Suara siulan burung tak terdengar pagi itu. Hamparan halus putih belum sepenuhnya terangkat dari permukaan tanah, seakan hutan enggan membuka dirinya. Udara dingin menyusup masuk ke sela-sela tenda, menyatu dengan kecemasan yang tak kunjung reda, sejak malam.
Seseorang berjalan cepat melewati barisan truk—langkahnya teredam tanah basah, tatapannya tajam, tak lagi menyimpan kantuk. Di dekat dapur logistik, dua orang teknisi berbisik sambil menunjuk ke bekas tapak yang tak dikenal—bekasnya dalam, terlalu presisi untuk manusia biasa.
Tenda pusat tetap menyala meski matahari sudah terbit. Tak ada perintah istirahat, tak ada aba-aba bubar. Hanya rutinitas tanpa jiwa, seperti mesin yang dipaksa menyala setelah kehabisan daya.
Danar keluar dari tenda utamanya, diam sejenak di bawah naungan kabut, lalu berjalan menuju lingkaran kecil yang mulai terbentuk di tengah kamp untuk breefing. Langkahnya mantap, wajahnya menegang. Tak satu pun berani menyapanya pagi itu. Di antara nyala kecil api sisa semalam, Danar berdiri di tengah lingkaran kecil para anggota tim, membuka percakapan dengan nada tegas.
“Kita sudah dua kali gagal. Di lembah, di jalur utama, dan juga gangguan tadi malam—sabotase atau apa pun itu—menandakan satu hal: kita tak bisa lanjut dengan cara lama. Kita butuh rencana baru.”
Hening. Kata-kata Danar menggantung di udara dingin pagi itu, belum sempat ditangkap sebagai solusi, sudah disambar oleh suara keras yang lebih pedas.
“Rencana baru?” Rojak menyentak, suara seraknya terdengar seperti geram yang lama tertahan. “Kita itu merusak hutan! Sekarang hutan yang membalas. Kita terlalu meremehkan medan.”
Tatapan beralih kepadanya. Beberapa anggota muda mengangguk pelan. Bukan karena berani mendukung, tapi karena lelah bekerja dalam ketakpastian—didorong kerja siang-malam hanya untuk disambut kegagalan dan ketakutan.
Umar, teknisi senior, mengangkat kepala. “Heri, Rekamannya masih ada?”
Heri mengerti, kemudian mengangguk. “Sudah saya arsipkan. Tapi kualitasnya pecah—sinyal putus sesaat sebelum objek hilang.”
Danar menyela cepat. “Tunjukkan sekarang. Kita evaluasi.”
Heri hanya mengangguk, tapi kali ini tanpa membungkuk. Gumamnya tadi—telah berubah menjadi data yang akan dicari.
Heri bangkit, menyibak tudung jaketnya, lalu berjalan ke meja peralatan. Ia membuka ransel data, menarik keluar tablet tahan benturan, dan menyambungkannya ke layar portabel yang tergantung di sisi tenda. Jemarinya lincah menyusuri layar, membuka folder rekaman malam terakhir.
“Ini pukul 01.43. Drone thermal aktif, tapi visual hanya terekam separuh jalan,” katanya singkat.
Layar menampilkan citra buram—kontur pepohonan dalam nuansa hijau termal. Lalu, di sudut kanan, muncul titik terang kecil yang bergerak pelan ke kiri layar. Gerakannya tak beraturan, tapi cukup jelas bukan pantulan cahaya.
“Perhatikan bagian ini,” ujar Heri sambil menandai gerakan menggunakan stylus. “Objek ini muncul selama 4,3 detik. Tak ada pola panas menyerupai manusia atau binatang besar.”
Tiba-tiba, layar terganggu—garis horizontal menyapu cepat sebelum semuanya gelap.
“Sinyal terputus. Setelah itu tak muncul lagi, bahkan setelah drone memutar ulang jalur terbangnya.”
Danar menyipitkan mata. “Itu... bukan serangga besar? Atau pantulan dari kabut?”
Umar menggeleng. “Pantulan tidak meninggalkan jejak arah seperti ini. Dan sinyal mati tepat saat objek mendekati pohon Sonokeling. Terlalu presisi untuk dianggap kebetulan.”
