Resonansi Bayangan Menyala

andri hasanuddin
Chapter #1

Jejak Dibawah Kanopi Sonokeling

Bab 1

Jejak Dibawah Kanopi Sonokeling

Pagi masih menggantung. Kabut turun rendah, menyelimuti kaki bukit Curugparay seperti tirai yang enggan dibuka. Tak ada suara ayam. Tak ada dengus ternak. Udara sejuk tapi menyimpan sesuatu yang berat—seakan hutan sendiri menahan napas.

Dari celah batu besar yang menghadap lembah, Rahman berdiri. Di bawah sana, desa masih tertidur. Asap tak keluar dari tungku, pintu-pintu belum terbuka. Namun ia tahu: bukan karena belum waktunya bangun, tapi karena tak ada lagi yang ingin menyambut pagi.

Rahman menarik napas pendek. Dingin menggigit di balik kerah jaket lapangannya. Di balik tubuhnya, jalur tanah kecil menurun menuju batas hutan—Jalur yang tak pernah lagi disentuh sejak insiden terakhir.

Ia menunduk, meraih segenggam tanah. Kasar dan lembap. Masih hidup.

“Kalau masih ada yang percaya, maka langkah ini belum sia-sia,” batinnya.

Ia menapakkan kaki. Kabut bergeser pelan, seolah membuka jalan bagi sesuatu yang tak terlihat.

Langkahnya baru dimulai.

Langkah kaki Rahman terhenti di batas rerumputan basah. Di hadapannya, Hutan Sonokeling menjulang—gelap, lebat, dan nyaris tak bersuara. Kabut pagi masih menggantung rendah, menyelimuti akar dan semak, seakan mencoba menyembunyikan apa pun yang bisa dibaca oleh mata biasa. Tapi bukan mata biasa yang dimiliki Rahman. Ia berjongkok, menyentuh tanah yang masih lembap oleh embun. Di sana, di sela daun gugur dan pecahan ranting, ada bekas sepatu. Bukan sepatu karet petani. Bekas kerja mesin—jenis yang dipakai mereka yang tak seharusnya ada di sini. Rahman menghela napas pelan. Tangan kirinya menyentuh kalung kecil berbentuk lingkaran akar di balik baju lapangannya. Benda itu berdenyut hangat, seolah menyambut ketegangan yang mulai merayap dari tengkuk ke punggungnya.

Rahman bangkit perlahan, matanya mengamati batang-batang pohon yang rapat. Ia melangkah masuk ke dalam hutan, setiap injakan diatur agar tak menyentuh ranting kering atau daun kaku. Nafasnya teratur, pendek, diselaraskan dengan irama langkah. Dalam diam, ia melakukan pola gerak Langkah Sunyi: tumit, jari, beku. Gerakan lambat, teratur, hampir tak meninggalkan suara. Itu bukan ilmu resmi, tapi warisan yang diturunkan diam-diam, hanya kepada mereka yang dianggap sanggup bertahan. Tampak seperti teknik bersembunyi, tapi sebenarnya lebih dari itu: cara menyatu dengan medan, membaca irama tanah, dan menahan napas hingga tubuh tak mengganggu hening. Di Hutan Sonokeling, Langkah Sunyi bukan keahlian tambahan. Ia kebutuhan hidup—dan tak semua yang berjalan bisa melakukannya.

Rahman melanjutkan langkahnya. Lututnya menyentuh akar besar. Sentuhan itu, membawanya ke hari pertama pelatihan. Rahman teringat saat diajari teknik itu. Hari keempat, ia masih mengira tugas penjaga hutan hanya soal peta, sensor, dan laporan satelit. Tapi seniornya—Pak Sulwan, lelaki tua dengan lutut yang nyaris tak berbunyi saat berjalan—mengajaknya menyusuri jalur akar tanpa suara, tanpa kata.

“Mendengarkan tanah lebih penting dari melihatnya,” kata Pak Sulwan saat itu, nyaris berbisik. “Kalau kau bisa berjalan tanpa mengusik ranting, kau bisa mendengar rahasia hutan.”

Rahman sempat meremehkan. Hingga satu malam, saat angin berhenti dan langit tak memantulkan cahaya, ia melangkah tanpa pola. Ranting patah. Daun kering berdesir keras. Dalam hitungan detik, seekor kijang melompat dan satu kelompok burung beterbangan—mengungkap posisinya kepada apa pun yang mungkin sedang mengintai.

Malam itu, Pak Sulwan tak berkata apa-apa. Hanya menatap. Dan Rahman mengerti: kesunyian bukan berarti tak ada suara. Tapi tahu kapan tubuh harus berhenti menjadi beban bagi sekelilingnya.

Sejak itu, ia berlatih sendiri. Di jalur batu, di semak tajam, bahkan di air dangkal. Sampai tubuhnya belajar lebih dulu daripada otaknya. Langkah Sunyi bukan lagi teknik. Tapi naluri.

Dan hari ini, di antara akar Sonokeling yang melingkar dan tanah yang seolah menyimpan napasnya sendiri, Rahman tahu—naluri itulah yang akan menjaganya.

Suara burung Kecitran terdengar samar di kejauhan. Tiga nada pendek, satu jeda. Rahman berhenti. Itu bukan kicau biasa—itu peringatan dari arah Sungai Cihampar. Ia mengubah arah. Medan menurun, licin oleh lumut. Di sela-sela pohon, ia mulai melihat bekas kerusakan: akar Lanthing yang terkoyak, semak Telang Merapi yang layu tak wajar. Di balik semak berduri, ia melihatnya: bekas roda. Jejak ban bergerigi menancap dalam di tanah, mengarah ke jantung hutan. Roda berat—kemungkinan Ekskavator modifikasi. Rahman menyentuh tanah di pinggir jejak. Hangat.

