Ketika Anda menyaksikan pertemuan pertama mereka di Rumah Sakit Jiwa Perbukitan Senja, Anda tidak akan menduga bahwa kisah ini akan berakhir dengan darah yang menggenang di lantai marmer putih.
Angin senja berhembus melalui jendela rumah sakit yang setengah terbuka. Ruangan itu berbau antiseptik bercampur dengan aroma kopi dari meja perawat. Di sanalah pertama kali Dr. Adrian Pratama bertemu dengan Lintang Kusuma—pasien yang menjadi pengubah takdirnya.
Anda mungkin merasakan getaran aneh di udara saat mata mereka bertemu. Getaran yang tak kasat mata namun terasa mencekam, seperti dentingan piano yang salah nada.
"Pasien baru, kamar 307," ujar Kepala Perawat Indah sambil menyerahkan berkas. "Kasus yang menarik. Tiga minggu tinggal di apartemen dengan jenazah ibunya yang sudah membusuk. Tetangga menemukan setelah mencium bau tak sedap."
Dr. Adrian, 34 tahun, psikiater berbakat dengan mata tajam dan rahang tegas, mengangguk. Ini adalah hari ketujuh dalam minggu kedua penempatannya di rumah sakit jiwa yang terpencil ini. Anda bisa melihat lingkaran hitam di bawah matanya—hasil dari jam tidur yang berantakan dan beban kasus yang terlalu berat.
"Diagnosa awal?" tanya Adrian sambil membalik-balik berkas.
"Skizofrenia paranoid dengan delusi somatik. Tapi ada yang aneh dengan kondisi fisiknya."
"Aneh bagaimana?"
"Lihat saja sendiri," Indah tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya.
Kamar 307 berada di ujung koridor sayap timur. Langkah Dr. Adrian bergema di koridor panjang yang sunyi. Jika Anda memperhatikan dengan seksama, ada sesuatu yang aneh dengan cara dinding-dinding di koridor itu seperti bergetar samar setiap kali ia melangkah mendekat.
Lintang Kusuma duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela. Rambut hitamnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya. Dari posisi Anda sekarang, ada sesuatu yang tidak wajar dengan bentuk punggungnya—seperti ada tonjolan-tonjolan kecil bergerak di bawah kulit.
"Selamat sore, Lintang. Saya Dr. Adrian Pratama."
Lintang menoleh perlahan. Wajahnya tirus dengan tulang pipi tinggi, bibirnya pucat, namun matanya—mata itu yang membuat Adrian tertegun. Hitam pekat tanpa batas, seperti lubang tanpa dasar.
"Dokter baru?" suara Lintang terdengar serak namun anehnya merdu, seperti biola yang senarnya terlalu kencang. "Berapa lama Anda akan bertahan?"