Ada saat ketika jejak meninggalkan bekas di tanah—dalam kepala orang-orang yang mengejarnya. Dan saat jejak itu terus menghilang, berganti arah, atau muncul di tempat yang tak logis… keraguan mulai tumbuh, seperti jamur di bawah pohon tumbang.
Bagi yang terbiasa berburu, hutan adalah ruang terbuka yang bisa dipetakan, dikontrol, dijinakkan dengan alat berat dan angka. Tapi bagi hutan itu sendiri, yang masuk tanpa niat… akan diputar balikan.
Apa yang awalnya disebut target kini mulai terasa seperti khayal. Apa yang disebut musuh, mulai tak bisa dipastikan bentuknya. Dan di antara semua itu, rasa paling mematikan bukanlah takut—melainkan kehilangan arah.
Pagi belum tinggi. Kabut masih menggantung di lereng bawah Arthabumi, menyelimuti pohon-pohon. Suara genset menggeram rendah, bercampur denting logam dan suara sepatu berat di lantai besi kamp Rorongkong.
Di dalam pos utama, layar digital menampilkan peta topografi dengan jaringan jalur hutan. Di sudutnya, satu titik merah berkedip—lokasi hilangnya komunikasi dengan Tim Selatan yang terakhir terlihat di Lembah Raranggi.
“Putus kontak. Dua puluh empat jam. Tak ada sinyal ulang dari alat atau personel,” lapor operator data sambil menyesuaikan headset di telinganya.
Danar berdiri di depan layar. Wajahnya kaku, dengan bayang-bayang lelah yang tak diakui. Baju lapang masih menyisakan noda lumpur dan sisa malam sebelumnya. Di belakangnya, para mandor dan teknisi berdiri, menunggu arahan.
“Kita tunggu kabar dari Kerman. Kalau tidak ada dalam enam jam… kita lanjutkan cara baru.”
Suaranya rendah, namun tajam, tak membuka ruang untuk debat. “Waktu kita tidak bisa terus dicuri.”
Proyek ini memang dilindungi oleh izin industri dan penjagaan bersenjata. Bahkan di antara mereka yang berseragam, bisik-bisik mulai tumbuh—bahwa di balik pepohonan, ada sesuatu yang menjaga, dan bahwa hutan ini menolak untuk diluruskan dengan alat berat.
Danar mematikan layar. Tangannya beralih ke gulungan peta kertas tua yang digelar di meja. Ia mengambil pena merah dan membuat garis baru, melintasi jalur alternatif.
“Kirim drone. Mulai dari punggung Bukit. Sapu area sampai Curugparay.”
Tak ada yang menjawab, langkah mulai terdengar.
Di luar, atmosfer kamp mulai mengeras. Seolah siapa pun yang tak terlihat… mulai menulis ulang siapa yang sedang diburu.
…
Di sisi timur jalur tua, dua sosok bergerak menyusuri lereng sempit yang dipenuhi akar menjulur dan semak cemara berduri. Udara pagi di bawah kanopi tampak lebih berat, seolah menyaring suara dan menyembunyikan waktu.
Kapten Kerman berjalan paling depan. Usianya melewati lima puluh, dengan wajah keras dan langkah yang tak ragu—seorang pria yang sudah lama hidup di antara perintah dan risiko. Di belakangnya, Adit, anggota termuda dalam tim, mengikuti dengan langkah lebih hati-hati. Matanya sesekali menatap layar perangkat komunikasi yang sejak semalam hanya menampilkan satu kalimat: lost signal.
Tiga nama berderet dalam status abu-abu: Yuda, Reno, dan... Nadia.
“Masih tak ada sinyal, Kapten,” ujar Adit pelan, nada suaranya tak bisa menyembunyikan kegelisahan.
Kerman berhenti. Ia menoleh cepat, sorot matanya tajam, tegas, tanpa ruang untuk ketakutan.
“Sinyal bisa mati karena banyak hal,” katanya. “Medan elektromagnetik. Cuaca. Pantulan akar tanah. Jangan biarkan pikiranmu lebih dulu kalah.”
Adit mengangguk perlahan, meski dalam benaknya, ada yang sejak awal terasa ganjil. Mereka berpencar dua hari lalu—Yuda dan dua lainnya mengambil jalur Lembah Raranggi, mengejar jejak yang diduga milik target. Tapi sejak itu, hanya hening yang menjawab.
