Resonansi Bayangan Menyala

andri hasanuddin
Chapter #2

Akar Lanthing Terbakar

AKAR LANTHING TERBAKAR

Bau hangus masih melekat di ujung napas Rahman. Ia berdiri di mulut Goa Langitpitu, diam seperti batu. Di bawah sana, hutan mulai berubah—karena niat yang dipaksakan masuk.

Akar Lanthing yang dulu berdenyut pelan kini tampak menghitam di beberapa sisi jalur. Bekas injakan berat menekan simpulnya, memaksa hening menjadi luka. Ini bukan kerusakan biasa. Ini pesan.

Jika akar Lanthing terbakar, maka hutan kehilangan indera. Akar itu menghubungkan zona-zona tanah lembap, mengalirkan sinyal alami antar bagian hutan. Jika rusak, ekosistem kehilangan peringatan dini. Kehilangan arah. Dan jika cukup banyak akar yang terputus, maka Sonokeling akan bisu—tak lagi bisa memperingatkan, tak lagi bisa melindungi.

Ia menggenggam erat pisau lipat di pinggang. Belum waktunya menyerang. Sunyi di dalam dirinya tak bisa hanya dipakai untuk sembunyi.

Ia menunduk. Debu hitam menempel di ujung jari.

Hutan sedang dipecah dari dalam.

Dan ia tak bisa menunggu hingga semuanya hangus.

Rorongkong bukan sekadar kelompok pekerja. Mereka bagian dari jaringan—terlatih, disiplin, dan bergerak seperti bagian dari tubuh yang lebih besar. Logo huruf R dililit daun berduri bukan sekadar simbol. Itu penanda operasi tingkat tinggi, identitas bagi yang bekerja di dalam regulasi.

Setiap unit mereka bergerak dengan presisi. Alat berat tiba di titik yang tercatat di peta. Dan saat pekerjaan dimulai, tidak ada ledakan—hanya perubahan perlahan: tanah tergerus, batang pohon hilang, dan garis batas hutan bergeser tanpa protes.

Mereka bekerja struktur. Logistik berpindah dengan catatan—terkendali. Semua dipantau dari pusat operasi jarak jauh. Perintah terarah, dimodulasi, tanpa nama, tanpa lokasi.

Rorongkong tidak muncul tiba-tiba. Mereka mendahului diri mereka sendiri—mengirim sinyal gangguan, menyabot jalur logistik warga, lalu hadir sebagai ‘penyelamat’. Ini pola yang berulang: gangguan dipicu, lalu solusi dipasang. Mereka bukan sekadar menebang pohon, mereka membelah wilayah, memetakan ketundukan.

Rorongkong bukan aktor. Mereka alat. Tapi alat ini… tahu kapan harus memutus urat nadi.

-------

Rahman menyisir perlengkapannya: pisau lipat, semprotan jamur Kudil Gelap sebagai asap penutup, dan gulungan peta. Di celah dinding, ia menempelkan sehelai kain sobek—kode survivor—untuk menandai bahwa Goa Langitpitu kini aktif dijaga.

Sebelum bergerak, ia menatap api kecil yang hampir padam dan bergumam pelan, nyaris seperti bicara kepada dirinya sendiri,

"Sudah cukup diam. Kalau mereka menebas nyawa, aku tak bisa hanya bertahan.

Rahman merangkak menyelinap keluar melalui celah samping. Malam semakin larut; angin hutan berhembus suara lirih. Rahman menjejak lembut ke tanah basah, lalu menyusuri pinggir jalan setapak lama yang sering dilalui ekskavator Rorongkong.

Dari balik semak, ia mengamati kamp mereka: lampu sorot kecil berpendar, rombongan penebang berseragam lusuh, dan deru mesin menunggu perintah. Rahman menepi ke pohon besar, lalu mengibaskan kain bertanda Mantra Akar ke udara. Asap hitam lembut menyebar, menutupi lampu sorot mereka. Dalam keremangan, akar-akar Akar Lanthing yang ia bawa menempel di batang pohon tumbuh memancar hijau—membentuk siluet menyeramkan: sosok berkerudung, lengan terentang seolah siap merangkul. Guncangan kecil di tanah menambah efek: seolah melompat ke tengah kamp.

Para penebang terhenti. Sorot lampu bergetar, lalu mati mendadak. Beberapa saling bertanya dengan gumaman. Di pepohonan—bayang-bayang yang menari cepat di lokasi berbeda—menggigilkan tulang mereka.

