Resonansi Bayangan Menyala

andri hasanuddin
Chapter #6

Jalur Langitpitu

Jalur Langitpitu

Langit di atas Sonokeling sepenuhnya hitam, tanpa bintang. Angin malam datang lambat, seolah enggan menyentuh tanah yang pernah dibakar. Di kejauhan, siluet pohon-pohon besar berdiri tak bergerak, seperti barisan yang menjaga sesuatu yang terlupakan.

Rahman melintasi lereng timur perlahan, menyusuri jalur sempit yang hanya bisa dikenali jika tahu di mana suara gemericik Cihampar bertemu gema batu. Gua Langitpitu terletak tak jauh lagi—tempat sunyi yang dulu hanya digunakan saat musim ancaman.

Langkahnya ringan, pikirannya tidak.

Hutan terasa berbeda malam ini. Bukan karena gelap, itu karena ketidakteraturan di dalam sunyi.

Seekor kelelawar kecil terbang rendah, lalu membelok tajam ke kiri, menjauh dari jalur biasa. Daun-daun di dahan rendah bergerak tak serempak. Suara tanah yang tertahan muncul sekali—terlalu berat untuk binatang, terlalu pelan untuk disebut langkah terburu-buru.

Rahman berhenti. Ia menempelkan telapak ke tanah, membiarkan tubuhnya menyerap isyarat dari medan. Tak ada getaran berulang. Ada tekanan—terlatih.

Ia tak sendirian.

Tangannya meraba bilah pendek di sabuk. Tidak menghunusnya. Belum.

Ia melanjutkan langkah, sedikit berbelok ke arah kanan jalur utama, mengambil lintasan yang lebih berbatu—lebih mudah menghilang di dalamnya. Di atasnya, cabang pohon Salingsik membentuk atap alami, menutup pandangan dari udara.

jika ada yang mengikuti jejaknya malam ini, mereka tahu ke mana ia menuju.

Dan itu berarti: Gua Langitpitu tak lagi hanya tempat berlindung.

Ia mempercepat langkah—sepi, tegas.

Sebelum ia sempat mendekat lebih jauh ke Gua Langitpitu—

Srak!

Suara logam meluncur memecah udara, cepat dan tajam,

diikuti dentingan singkat—Cing!—saat sesuatu menghantam batu besar hanya sejangkau bahunya.

Pisau.

Refleks, Rahman menjatuhkan diri dan mengguling ke kanan, masuk ke balik semak berduri. Napasnya cepat. Matanya menyapu area sekitar. Tak ada suara lanjutan. Itu bukan pertanda aman—justru sebaliknya.

Srak!

Lemparan kedua. Meluncur rendah—mengenai batang pohon di belakangnya, menancap dalam. Sudut lemparan presisi. Terlatih. Sistematis. Bukan peringatan—serangan nyata.

Rahman mengatur ulang posisi. Ia menyelinap ke sisi kanan batu besar, menuju lereng gelap di samping gua. Masih belum membalas. Informasi lebih penting daripada baku hantam sekarang.

Di balik celah akar tua, ia mendengar. Menakar setiap riak udara.

Angin lembap membawa aroma logam, dedaunan remuk, dan tanah basah—jejak keberadaan yang tak kasatmata, tapi jelas bagi hidung dan naluri Rahman.

Tinjunya mengepal. Waspada.

Ia menarik napas dalam. Menahan. Lalu perlahan mulai merayap, mendekat ke sisi gelap gua.

Tapi pikirannya kini penuh satu pertanyaan:

Siapa yang sudah tahu jalurnya?

Srak!

Lemparan ketiga menebas udara, lebih cepat, lebih dekat—Rahman menunduk sepersekian detik sebelum logam itu mencabik ranting. Ia tak punya waktu lagi.

Ia beringsut keluar dari semak, bergerak rendah ke sisi batu dan meloncat ke jalur yang lebih terbuka. Matanya menangkap bayangan—seseorang bersembunyi di balik ceruk batu, sekitar tujuh meter di atas.

Rahman menarik pisau kedua dari pinggangnya, lalu melempar, mengalihkan perhatian.

Ctak!

Pisau itu menancap di dinding batu, cukup membuat lawan bereaksi. Saat itu pula Rahman menyergap, meluncur dari bawah, mendekat. Namun, lawannya sudah bergerak turun, gesit, siap menyambut.

Benturan pertama terjadi—lengan menghantam lengan, tubuh beradu cepat. Lawan itu menggunakan tonfa pendek, Rahman membalas dengan belati pendeknya. Tiga kali senjata mereka bersinggungan, saling mencari celah, tak ada luka berarti.

Satu hentakan dari lawan membuat Rahman terdorong setengah langkah ke belakang. Ia tak membalas langsung.

Lawan pun tidak maju.

Diam.

Keduanya saling menatap dalam gulita setengah terang. Hanya suara napas yang terdengar. Tegangan tinggi tapi tertahan.

Rahman tak bicara. Sorot matanya bertanya.

Lawan itu diam. Nafasnya teratur. Tidak mundur, juga tidak menyerang.

Apa ini... ujian? Atau peringatan?

Rahman berdiri tegak. Pisau masih di tangan. Kini, tak satu pun dari mereka bergerak.

Sunyi turun perlahan. Keduanya tahu—kedamaian bukan pilihan, hanya jeda yang disisakan oleh keputusan yang belum dibuat.

Dari balik gelap, suara terdengar pelan namun jelas—tidak berteriak, memotong keheningan.

Lihat selengkapnya