Ia membuka buku kecil dari saku seragam. Di dalamnya ada sketsa kasar jalur, estimasi waktu tempuh, dan catatan terakhir sebelum sinyal menghilang. Yang terekam hanya detakan aneh dari alat pelacak suhu—seolah sesuatu bergerak… mendekat, lalu hilang begitu saja.
Kerman melanjutkan langkahnya. “Kita dekati cekungan di bawah Bukit. Kalau sampai sore tak ada kabar, kita putar arah.”
Adit menatap heran. Ingin menyangkal, Percuma.
Langkah Kerman melambat. Ia berhenti di depan batang pohon besar yang permukaannya penuh goresan—panjang, dalam, tak alami. Seperti bekas cakaran yang tak mengikuti pola binatang biasa.
Ia menatap ukiran itu lama. Dan untuk sesaat, wajah kerasnya berubah—waspada, seperti mengenali sesuatu yang seharusnya tidak muncul lagi.
“Kalau kita mundur sekarang, berarti kita kalah. Dan perusahaan tak membayar kita untuk kalah. Kau paham itu, kan?”
Adit menatap punggung Kerman, lama. Di dalam dadanya, perasaan tak nyaman tumbuh pelan—Ia mulai sadar, mungkin mereka bukan sedang memburu seseorang.
Kapten Kerman dan Adit merayap pelan menuju celah sempit yang mengarah ke kawasan Goa Langitpitu. Kabut pagi yang belum terangkat sepenuhnya membuat bayangan batu tampak lebih pekat dari seharusnya, seolah menyembunyikan sesuatu.
“Ini tempatnya?” bisik Adit, menunduk, matanya menyapu kontur batu yang menjulang di atas lereng terjal.
“Sudah dekat,” jawab Kerman lirih. Pandangannya terpaku pada garis-garis di tebing. “Lihat formasi batu sisi barat. Kalau dia mengawasi, dari situlah sudut paling terbuka. Tapi paling rentan.”
Ia memberi isyarat tangan—gerak cepat, menyebar, pendekatan senyap. Kerman menyusup lewat cekungan batu sebelah kanan, menjaga elevasi agar tetap di atas garis pandang musuh. Gerakannya tenang, efisien. Sudah puluhan kali ia masuk jalur sunyi seperti ini. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Terlalu hening.
Adit tertinggal beberapa langkah. Napasnya mulai berat—tekanan yang terasa menekan dada dari arah yang tak terlihat. Seperti udara sendiri sedang menahan sesuatu.
Ia berhenti sebentar, menyentuh permukaan batu di sisinya. Jari-jarinya meraba pola aneh: coretan tipis, seperti guratan simbol tua. Melengkung dan bersilang. Bukan tanda topografi. Bukan milik siapa pun yang dilatih dalam sistem.
“Ini tanda jalur,” gumamnya. Lebih kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, di dalam Goa Langitpitu, Rahman duduk bersila dalam gelap. Matanya tertutup rapat, namun indranya tetap berjaga. Telapak tangannya menyentuh lantai batu dingin, meresap tiap getaran kecil yang datang dari luar.
Dua langkah mendekat.
Yang satu—stabil, ritmis, seperti suara sepatu militer di tanah padat...
Yang lainnya—ragu, canggung. Nafas terburu, beban tubuh berpindah tak merata. Belum terlatih. Sedikit berbahaya.
Rahman membuka mata. Di hadapannya, cahaya samar akar Lanthing menyentuh dinding gua, seolah ikut bersiaga. Dalam waktu kurang dari dua menit, dua sosok itu akan menembus perimeter luar—garis pertahanan yang tak terlihat.
Ia tahu harus bertindak.
Rahman tak langsung bergerak, seolah menyatu dengan gelap dan batu. Dari celah sempit antara akar dan dinding gua, ia mengamati Kerman mendekat—langkahnya pelan, terlatih, namun terlalu percaya diri. Hidungnya mengendus medan, manun tidak membaca bahasa hutan.
Bukan orang sembarangan, pikir Rahman. bukan yang tumbuh bersama tanah tempat ia melangkah.
Sorot mata Kerman menyisir sisi batu, memeriksa kemungkinan jebakan atau pengintai. Tangannya sesekali menyentuh gagang senjata, tapi lebih sebagai kebiasaan daripada kesiapan. Gerak tubuhnya efisien, namun terlalu kaku—seperti seseorang yang terbiasa menangani ancaman yang bisa diukur.
Rahman menyipitkan mata. Terbiasa memberi perintah. Tidak mudah goyah.
