Resonansi Bayangan Menyala

andri hasanuddin
Chapter #3

Lembah Raranggi

Lembah Raranggi

Malam turun di Goa Langitpitu. Udara dingin, batu lembap, dan embun mulai merayap di sela-sela tanah. Akar Lanthing menyala pelan—cukup untuk melihat langkah. Sisanya gelap.

Rahman duduk menyandar ke dinding batu. Matanya terpejam. Ia tidak tidur. Diam, berjaga dalam gelap. Pisau lipat masih di pangkuan. Di sisinya: air hasil embun, akar kering, dan jamur gelap.

Ia bangkit. Jalan ke luar.

Bau tanah dan kayu lapuk menempel di dada.

Langit gelap. Tak ada burung. Tak ada cahaya.

Ia berdiri di batu datar, memandang lereng gunung.

Sunyi. Tidak kosong—hanya menunggu.

Tangan menyentuh tanah. Dingin.

Kalau aku hilang, mereka tetap datang. Kalau aku terlalu jauh, tak ada yang tahu hutan ini pernah dijaga.

Segalanya tampak diam. Tapi bukan berarti tenang.

-------

Di sudut dusun Curugparay yang sepi, Rahman bertemu seseorang. Di belakang rumah kayu, di bawah lampu minyak yang redup, Mang Sura sudah menunggu. Lelaki tua itu duduk bersila di atas tikar pandan, mengetukkan tiga kali ke lantai kayu, lalu satu hentakan. Kode lama.

Rahman membalas dengan dua sentuhan ke dada. Tak ada percakapan basa-basi. Mereka tahu waktu tak panjang.

Mang Sura menunduk. “Tadi siang, dua orang Rorongkong datang ke balai desa. Matanya bukan mata orang yang cari jalan. Mereka cari jaminan.”

Rahman termenung, mengolah informasi baru saja dia terima, kemudian ia mengeluarkan sketsa dari gulungan kain kecil. Denah jalur air bawah tanah, titik tekanan di bukit pinggir lembah, dan lingkaran merah: Raranggi.

Mang Sura diam cukup lama. “Kau butuh bantuan?”

Rahman tidak menjawab. Ia hanya menunjuk dua titik: Sungai Cihampar dan sisi utara Lembah Raranggi.

 “Sungai untuk logistik. Lembah untuk jebakan.”

Mang Sura menoleh ke dalam rumah. “Besok Subuh, satu orang, akan dikirim.”

Rahman mengangguk. Tak ada balasan kata, hanya pertukaran pandang yang cukup untuk menyegel kesepakatan. Ia tahu waktu mereka sempit. Dan sebelum Rorongkong mengubah jalur lagi, lembah itu harus bicara lebih dulu—dengan caranya sendiri.

Setelah Rahman menghilang ke gelap, Mang Sura tetap duduk di tempatnya beberapa saat, seolah menyimak suara malam. Lalu, perlahan, ia berdiri dan masuk ke dalam rumah panggungnya yang sempit dan tua.

Di dalam, hanya satu pelita kecil yang menyala. Di sudut ruangan, seorang pemuda duduk bersila di atas tikar goni, tubuhnya tenang tapi sorot matanya tajam. Ia belum berkata sepatah pun sejak masuk beberapa jam lalu.

Mang Sura menatapnya, lalu berkata pelan, “Darma.”

Pemuda itu menegakkan punggung. “Iya, Mang.”

“Waktumu mulai sekarang. Siapkan: tali baja tipis, pelunak akar, dan dua botol resin Telang Merapi.”

Darma mengangguk singkat. Ia tak bertanya untuk apa, atau ke mana. Semua sudah cukup jelas dari sorot mata Mang Sura—dan dari fakta bahwa Rahman sendiri yang datang malam ini.

Mang Sura membuka peti kayu tua di pojok ruangan. Ia menyerahkan sebuah bungkusan kecil yang dibungkus kain hitam, dan satu ikat lintingan bambu dengan penutup getah.

