Sementara Irvan dan Mia pulang, aku dan Marla melipir ke kantin. Menyulih asupan energi yang habis terbakar karena tawa. Lagi pula, aku rindu ayam mentega Konter 02. Sudah lama tidak ke kantin. Beberapa minggu ini sedang rajin bawa bekal, mencoba berbagai resep bento akibat melimpahnya bahan makan di rumah. Sejak Om Rafa sering ada urusan di luar rumah, bahkan sampai tidak pulang, stok dapur selalu bertambah. Mungkin khawatir aku kelaparan, sehingga setiap pulang, Om Rafa sering membawa oleh-oleh.
Kami berdua sedang menunggu datangnya pesanan saat dua pemuda menghampiri. Seorang pemuda jangkung yang langsung mengambil kursi di seberang kami–Kak Saka, Ketua I OSIS. Dan seorang yang lebih ekspresif, yang tambah terlihat nyentrik jika behel berkaret hijau di sebalik bibir lebarnya terlihat–Kak David, Wakil Ketua I. Marla siaga menyaksikan Kak David mendekat, seperti akan menghampiri meja kami.
“Mar, bisa pindah ke meja samping?” Pemuda itu meminta sambil menunjuk kursi yang telah diduduki temannya. Arah pandang pemuda itu kemudian beralih kepadaku. “Sorry, ya, Rinjani… kami pinjem Marla dulu,” pintanya santun.
Aku mengangguk. Menyaksikan Marla yang tampak masih tercengang, seakan menyimpan tanya. “Rinjani… nanti kalau makanannya udah dateng, kamu makan duluan enggak apa. Nanti aku nyusul.” Kembali aku mengangguk.
Maka setelah Bu Kantin menyajikan pesanan, aku langsung melahap hidangan itu. Pandanganku sesekali terarah ke meja para petinggi OSIS. Karena meja-meja yang memisahkan kami tidak ada yang menempati, pembicaraan serius itu terdengar jelas tanpa distraksi.
“Kemarin, Saka dipanggil Pak Restu, dimarahi habis-habisan. Atas aksi yang bahkan dia nggak tahu sama sekali. Demo dua hari yang lalu, dikira OSIS yang nginisiasi.” Kak David menerangkan lugas. Pandangan matanya menajam, berbeda jauh dengan keramahan yang ditampilkannya lima menit lalu.
Alis Marla bertaut. “Kenapa Kak Saka?” Nada bicara Marla tak kalah sadis. “Kenapa Pak Restu nggak panggil saya langsung?”
“Kamu tahu, kan, kalau Pak Restu marah gimana? Mana sempet ngebela diri apalagi nanya begitu?” Kak David mulai merutuk. “Kutebak juga Pak Restu dapet aduan dari guru-guru lain. Karena beliau empat hari kemarin ada diklat di luar kota.”
Marla baru akan mengambil napas untuk menjawab saat seorang pemuda yang sejak tadi diam mengambil suara dengan tenang, “Marla… maaf, aku tegasin dulu sebelumnya….” Berbeda jauh dengan sikapnya yang terlihat garang, penuturan Kak Saka justru lebih nyaman didengar daripada Kak David yang blak-blakan. “Kami… nggak bermaksud menyalahkan apa yang kamu lakukan. Karena yang kamu lakukan itu baik. Luar biasa baik. Tapi ingat, bahwa menyampaikan atau memperjuangkan hal baik juga harus dibarengi dengan proses atau cara yang baik.”
Bahu Marla lengser. Ia tatap baik-baik pemuda di hadapannya dengan sorot mata lemah. Kak Saka melanjutkan, “Awali dulu penyampaian aspirasi dengan dialog. Buat kesepakatan. Jika belum juga diberi kejelasan, dialog lagi, minta kepastian. Tunggu. Tuntut tindak lanjut, kalau perlu dialog lagi. Jika dari upaya itu nggak menghasilkan perubahan sama sekali, oke, demo. Tapi pastikan ada kesepakatan dengan seluruh partisipan tentang apa yang sebenernya dicapai, dan pastikan menggunakan bahasa penyampaian yang baik.”
Seakan takut kehilangan momen atas kejinakan Marla, Kak David lekas menyambung, “Kamu tahu, kan? Masalah ini tu complicated! Masalah yang bahkan para guru berselisih paham. Soal Tara, dan sekawanannya. Kalau soal regulasi, itu memang harus diperbaiki. Tatib kita tu disahkan lima tahun yang lalu. Udah kedaluwarsa memang. Padahal setiap tahun, aturan harus terus diperbarui.”
Kak David yang berada di tengah-tengah rekan organisasinya, memiringkan tubuhnya untuk lebih dekat pada Marla. Suaranya melunak. “Mar, apa pun yang Saka, aku, dan kamu lakuin… akan selalu dipandang atas nama OSIS. Inget, kamu Ketua II. Di atas sakumu itu ada pin yang cuma dipake kita bertiga. Jadi… please, untuk ke depan, pikir lagi kalau mau melakukan hal yang bisa ngaruh ke nama satu organisasi. Diskusi dulu, jangan nekat dan buru-buru.”
Marla menundukkan pandangan. Mengatur diri dengan berusaha tersenyum meski kelihatan getir. “Makasih udah perhatian. Dan makasih atas nasihatnya. Tapi, asal Kakak tahu, perjuangan saya sebelum aksi kemarin, nggak sesingkat itu.” Genggaman kedua tangan Marla dinaikkan ke atas meja. “Apa saya kelihatan seperti orang yang nggak mempertimbangkan hal-hal yang Kakak sebutin tadi?”