Suara yang paling jujur justru tidak terdengar. Ia tidak datang dalam bentuk teriakan atau letusan, tapi muncul dari keheningan yang tak bisa diabaikan—seperti desir angin yang membawa peringatan, atau detak jantung yang tiba-tiba terasa terlalu keras dalam tubuh sendiri.
Di hutan, tidak semua kehilangan disambut tangis. Ada yang dikubur. Ada yang dilupakan karena tak sempat diingat. Tapi ada pula yang tinggal, menempel di kulit dan pikiran, terus mengendap seperti kabut yang menolak pergi meski matahari sudah tinggi.
Dan ketika yang gugur bukan musuh, melainkan pemimpin sendiri—seseorang yang tak pernah menunjukkan kelemahan—maka suara yang tersisa bukan lagi instruksi… melainkan keraguan.
Sore menjelang malam. Tubuh Kerman telah dikembalikan ke dalam tanah, ditutupi daun basah dan batu. Adit duduk di atas akar besar tak jauh dari jalur yang tadi dilalui. Di telinganya, suara satelit komunikasi masih menyala, tapi ia tak menjawab. Matanya menatap ke arah pohon-pohon tinggi yang membentuk dinding gelap Langitpitu.
Dulu, ia pikir ini tugas. Perburuan target yang melanggar kesepakatan kawasan.
Tapi tiga orang temannya lenyap tanpa kabar. Dan kini Kerman—kapten, veteran misi—gugur oleh satu orang yang bahkan tak memakai senjata konvensional.
Ada sesuatu yang retak dalam dirinya. Bukan sekadar kehilangan. Tapi keyakinan lama yang mulai goyah: bahwa mereka sedang memburu seorang pengacau. Bahwa misi ini benar. Bahwa kekuatan ada pada pihaknya.
Tapi siapa yang sebenarnya bertahan... dan siapa yang menyerang?
Dan kalau yang gugur adalah orang sekuat Kerman, dengan keyakinan setegas batu—maka apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi?
Ia teringat ekspresi pria itu— tenang, tidak benci, tidak gemetar, tidak bangga. Yang paling mengganggu: Dia bisa saja membunuhnya tadi. Tapi tidak.
Adit membuka kantong kecil di rompinya. Di sana, ada catatan kecil kertas bekas, milik ayahnya, seorang penjaga hutan era dulu. Tulisannya pudar, tapi satu kalimat masih terbaca:
“Hutan bukan tempat memburu. Hutan adalah tempat menunggu kebenaran muncul dari sunyi.”
Adit memejamkan mata. Hening. Tak ada ledakan. Tak ada aba-aba. Hanya sunyi dan napasnya sendiri.
Ia tahu, mulai saat ini, langkahnya akan berubah arah. Ia belum berani menentang terang-terangan. Tapi ia sudah tidak berdiri di sisi yang sama.
Adit duduk membelakangi jalur. Punggungnya menyentuh dingin batu besar. Ia tak peduli lagi pada prosedur keamanan standar. Tangannya masih gemetar halus—sisa dari adrenalin dan ketegangan yang belum larut. Tapi bukan rasa takut yang menguasainya sekarang.
Ia menatap tanah di depannya, tapi pandangannya jauh menembus waktu. Ke masa kecil. Ke suara yang lama tak ia dengar, tapi masih tinggal di sela-sela ingatan.
“Kalau suatu hari kamu berdiri di antara suara orang dan suara hutan, dengarkan yang lebih sunyi, Dit. Di sanalah kebenaran bersembunyi.”
Suara itu milik ayahnya. Seorang penjaga kawasan yang wafat dalam penggusuran proyek tambang, dua belas tahun lalu. Adit dulu marah—pada segalanya. Pada sistem. Pada dunia. Bahkan pada ayahnya sendiri, yang memilih bertahan bersama akar daripada tunduk pada pembangunan.
Dulu ia menyebut ayahnya keras kepala. Sekarang, ia menyebutnya sesuatu yang lain: keyakinan.
Angin sore membawa aroma tanah basah, dan di tengah hembus itu, Adit merasakan sesuatu bergerak dalam dirinya. Bukan suara. Bukan bisikan. Tapi semacam gema dari dalam—suara lama yang kembali, bukan sebagai ingatan, tapi sebagai isyarat.
Tangannya meraba saku rompi. Ia membuka lipatan kecil yang selama ini jarang disentuh. Di sana, selembar kertas tua disimpan rapi. Goresan tangan sang ayah masih terlihat samar. Pudar oleh waktu, tapi satu kalimat tetap terbaca jelas:
“Hutan bukan tempat memburu. Hutan adalah tempat menunggu kebenaran muncul dari sunyi.”
Dulu ia membaca itu seperti puisi. Kini... terasa seperti panggilan.
Bukan ajakan untuk memberontak. Tapi undangan untuk memahami. Untuk berhenti sekadar menjalankan tugas, dan mulai menimbang arah langkah.