“Jangan pakai jalan biasa. Lewat jalur rotan tua. Simpan semuanya di titik simpul antara jalur tepi dan lereng. Kalau kau melihat daun jatuh ke arah kanan, berarti dia sudah disana. Kalau belum... tunggu.”

Darma menerima barang-barang itu, lalu berdiri dan membungkuk sedikit, sebagai tanda paham.

“Dan ingat,” tambah Mang Sura, matanya menajam, “Rahman bukan butuh tangan. Dia butuh seseorang yang bisa diam—sampai tanah bicara duluan.”

Darma mengangguk sekali lagi. Lalu ia keluar melalui pintu belakang, menyelinap ke gelap. Langkahnya ringan. Seperti sudah menyatu dengan malam yang ia bawa.

Mang Sura berdiri di ambang pintu, menatap hutan yang mulai tertutup kabut. Ia berbisik pada dirinya sendiri, “Kalau jalur itu benar-benar dibuka, maka satu-satunya harapan… tinggal mereka yang masih percaya.”

-------

Subuh, Rahman bergerak. Ia turun kembali ke jalur lama, menyusuri pinggir Cihampar, lalu naik ke sisi timur Lembah Raranggi. Ia memilih lokasi. Ia mengukur waktu. Ia menandai arah angin dan perubahan kelembaban tanah. Ia tak menunggu Rorongkong datang untuk bereaksi—ia mendahului.

Ia tak bekerja sendiri. Satu orang muda utusan Mang Sura—Darma—Malam menuju subuh. mengirim suplai: tali baja tipis, cairan pelunak akar, dan dua botol resin Telang Merapi. Menyimpan di suatu tempat. Tersembunyi, sesuai perintah.

Di satu sisi lembah, ia menanam pancang kayu ke tanah labil. Tali-tali baja dipasang melintang rendah di jalur sempit—cukup kuat untuk mengacaukan langkah, tapi tak terlihat dari jauh. Rahman bekerja paling lambat, paling diam. Ia tahu: yang paling mematikan bukan perang terbuka, tapi persepsi bahwa musuh ada di mana-mana.

Ia menuruni sisi lembah yang lebih teduh. Tanahnya lunak, berpohon rapat. Di tangannya, seikat tali baja tergulung rapi. Di punggungnya, kapak kecil tergantung—bukan untuk menebang, tapi membentuk.

Ia berhenti di jalur sempit selebar satu meter. Titik lemah.

Tanahnya miring, di sisi tebing rendah, diapit dua pohon berakar terbuka. Di sinilah alat berat terpaksa melambat. Di sinilah manusia cenderung menoleh ke bawah.

Rahman mencatat sudut kemiringan tanah, lalu mulai menggali di salah satu sisi jalur—sedalam lutut. Di dasar lubang, ia menanam pecahan kayu: cukup untuk melukai, tidak untuk membunuh. Lalu menutupnya kembali dengan anyaman daun dan tanah kering. Di depan jebakan, ia menempatkan batu kecil bertanda arang—penanda untuk dirinya sendiri.

Di sisi lain, ia menyiapkan perangkap keseimbangan.

Tali baja ia ikat ke akar pohon, lalu direntangkan setinggi betis melintasi jalur. Ujungnya ditambatkan di pohon seberang, dikencangkan pas—cukup untuk menahan tubuh manusia, tapi cukup rendah untuk tak terlihat oleh yang tergesa.

Ia membakar perlahan sepotong resin Telang Merapi, mengarahkannya ke jalur bawah.

Gangguan visual. Asapnya tak pekat, tapi akan mengaburkan pandangan saat cahaya menembus lembah. Cukup untuk memaksa operator bulldozer menurunkan pelindung wajah—membatasi pandangan tepi mereka.

Semua dilakukan dalam senyap.