Danar menarik napas pendek. “Simpan cuplikan ini. Kirim ke tim analisis visual di pusat.”
Heri menutup layar dan kembali duduk. Ruang rapat seketika sunyi—bukan karena rekaman itu sendiri, tapi karena kini, tak seorang pun bisa menyangkal: mereka sedang diawasi.
Saat Heri bersiap mengunggah cuplikan ke server pusat, tablet di tangannya bergetar. Sebuah notifikasi muncul di pojok layar—pesan terenkripsi dengan label: Instruksi Prioritas Level 2.
Ia membaca cepat. Dahinya mengernyit.
“Dari pusat,” gumamnya. “Langsung dari komando lapangan.”
Danar mendekat. “Apa isinya?”
Heri menyerahkan tablet.
PERINTAH OPERASIONAL:
Jalur wajib dibuka dalam waktu maksimal 96 jam ke depan.
Tidak ada opsi penundaan atau penarikan mundur.
Prioritaskan pengiriman logistik dan percepatan distribusi.
Setiap keterlambatan berikutnya akan memicu peninjauan ulang kontrak seluruh unit kerja di lokasi.
– KORS
Keheningan mendadak menyelimuti tenda rapat. Kalimat-kalimat terakhir terasa lebih tajam daripada bayangan apa pun yang mereka lihat di layar.
Umar menatap meja, suaranya pelan. “Mereka tidak peduli soal sabotase...”
Danar menutup tablet dengan satu tangan. Wajahnya mengeras. “Bukan tidak peduli. Ini peringatan. Gagal satu kali lagi, dan semua tim di kamp ini bisa dicoret dari proyek induk.”
Heri menunduk. Data yang ia genggam kini tak lebih penting dari tenggat waktu yang diberi.
Di sudut ruangan, Adi teknisi muda, berbisik lirih, nyaris hanya untuk dirinya sendiri: “Kalau jalur itu dipaksakan... kita melawan tanah. Melawan yang menjaga.”
Danar menatap kembali ke peta yang tergantung di dinding. Tangannya mengepal.
“Kita cuma punya satu opsi: minta tim keamanan bersenjata!”
Suasana kembali menegang. Kata keamanan bersenjata terdengar asing dan mengancam bagi sebagian besar yang datang hanya untuk bekerja, bukan bertempur.
Umar mengangkat tangan perlahan. Wajahnya letih, tapi sorot matanya tetap jernih.
Di kejauhan, suara burung terdengar pelan—seperti peringatan. Angin menyusup masuk dari celah tenda, membawa aroma lembap dan rasa takut yang belum punya bentuk.
Lalu Rojak menatap Danar lekat-lekat. “Terserah kau, Danar. Tapi kalau satu nyawa jatuh, tanggung jawabmu bukan Cuma ke perusahaan”
“Juga ke hutan ini.”
Danar tidak menjawab. Ia tahu, saat breefing ini berakhir, kendali akan mulai terlepas—jika belum sepenuhnya hilang.
Hening. Impas di antara dua pilihan bencana—mundur dan kehilangan segalanya, atau maju dan kehilangan lebih banyak lagi.
Tiba-tiba, dari sudut belakang lingkaran, suara pelan memecah diam. Adi, anggota baru yang sejak awal terlihat gelisah, berbicara nyaris seperti gumaman—namun cukup jelas untuk menarik perhatian.
“Mungkin… kita cari tahu dulu siapa di balik semua ini. Bukan pakai kekerasan, tapi intelijen. Warga Curugparay pasti tahu jalur mereka. Kita bisa kirim utusan.”
Beberapa kepala menoleh. Di tengah tekanan, usul diplomasi seperti dilemparkan ke tengah padang ranjau.
Di udara, ketegangan membentuk dua kutub jelas. Kekerasan—jalan yang selama ini mereka pakai. Dan diplomasi—yang terasa seperti langkah menyerah bagi sebagian.
Danar menatap Adi dengan mata menyipit. “Kita mau minta tolong penduduk yang seharusnya kita kuasai? Mereka pasti bohong. Kita proyek legal, mereka yang menyabotase.”