Cahaya pagi menembus daun di Lembah Raranggi, memantul pada embun yang belum sempat menguap. Keheningan berbeda—bukan sunyi karena ketiadaan, karena sesuatu sedang menunggu.
Rahman muncul dari celah cadas, bahunya sedikit tertunduk, nafasnya teratur tapi berat. Ia tidak menoleh ke belakang. Tanah yang baru saja ia tinggalkan bukan untuk dikenang, hanya untuk dipelajari.
Di lembah ini, vegetasi tumbuh dalam pola aneh. Telang Merapi menjalar rendah di antara akar Lanthing, membentuk semacam batas alami. Seolah ada sesuatu di tengah hutan yang tidak ingin diganggu—dan tidak mengizinkan sembarang kaki melangkah lebih jauh.
Seekor kupu Wulungu melintas, sayapnya berkedip sekali sebelum lenyap di antara semak rimbun. Rahman menghentikan langkah. Ia tidak sendiri.
Bayangan kecil bergerak cepat di sela semak. Cukup terlatih untuk menghindari pantulan cahaya.
Rahman merunduk lebih dalam di balik semak. Ia mengangkat teropong, memutar fokus. Tiga sosok berseragam hitam kelam bergerak cepat di jalur tua. Tak ada nama. Tak ada pangkat. Formasi mereka rapi—satu di depan membuka jalan, dua lainnya mengapit dalam sudut sempit. Setiap gerakan tepat.
Senjata laras pendek menggantung di sisi masing-masing, lengkap dengan peredam. Isyarat tangan mengalir antar mereka seperti bahasa yang tak butuh jeda. Tidak ada komunikasi lisan. Tidak ada keraguan.
Tim Hutan Selatan.
Mereka tidak menyusuri jalur biasa, bergerak seolah mengenal setiap ceruk, setiap akar yang menjulur. Jalur tua seharusnya tak terbaca, mereka masuk tanpa ragu.
Rahman menyempitkan pandangan. Ada yang lain.
Beberapa langkah di belakang formasi, satu sosok tampak membuntuti—sendiri, terpisah, tidak menyatu dalam pola. Pakaiannya gelap, tidak seragam penuh. Tidak ada senjata terlihat. Langkahnya tertahan, sesekali berhenti, seperti menimbang arah.
Ia tidak tampak sebagai ancaman. Tapi juga bukan warga biasa.
Ia mengenali jenis itu: orang yang sedang mencari sesuatu, tanpa tahu sepenuhnya untuk siapa ia bekerja.
Rahman menarik diri perlahan, menepi dari garis pandang. Dengan satu gerakan tenang, ia bergeser ke sisi lembah. Jamur Kudil Gelap tumbuh jarang, namun cukup sebagai penanda jalur alternatif yang tidak dikenali.
Langkah senyap. Hari baru saja dimulai.
Dan pengejaran sudah berlangsung.
Perubahan formasi. Mereka mulai menyebar. Yang tadi di belakang kini beringsut ke sisi kanan, menaiki jalur sempit yang terangkat. Gerakannya mantap, seperti sudah mengenali kontur tanah. Jalurnya berbatu, miring, tapi ia tetap stabil. Langkahnya menunjukkan latihan. Penyergapan.
Rahman tetap rendah, tubuhnya hampir menyentuh tanah. Ia menyesuaikan napas, lalu mundur perlahan, mencari celah sempit di balik akar besar yang menjuntai dari tebing. Ia tidak membuat suara. Tidak meninggalkan bayangan yang bisa dikenali dari atas. Satu tarikan nafas. Satu langkah ke kiri.
Di depan, jalur utama tampak kosong. Tapi ia tahu, dua dari mereka masih ada di sana—bergerak perlahan, menjaga tekanan dari arah bawah. Mereka tidak terburu-buru. Mereka mengurung.
Rahman berpindah ke jalur paralel, sisi yang lebih basah dan tertutup semak. Ia menyusuri tanah di bawah rindang akar Lanthing. Dedaunan lembap menyerap jejak suara. Di sisi lereng, ada celah sempit tertutup tumbuhan menjalar—sempit untuk menyusup tanpa terlihat dari jalur atas.
Ia menyelinap masuk, tubuhnya menyesuaikan dengan ruang. Udara di lorong menyimpan kelembapan yang menggantung pelan—menunjukkan aliran stabil jarang tersentuh. Tempat yang ditemukan. jalur lambat, jalur aman.
Di luar, langkah-langkah berat terdengar semakin dekat—berat, terlatih. Mereka menyisir. Pelacak mereka terus menangkap sisa suhu tubuh yang tertinggal di udara. Tapi tidak cukup akurat untuk membaca arah vertikal.