Saat Kerman berhenti sejenak di balik semak rendah, Rahman membaca bahasa tubuhnya: leher sedikit condong ke depan, kaki terbuka, pusat berat tubuh tetap stabil. Ia tahu posisi melawan sergapan, dia tidak menyadari bahwa ia sendiri sudah masuk ke dalam garis pantau.
Di bawahnya, tanah masih mengirimkan getaran kecil. Jarak Kerman hanya tinggal belasan langkah dari perimeter dalam. Satu langkah lagi, dan dia akan mengaktifkan isyarat tanah—penanda bagi siapa pun di jaringan lama bahwa seorang penyusup telah melintas.
Rahman bergumam dalam hati.
Terlalu berisiko untuk dilumpuhkan. Terlalu keras untuk diyakinkan. terlalu penting untuk diabaikan.
Matanya bergeser sedikit ke arah belakang Kerman—tak ada tanda Adit. Anak muda itu tertinggal. Dan itu memberitahu Rahman satu hal lagi:
Orang ini tidak percaya penuh pada timnya. Atau, tidak ingin mereka melihat apa yang akan dia lakukan.
Rahman mundur perlahan ke balik batu, membiarkan Kerman melanjutkan langkah—tapi bukan tanpa jejak. Tanah yang ia tapaki sudah membaca berat tubuhnya, ritme napasnya, dan ketegangan yang dibawanya.
Di tempat ini, semua yang datang akan dinilai oleh medan.
Dan Rahman tahu: Kerman belum lulus uji pertama.
Suara langkah mendekat. Perlahan, pasti. Kapten Kerman kini hanya berjarak beberapa meter dari perimeter luar. Ia menyusuri jalur sempit yang mengarah langsung ke mulut Goa Langitpitu—melewati celah batu tempat Rahman mengamati sebelumnya, lalu menyelinap ke sisi kiri, di mana akar pohon tua menjuntai dari tebing, seperti sulur-sulur yang menggantungkan napas hutan.
Tepat di bawah akar itu, tersembunyi di antara daun busuk dan tanah lembap, terpasang sebuah jebakan: lapisan tanah longgar yang ditopang oleh pegas logam kecil, tertanam dengan presisi. Perangkap—satu tekanan dengan berat tubuh penuh akan memicu pelepas gas mikroaktif. Zat tak berwarna, tak beracun, cukup untuk melumpuhkan koordinasi motorik selama lima belas menit. Waktu yang lebih dari cukup untuk membuat siapa pun tak berguna.
Rahman bergerak cepat. Ia mengeluarkan paku sinyal kecil dari kantong dalam jaketnya—logam gelap dengan ujung pemantul yang hanya bisa dikenali melalui lensa pengintai. Ia tanamkan di balik batu rendah, lalu mengikat sepotong kain sobek ke sisi paku. Warna kusamnya menyolok di antara bebatuan kelabu, terlihat seperti ditinggalkan dalam kondisi tergesa.
Semuanya selesai dalam satu tarikan napas. Lalu ia kembali ke bayang gua, lenyap seperti bagian dari dinding.
Kerman berhenti di balik bongkahan batu datar. Ia menarik teropong mini dari sabuk taktisnya dan menyapu lereng pelan. Pandangannya berhenti saat menangkap potongan kain kusam yang mencuat di atas batu kecil, tak jauh dari akar menggantung.
“Visual,” gumamnya. Jarinya menekan tombol komunikasi di sisi helm. “Kemungkinan luka. Bisa jadi tergesa.”
Adit muncul tak lama kemudian. Tubuhnya membungkuk rendah, napas masih berat. Begitu matanya menangkap kain itu, ia membeku.
“Kapten…” bisiknya. “Itu terlalu… terbuka.”
Kerman tak menjawab. Ia memperbesar pandangan. Di sela batu, ia menangkap kilau logam kecil—paku sinyal. Terlalu rapi untuk disebut kebetulan.
“Sengaja,” ucapnya pelan. “Dia ingin kita lihat.”
Adit menahan gerak. Naluri lamanya sebagai pelacak berbenturan dengan naluri bertahan hidup.
“Itu bisa jebakan.”
Adit menahan gerak. Naluri lamanya sebagai pelacak berbenturan dengan naluri bertahan hidup.
Terlambat.
Kerman sudah bergerak. Langkahnya mantap mendekat. Hanya satu meter dari titik umpan—lalu satu langkah terakhir menghantam tanah yang disiapkan.
Klik.
Dengungan kecil, seperti bisikan di antara akar, terdengar sekejap.
Psshh—
Gas mikroaktif menyembur keluar, tak terlihat, tercium. Aroma logam terbakar, kering, dan getir.