Kedramatisan kami terhenti ketika hentakan keras menghantam meja. Membuatku dan Mia kompak menoleh pada seorang gadis yang baru saja melempar tas. Wajah Marla menyimpan kesal, kemudian dengan loyo menjatuhkan diri ke kursi di sebelah Mia.
Mia meraih tas kecil berwarna hijau itu lalu mengubek-ubeknya. “Bawa apa mbak bro?”
Mendapati isi tas, dahiku dan Mia berkerut. Alat cukur beserta silet yang telah terpasang, dua gunting kecil, satu gunting besar, dan satu lagi gunting superbesar–yang biasa digunakan untuk menyiangi rumput.
Menyaksikan kami yang menatapnya heran–menunggu penjelasan, Marla menanggapi, “Udah! Nggak ada lagi ampun buat Alan. Kita harus bikin rencana buat dia. Kalau gini terus, tu bocah bakal ngelak.”
Aku dan Mia ber-oh panjang.
Alan telah berhasil mencapai resolusinya, yang karena hal itu, ada konsekuensi menanti; rambutnya harus dipangkas habis. Ia terus berusaha kabur dari konsekuensi itu. Mengajukan belasan alternatif konsekuensi lain yang otomatis kami tolak mentah-mentah. Maka, Alan selalu berupaya untuk mengulur, menghindar, atau mengalihkan pembicaraan jika salah satu dari kami mengingatkan hutangnya.
“Jadi, apa rencananya?” tanyaku kemudian.
Mia dan Marla saling berpandangan. Mata mereka berbinar dan menoleh padaku serempak sambil menyeringai. Alisku bertaut.
***
“Lewat English Zone, ya?” pintaku sambil memegangi ransel Alan, mengodenya untuk mulai berjalan. Telah lebih dari lima menit ia berdiri di depan kelasku, menungguku memasukkan barang-barang yang baru mulai kukemasi setelah guru keluar.
Alan melirik heran. “Lewat belakang kelas dua belas?”
Aku mengangguk. “Aku tadi habis dari UKS, jatuhin obat penambah darah. Jatahnya kelasku, Lan… kucari-cari nggak ketemu. Barang kali kamu lebih teliti…? Jadi… minta tolong bantu cari…,” pintaku dengan nada se-aleman mungkin. Sangat bukan aku, tapi Alan tak merasa aneh sama sekali. Ia justru terkekeh.
“Lagian ngapain lewat situ, kan ada jalan yang lebih bagus. Malah pilih lompatin got!” komentarnya sambil menjewer kupingku.
“Loh, kan lebih cepet?”
“Iya, sih… tapi….” Sambil terus berjalan beriringan, Alan mencondongkan tubuhnya, mendekatkan mulut ke telingaku lalu berbisik, “Di situ sering dipake mojok, ati-ati.” Raut Alan berubah serius. “Minggu lalu, aku nggak sengaja lewat situ sendirian. Liat anak kelas sebelas. Sepasang. Lagi berdiri dempet-dempetan di tembok.”
Aku begidik, menjauhkan tubuh Alan lalu memekik, “Ih! Ngapain?”
“Ya grepe-grepe, lah. Polos amat sih kamu!” serunya sambil meluruskan pandangannya, menyinkronkan kaki, melintasi tepian saluran air.