Baru saja lewat.

Hawa hutan berubah. Suara dedaunan menjadi tipis, dan dari kejauhan, terdengar dengung pelan—ritmis, tak alami. Rahman merapatkan tubuh ke pohon besar. Jantungnya mulai berdetak cepat. Ia merogoh kantong dalam jaketnya, menarik keluar gulungan kain kecil berwarna kelam. Simbol Mantra Akar terpahat samar. Ia tak berniat menggunakannya hari ini. Tapi jika mereka membawa alat berat, ini bukan lagi penyusupan. Ini serangan.

Rahman menyelipkan kembali. Ia bergerak menyusuri sisi jejak roda. Pepohonan mulai jarang, suara mesin makin jelas. Ia menaiki lereng kecil dan berhenti di balik pohon pinus tua yang terbakar separuh. Dari balik semak Kupu Wulungu yang berbunga senyap, ia melihat tiga orang: dua mengenakan rompi kerja, satu berjaket hitam dengan radio kecil. Mereka berdiri di sekitar ekskavator modifikasi. Di depannya, pohon Sonokeling tua telah tumbang.

Rantingnya masih mengeluarkan uap hangat. Baru saja ditebang.

Rahman menyipitkan mata. Bukan penebang biasa. Pola kerja mereka rapi, berjaga, senyap. Simbol kecil di sisi ekskavator—huruf R dililit daun berduri—membuat tengkuknya dingin. Rorongkong.

Seekor burung Kecitran melintas dan bersuara keras. Satu dari pria itu menoleh tajam dan menarik pistol kecil. Rahman menahan napas.

Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menurunkan tubuh sedikit, menekan lutut ke tanah lembap. Tangan kirinya perlahan meraba pisau di pinggang, sementara matanya tak lepas dari gerakan mereka. Setiap napas ditakar, setiap bayangan diperhitungkan.

Satu gerakan salah—dan keberadaannya bisa terbongkar.

Ia mundur, tapi suara dari belakang membuatnya berbalik. Pisau lipat di tangan.

Tapi yang dilihatnya: sosok tua, separuh tubuhnya lumut, berdiri membisu di balik akar besar. Tiga jari terangkat, lalu satu ditutup. Isyarat Langkah Sunyi.

Rahman menegang. Napasnya tercekat. Jari-jarinya menggenggam gagang pisau lebih erat, bukan untuk menyerang—tapi menahan getar yang mulai naik dari lengan.

Dadanya mengencang, dan untuk sesaat, pikirannya kehilangan logika: kenapa Bangbayang muncul di saat seperti ini?

Ia menelan ludah pelan. Bukan karena isyarat itu... tapi karena ia tahu: Bangbayang muncul, ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang bergerak.

Rahman mencoba tenang. Dia membalik tubuh dan berjalan ke jalur sempit. Sejenak, menatap jejak mesin, lalu mengikuti jejak tanpa suara itu. Ke arah yang tak ada di peta. Langkah Rahman menyatu dengan ritme akar dan tanah, mengikuti jejak Bangbayang yang bergerak. Jalur yang mereka susuri tak pernah diajarkan dalam pelatihan. Tak ada penanda. Tapi arah itu terasa benar. Seolah tubuhnya—bukan pikirannya—yang mengerti ke mana harus melangkah.

Dulu, saat masih baru menjadi penjaga, Rahman pernah dianggap terlalu logis oleh seniornya. Ia mengandalkan jejak, alat ukur tanah, kamera jarak jauh. Tapi semua berubah sejak malam di Lembah Raranggi, ketika ia nyaris tertangkap dalam kejaran maut dan diselamatkan oleh sosok tanpa wajah—dengan isyarat yang sama: tiga jari, satu tutup. Ia ingat saat itu, saat pertama kali mengerti bahwa menjaga hutan tidak sekedar soal data dan laporan. Ada kekuatan lama yang berdiam di balik akar. Dan kekuatan itu hanya menjawab mereka yang siap diam dan bertahan. Kini, setelah bertahun-tahun diam, Bangbayang muncul lagi. Bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuknya.

Rahman menyentuh dada kirinya—kalung akar kecil di balik baju. Denyutnya terasa lebih kuat dari biasanya. Seperti menegaskan: ini bukan patroli biasa. Ini adalah panggilan.

Ia melangkah lebih dalam. Jalur yang diikuti Bangbayang tak berpola—kadang melintasi akar, kadang menukik ke celah sempit antara bebatuan. Kabut mulai menipis, tapi hutan tak jadi lebih terang. Cahaya pagi seperti tersaring oleh kanopi pohon yang terlalu rapat, membuat bayangan lebih dalam dari biasanya.

Tanah di bawahnya mulai berubah. Lembap berganti licin. Lantai hutan tertutup lumut hijau tua dan daun kering yang tak lagi hancur oleh waktu—seakan tempat ini jarang dijamah makhluk hidup. Suara hutan juga ikut berubah. Tak ada kicau. Hanya dengung halus, seperti napas panjang dari tanah itu sendiri. Rahman tahu: ini wilayah transisi. Medan antara hutan rendah dan jalur akar tua.

Lihat selengkapnya