Adit menarik napas panjang. Ia menutup matanya. Tak ada suara, kecuali desir halus dari dedaunan tinggi. Tapi justru di dalam sunyi itu, ia mendengar sesuatu yang lebih nyata dari perintah.
Dan di sanalah, Adit membuat keputusan pertamanya:
Berhenti menjadi bagian dari pemburu.
Bukan karena ia ingin berpihak.
Tapi karena ia sadar—ia tak lagi sanggup berpura-pura tak melihat.
Malam belum sepenuhnya naik. Langit masih menyisakan warna tembaga kelam di balik bayang pohon Sonokeling. Adit melangkah melewati pos pemeriksaan di sisi barat kamp. Sepatu botnya berat oleh lumpur, dan seragamnya berdebu, menandakan perjalanan yang panjang dan tidak sepenuhnya jelas tujuannya.
Dua teknisi melihat ke arahnya tanpa bicara. Tatapan mereka sekilas, tapi menyimpan tanya. Adit hanya menundukkan kepala sedikit, lalu terus berjalan. Langkahnya langsung menuju kamp utama—pusat koordinasi, tempat di mana semua jalur ditentukan oleh satu suara: Danar.
Di dalam tenda pusat, lampu putih dingin menyinari layar peta besar yang menunjukkan garis-garis elektronik membelah Hutan Sonokeling. Jalur merah, kuning, dan titik-titik pemantauan drone berkedip pelan seperti urat nadi operasi.
Danar berdiri di depan peta, punggungnya tegak, matanya tak berkedip. Ia tidak menoleh saat Adit masuk.
“Laporan,” ucapnya datar. Nada suaranya mengandung beban mutlak—seperti menuntut jawaban yang tidak boleh mengandung ruang ragu.
Adit berdiri tegak, mengambil napas pendek.
“Jalur utara padat merambat. Pergerakan hampir mustahil tanpa jejak suara. Kami temukan bekas aktivitas, kemungkinan bukan milik target—lebih mirip perlintasan lokal.”
Danar menoleh cepat. Matanya tajam, seperti pisau yang menguji kulit.
“Jejak lokal?” desisnya. “Tidak ada penduduk yang masuk sejauh itu. Kau yakin?”
Adit mengangguk perlahan. “Yakin, Pak. Tidak ada indikasi kuat keberadaan Rahman. Kalau dia lewat sana, jejaknya bersih. Kami menduga ia hindari zona pantauan udara.”
Pernyataan itu rapi. Logis. Tapi sebagian darinya tidak benar—atau lebih tepatnya, dibentuk untuk menyesatkan.
Danar mematung sejenak, lalu menyipitkan mata. Sorotnya menusuk, mencoba membaca celah dari wajah Adit. Hening menggantung beberapa detik terlalu lama. Lalu ia menghela napas berat—seperti menimbang sesuatu yang tak bisa dibuktikan.
Akhirnya, ia melambaikan tangan.
“Istirahat saja. Kau bantu jaga logistik.”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi dingin. Perintah itu bukan pengistirahatan—melainkan penyingkiran perlahan.
Adit mengangguk singkat. Ia menunduk, menyembunyikan raut wajah dari sorotan lampu, lalu membalik keluar. Udara malam menyambutnya dengan bau solar dan logam lembap. Tapi pikirannya sudah tidak di sana.
Ia tahu, ruang dan waktu yang ia butuhkan mulai terbuka.
Saat semua perhatian terpusat pada layar-layar, pada jalur-jalur yang dipetakan dan frustrasi yang mengeras, Adit berjalan menjauh dari terang kamp. Langkahnya tenang, hampir biasa.
Malam ini, saat semua sibuk mengejar bayangan,
ia akan mulai menelusuri terang yang diam-diam disembunyikan Rorongkong.
Rojak duduk di sisi gudang logistik, tubuhnya bersandar pada tumpukan karung goni berisi peralatan. Tangannya sibuk mengupas kulit kelapa kering dengan pisau kecil. Cahaya lampu gantung di atas kepala membuat keriput di wajahnya terlihat jelas—bekas matahari dan umur.
Adit mendekat pelan, membawa sebotol air dan dua bungkus makanan kering.
“Belum makan, Pak?” sapa Adit datar, tapi tidak dingin.
Rojak melirik sekilas. “Anak muda dari tim utara bawa bekal? Tumben.”
Adit tersenyum tipis. “Logistik, katanya. Ya, sekalian logistik yang jalan juga.”
Rojak terkekeh pelan. Tawa yang lebih seperti hembusan napas panjang. Ia menerima botol air, membuka tanpa banyak basa-basi, lalu meneguk.
“Kau bukan logistik,” gumamnya. “Langkahmu masih pakai irama pengejar. Tapi kau datang ke sini bukan cari jejak.”