. Dan Demian, karena aku percaya kamu orang baik, aku harap… kamu bisa jadi orang paling tulus yang nemenin Shasa sampai waktu yang semoga melebihi ekspektasiku.” Bang Riki mulai bercerita.
Setahun setelah Ayah Shasa wafat; meninggalkan Shasa yang akan masuk SD, Bang Ian–kakak kedua Shasa yang setahun lagi masuk SMA, dan Bang Riki yang masih setengah perjalanan kuliah; Ibu Shasa menikah lagi dengan seorang pensiunan pejabat BUMN karena sudah merasa kewalahan menghidupi keluarga seorang diri. Baru dua tahun merasakan kondisi keluarga yang stabil, Sang Ibu justru menyusul berpulang–setelah dua minggu bertahan di rumah sakit akibat kecelakaan lalu-lintas. Jadilah yang mengurus mereka bertiga adalah Sang Ayah sambung. Semua terlihat normal di tahun pertama; Shasa yang selalu diantar jemput ke Sekolah Dasar oleh Ayah tiri, Bang Ian yang terus gigih belajar demi tembus PTN impian, dan Bang Riki yang sibuk menjadi mahasiswa semester akhir. Hingga Shasa yang semula merupakan anak periang, menjadi pemurung dan jatuh sakit karena sering menangis diam-diam plus tidak mau makan.
“Shasa tu anaknya periang banget. Jadi kalau dia merasa sedih, atau ada masalah yang mempengaruhi mental dia, bakal keliatan. Dan bener. Setelah aku anter dia ke rumah sakit, setelah menjalani pemeriksaan, dokter nemuin luka lebam di beberapa bagian tubuh, termasuk luka di organ vital. Kami syok berat. Ayah tiri kami sampai naik pitam. Kalian bisa bayangin semarah apa kami.”
Napasku tercekat. Dapat kudengar di sampingku, Kak Demian menghela napas. Kami sama-sama tegang.
“Tapi… justru karena kegusaran Ayah tiri kami itu, yang membuat kami bisa mengungkap kebejatannya, dibantu aparat dan lembaga terkait. Mengungkap bahwa sebenernya, orang gila itu, tukang ngobat–bahkan sebelum nikah sama Ibu. Pilihan hidup yang tentu saja paling kami sesali sampai kapan pun, ya nerima dia jadi pengganti Ayah. Shasa dapet trauma fisik dan mental sedemikian besar, membuat kami sebagai kakak laki-laki merasa hancur sehancur-hancurnya. Rasanya setiap hari, menit, detik… setiap kami napas, pengen rasanya naik ke tebing, terus loncat gitu aja. Pasti sakit yang bakal kami rasain, nggak separah yang dirasain Shasa.”
Ada cairan yang menggenang di mata besar Bang Riki. Kami mengheningkan cipta khidmat. Sampai Bang Ian tahu-tahu duduk di sebelah Bang Riki, kami luput menyaksikannya masuk ruangan karena terlalu tenggelam dalam keperihan. Pemuda dengan raut galak itu menatap kosong meja kayu di hadapan kami–tempat bagi semua pandangan berkumpul. Sedangkan Bang Riki, dengan sorot mata yang berkebalikan dengan Sang Adik–lembut dan menenangkan–tetap tegar melanjutkan. “Kamu sekarang paham kan Rin, kenapa kami seprotektif itu dulu?”
Aku mengangguk pelan. Menelan ludah yang sejak tadi terhimpun di mulut. Baru kali ini menelan ludah sendiri rasanya sakit.
“Ian memilih buat ngelewatin seleksi masuk perguruan tinggi, nemenin Shasa. Aku ngambil cuti setahun, fokus kerja buat biaya hidup kami bertiga. Itu adalah tahun terberat di hidup kami.”