Rahman diam, membiarkan ketakutan menyebar. Bayangan yang ia ciptakan telah menyusup ke sebagian dalam logika mereka, menggoyang batas antara nyata dan mitos. Ia mundur perlahan, membiarkan gema langkahnya tertutup rumput dan kelembapan tanah.

Di kejauhan, suasana kamp mulai rapuh. Para penebang terdengar—tertawa canggung, sesekali mencoba membubarkan rasa takut yang menyelimuti mereka. Tapi tawa mereka tidak utuh; lebih seperti gema keputusasaan yang mencoba terdengar berani.

Seseorang berseru lirih acuh tak acuh, “Itu cuma bayangan hutan aja…”

Namun tak lama, suara lain menyahut. Lebih dalam, lebih pelan, tapi jelas terdengar dari arah barisan belakang.

“Bukan bayangan biasa.” ucap seorang pria bertubuh kurus dengan topi caping lusuh yang tergantung di lehernya. Namanya Darsa—warga Curugparay yang direkrut dua minggu lalu, lebih sering diam, tapi malam ini matanya tak bisa menyembunyikan gelisah.

Beberapa penebang menoleh. Darsa tidak menantang. Ia hanya bicara sambil menatap ke arah pohon besar yang menjulang di tepi kamp.

“Aku pernah lihat bayangan kayak tadi waktu kecil,” lanjutnya. “Di malam sebelum pohon nenekku tumbang. Waktu itu dibilang angin. Tapi nggak ada angin yang bikin burung berhenti bersuara.”

Salah satu penebang menghela napas, mencibir pelan. “Jangan mulai cerita kampung sekarang, Dar…”

Ia diam sebentar, lalu menunduk. “Kalian bisa sebut mitos. Tapi hutan ini... nggak suka kalau kita nyalain lampu terlalu terang.”

Tak ada yang menyahut.

Salah satu penebang, yang paling muda di antara mereka, menatap gelap di antara batang pohon. Napasnya tercekat, matanya terus bergerak. Tapi tiba-tiba, ia mengangkat suara, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada yang lain:

“Apa…. Itu…. Hantu?”

Suara gemetar, Sebuah usaha terakhir untuk menahan runtuhnya nalar.

Rahman yang bersembunyi di balik semak hanya mengamati. Ia tak berniat melukai mereka. Tapi rasa gentar adalah bagian dari senjatanya. Dan malam ini, senjata itu bekerja—menyelinap ke sela-sela pikiran mereka, menebar keraguan yang tak bisa dihalau hanya dengan logika.

Ketakutan sudah mulai merobek barisan mereka dari dalam.

Rahman mengawasi posisi penebang dari balik semak. Saat mereka sibuk dalam keraguan, ia merayap mendekat ke ekskavator yang dimodifikasi. Tanpa membuang waktu, ia mengambil semprotan jamur Kudil Gelap dan menyemprotkannya ke saluran bahan bakar kecil di bawah mesin. Cairan pekat itu menyumbat injektor. Lalu ia membuka panel kontrol, menarik beberapa kabel penting—cukup untuk membuat mesin mogok, tapi tidak merusak struktur luar sehingga kerusakan sulit dideteksi cepat. Rahman memasang kembali panel, lalu menyelinap ke sisi roda. Dengan pisau lipat, ia menggores tipis ban, menciptakan lubang kecil yang akan kempis perlahan.

Namun saat Rahman hendak mundur ke semak awal, terdengar langkah berat mendekat. Perlahan tapi pasti.

Ia menahan napas. Tetap diam di sisi roda, setengah tubuhnya menempel pada pelindung logam ekskavator. Pisau masih di genggaman. Bukan untuk menyerang, untuk bertahan jika terpaksa.

Langkah itu berhenti tak jauh darinya.

“Ini aneh,” suara berat itu terdengar pelan, tapi jelas. “Ban bagian kiri sedikit miring. Padahal semalam stabil.”

Umar membungkuk perlahan, lampu senter kecil di tangannya menyisir sisi ekskavator.

Cahaya itu menari, mendekat, hampir menyentuh sepatu Rahman yang menempel di tanah.

Rahman menahan napas lebih dalam. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Sekali senter mengarah sedikit ke kiri—jejaknya selesai.

Lihat selengkapnya