Total waktu: Tiga jam.

Sebelum meninggalkan lokasi, Rahman memutar pandangannya ke sekeliling. Tak ada sisa. Tak ada bekas.

“Jika mereka jatuh, itu karena tak mengerti tanah ini. Bukan karena aku mendorong.”

Ia kembali ke jalur atas. Tanpa jejak. Tanpa bayangan.

Jebakan itu tetap diam—tak terlihat, kecuali oleh tanah yang tahu sedang dipasangi perangkap.

Sementara itu, jauh di sisi lain hutan, suasana berbeda sepenuhnya.

Jika lembah menyimpan kesunyian dan perangkap, maka pusat komando menyimpan kebisingan dan tekanan waktu. Di sinilah semua jalur keputusan bermuara—dan kegagalan kecil bisa mengubah seluruh rencana.

Kamp Pusat Rorongkong.

Terik matahari menimpa tanah terbuka di sekitar kamp pusat. Udara kering membuat debu-debu halus beterbangan setiap kali sepatu para kru menghantam tanah. Bau oli, logam, dan pelumas terbakar memenuhi udara—menempel di kulit, di pakaian, di setiap napas.

Deru mesin terdengar dari kejauhan, tidak stabil. Seperti enggan bekerja di bawah tekanan waktu dan medan yang mulai tak bersahabat. Di tengah deretan tenda logistik, seorang pria berdiri membisu di depan meja lipat berdebu. Danar.

Pemimpin operasi Rorongkong. Tubuhnya tegap, tapi sorot matanya lebih tajam daripada bahunya yang membusung. Di tangannya, tablet digital menampilkan peta topografi lengkap dengan tanda garis jalur logistik—semuanya tampak rapi, kecuali satu bagian: Jalur Rojak.

Ia baru saja menerima laporan dari Umar—mekanik utama. Jalur itu terhambat total. Mesin mogok. Kabel terbakar. Tak satu pun kendaraan berat bisa melintas dalam waktu dekat. Dan menurut perkiraan Umar, perbaikan akan memakan waktu lebih lama dari biasanya. Sesuatu… telah merusak sistem mereka dari dalam.

Rahang Danar mengeras. Matanya menatap garis merah pada layar—jalur utama yang selama ini menjadi tumpuan logistik. Landai, terbuka, dan mengarah langsung ke titik pembalakan barat. Ideal. Tapi kini tidak berarti.

"Zona hijau terlalu dekat dengan garis ini," gumamnya. Ia tak sedang bicara pada siapa-siapa. Tapi matanya tak lepas dari peta. Setiap titik jadi potensi bahaya. Terlalu banyak laporan sinyal terganggu. Terlalu banyak kamera lapangan yang mendadak mati. Dan terlalu banyak... keheningan yang terasa dibuat-buat.

Tanpa menunggu analisis, Danar memberi perintah singkat, dingin:

“Cari jalur baru. Lewat barat laut. Potong dari sisi Lembah Raranggi. Kita hindari zona hijau.”

Seorang asistennya ragu. “Pak... Lembah itu rawan. Tanah labil, sinyal buruk, dan—”

“Justru itu,” potong Danar. “Tak ada yang mengira kita lewat sana.”

Ia mengetukkan jarinya sekali pada layar. Lalu bergumam lebih pelan:

“Jangan lawan musuh yang tak kelihatan. Lewati saja mereka. Untuk sekarang.”

Anggota tim logistik mencatat cepat, sementara petugas survei menyiapkan drone untuk pemetaan udara. Danar tetap berdiri di tempat, diam, menatap peta. Di balik pikirannya, ada sesuatu yang belum bisa ia jelaskan—perasaan bahwa langkah mereka sedang diawasi. Bukan oleh aparat, tapi oleh sesuatu yang lebih sabar… dan lebih mengenal hutan ini daripada mereka semua.

Lihat selengkapnya