“Theodora Liliana Fani alias Tara. Sebelas IPA satu. Dulu orang tuanya sempet jadi Ketua Komite Sekolah selama enam tahun. Semua kakaknya jebolan SMA Mandala. Kakak pertama, sekarang udah jadi arsitek, salah satu lulusan terbaik angkatan 43. Kakak kedua, baru dua tahun kemarin lulus. Namanya Mas Teddy, mantan Ketua OSIS, sempet ketemu pas pelantikan. Nggak tahu yang terakhir ini, si Tara, beda jauh dari kakak-kakaknya, paling problematik. Yah, meski pun isi kepala bisa bersaing sama anak-anak sini, tapi kelakuannya nggak banget. Dia tu terasing kalau di kelas, temennya ya cuma Calista.”
Marla mengetuk-ketuk telunjuk ke halaman yang berisi foto Kak Tara beserta informasi yang tertulis rapi dengan pulpen boxy. Lalu tangannya membalik halaman buku, menguliti satu persatu tersangka laksana mengungkap identitas buron.
“Edina Calista Syakir. Sebelas IPA satu. Anak dari donatur tetap sekolah. Bisa masuk SMA Mandala karena selembar sertifikat juara dansa tingkat internasional. Bisa survive secara akademik ya karena Tara. Alias tukang contek.”
“Jocelyn Zaida Amani. Sebelas IPS dua. Selebgram-nya SMA Mandala. Bukan anak pejabat, atau orang penting. Tapi paling pinter se-IPS dua. Nggak ngerti kenapa bisa Kak Celyn kesasar di circle itu. Sayang aja gitu. Dan yang paling lucu… dia… mantannya Demian waktu kelas sepuluh.”
“Terakhir. Zareesh Fathia. Sebelas IPA empat. Kepala sukunya KPOPers SMA Mandala, jadi banyak pengikut. Plus… pacarnya Ridwan, anak kelas dua belas, danton tahun kemarin.”
Aku geleng-geleng kepala. Membuat Marla semakin mencondongkan tubuhnya padaku, antusias meneruskan. Matanya sudah membeliak dengan alis terangkat sedikit.
“Gila, kan? Sekilas nggak akan pada percaya kelakuan mereka sampai kaya gitu. Tapi asal kamu tahu, Rin… mereka cuma segelintir yang muncul ke permukaan. Beberapa kakel, bahkan temen-temen kita sendiri, kalau udah di luar… nggak akan nyangka juga bisa sengeri itu kelakuannya. Omongannya, lah, cara berpakaian, gaya pacaran, dan lain-lain. Jadi… punya circle yang positif tu anugrah banget.”
Dengan penuh keseriusan, Marla menjabarkan rencana beserta strategi demonstrasinya minggu ini. Jika tiga hari lagi belum ada perkembangan yang berarti tentang tindak lanjut kasus Shasa, ia akan demo di depan ruang Kepala Sekolah, bersama para simpatisan terdaftar. Pasalnya, setelah kasus itu, mereka-mereka tetap berseliweran seperti tidak terjadi apa-apa, sangat berkebalikan dengan Shasa. Meski telah disidang di ruang BK dan memperoleh sanksi yang entah apa tidak jelas, tapi bagi Marla, itu tidak sepadan. Meski ia juga sadar, bahwa kesalahan ada pada regulasi di SMA Mandala. Belum ada yang secara tegas mengatur tentang skema tindak lanjut kasus perundungan. Satu dari sekian hal di sekolah ini yang paling membuatnya kecewa berat.
“Ya ampun, Mar… aku salah fokus. Bukumu belum ganti? Ini udah sejak SMP, kan?”
Marla yang baru saja menutup buku catatan tebalnya terkekeh. “Yang tertulis di sini, khusus buat nulis kasus-kasus berat. Kamu tahu siapa yang paling banyak halamannya?” Ia kemudian membuka bukunya lagi. Berhenti di halaman tengah, menunjukkan foto, menyibak halaman-halaman selanjutnya.
“Alan?”
“Yes. Setahun aku sekolah di Jakarta, cuma ngurusin anak nakal ituuu.”
Seakan mengerti keterherananku, Marla kembali bercerita.
“Aku udah pernah cerita, kan? Alan tu anak tunggal, yatim sejak kecil, cuma hidup sama Ibunya. Sehari-hari dia lebih sering bareng temen, karena Ibunya juga sibuk kerja. Minusnya, Bibi tu tipe orang tua yang apa-apa dituruti. Secara… Alan anak semata wayang, udah kehilangan sosok Ayah sejak kecil. Nggak ada secuil hal di hidup Alan, yang dia pengen, nggak dia dapet. Sekolah impian, barang-barang pribadi, atensi, temen, cewek, apa aja, deh. Meski kadang dengan cara yang kurang pantes. Ditambah lagi, Ibunya meninggal pas dia mau naik kelas sembilan. Makin-makin dia kurang bisa ngendaliin diri ketika marah.”
Kini giliran tubuhku yang menegap, mencondongkannya pada Marla. Kutatap Marla dengan dahi berkerut; menuntutnya untuk meneruskan.
“Misal, nih… pernah kejadian. Dia dan timnya tanding futsal sama sekolah lain. Ada salah persepsi sama wasitnya. Nggak tahu detailnya gimana, intinya beberapa kali wasit ngeluarin keputusan yang nguntungin pihak lawan. Bagi Alan dan temen-temennya itu jelas-jelas nggak sesuai. Udah, deh. Sekolah kami kalah, Alan ngerahin semua temennya sekaligus suporter yang loyal banget, buat nyerang sekretariat penyelenggara. Lapangan futsal carut-marut, beberapa suporter lawan luka-luka. Itu cuma salah satu kasus. Kalau mau tahu lebih lengkap, baca aja sendiri, nih.”
“Titik balik Alan tobat?”