Rahman berhenti sejenak di balik dinding akar, mendengarkan. Satu dari mereka kini berada di atasnya, terlalu dekat jika ia bergerak sekarang. Dia tidak tahu dia ada di bawah.
Ia menunggu.
Tiga puluh detik. Lalu satu menit.
Langkah itu berlalu. Jauh.
Rahman menarik napas pelan. Masih ada jarak. Masih ada waktu.
Tapi tidak banyak.
Dari atas, terdengar suara pendek—cukup jelas dalam ritme hutan. “Dua pendek, satu panjang.” Kode komunikasi lama. Yuda memanggil:
“Nadia. Cek sayap kiri. Kemungkinan jejak cabang.”
Tidak ada jawaban. Yuda mengulang, kali ini lebih pelan tapi tegas, melalui saluran komunikasi di bahunya.
“Hutan Selatan–Satu ke Dua. Respon?”
Hening.
Ia menekan ulang frekuensi, mengganti kanal. Tetap tak ada suara balik. Hanya dengung statis—interferensi halus yang perlahan menguat. Entah karena kontur lembah, atau... sesuatu yang mengganggu sinyal.
Sementara itu, di sisi yang lebih rendah dan terlindung dedaunan, Nadia menyusuri jalur sempit di sisi barat, mengikuti jejak yang terputus. Wajahnya serius. Ia belum mendengar panggilan dari Yuda. Komunikator di lehernya hanya berdesis lemah.
Ia berhenti, menunduk, menemukan bekas pijakan samar. Tidak jelas, membuatnya ragu.
Langkah kecil terdengar di belakangnya. Tidak kasar. Tidak terburu. Tapi ada.
Nadia refleks meraih senjatanya—setengah putaran tubuh, senapan siaga.
Ia menatap tanah. Jejak itu jelas mengarah ke timur, tapi tidak masuk akal. Terlalu sempurna. Terlalu “rapi” untuk seseorang yang sedang diburu.
Saluran komunikasinya lagi-lagi terganggu, hanya terdengar denting statis yang tak membentuk frekuensi utuh. Namun Nadia tahu satu hal: Yuda akan tetap bergerak. Dan ia, bagian dari formasi itu.
Ia mengatur napas, lalu membuka saku dada—mengaktifkan pelacak pribadi dalam mode manual. Tanpa komunikasi, sinyal harus ditandai ulang.
Di layar kecil, arah tim utama masih terbaca. Jarak: 140 meter ke utara. Tak ada indikator lain.
Ia mendongak, menatap hutan di hadapannya. Kabut mulai turun lagi, membuat bayang dahan tampak seperti sosok-sosok samar.
Nadia menarik napas, lalu menunduk. Ia memeriksa ulang senjatanya. Aman.
Kemudian ia berbalik. Mengikuti protokol. Melanjutkan arah pemburuan.
Langkahnya cepat, tegas. Tapi, sesuatu mengganggu keyakinannya.
Ia sedang memburu seseorang. Ia tidak tahu siapa.
Dan itu—lebih berbahaya dari apapun yang pernah ia hadapi di hutan ini.
Nadia menyusuri kembali jalur sempit menuju formasi utama. Hutan makin pekat. Suara burung tak terdengar, hanya gesek halus dedaunan dan desah tanah lembap terinjak sepatu tempur.
Langkahnya ringan terlatih. Ia mengikuti arah perangkat pelacak sambil memindai sekitar.
Tiba-tiba—terdengar gesekan pelan dari arah kanan atas. Ia refleks menoleh, mengangkat senapan. Tapi tak ada yang muncul.
Justru dari kiri bawah.
Terlambat.
Satu lengan Rahman melingkar ke leher Nadia dari belakang, mengunci. Lengan lainnya menahan pergelangan senjatanya ke bawah. Gerakannya cepat—terukur dan presisi, tidak membiarkan celah. Nafas Nadia memburu dan tak bisa bergerak bebas.
“Diam. Tiga puluh menit,” bisik Rahman di telinganya. Suaranya datar. Netral.
Nadia berusaha menendang, tapi Rahman memutar tubuhnya, menjatuhkannya ke tanah dengan tekanan terkendali. Ia menarik tali tipis dari sabuknya, mengikat kedua tangan Nadia ke akar besar. Bukan simpul keras, tapi cukup untuk membuat siapa pun tidak bisa bebas dengan mudah.
Rahman menunduk, membuka saku komunikasi di bahu kiri Nadia, lalu mencabut unit pemancar mikro. Ia merusaknya dalam satu gerakan sunyi—komponen kecil terjatuh ke tanah, hancur.
Ia menatap Nadia sejenak. Tak ada kebencian di matanya. Hanya keputusan. Lalu ia menyelipkan sesuatu ke saku luar rompi Nadia—sebuah penanda lokasi, tapi tanpa sinyal aktif.