RESONANSI ROMENI

Desto Prastowo
Chapter #1

Awal dari Sebuah Resonansi

Di tengah lintasan stadion dan riuhnya kehidupan kampus, Romeni berlari bukan hanya melawan lelah, tapi juga gelombang-gelombang rasa yang tak serempak. Ia bukan tokoh paling cemerlang, tapi justru di balik kesederhanaan dan disiplin fisiknya, ia menyimpan dilema yang lebih rumit dari soal akademik: memilih di antara tiga hati yang menawarkan dunia berbeda—Tisya yang tenang, Aitana yang membakar, dan Liana yang menggoyahkan logika. Cerita ini bukan sekadar tentang cinta, tapi tentang resonansi: tentang siapa yang membuatmu bergetar tanpa memaksa, dan tentang keberanian untuk jujur meski harus kehilangan.

 

Embun menyapu pelan namun pasti pagi itu, matahari belum sempat menyentuh genteng asrama, Romeni sudah menggulung matras dan menyeduh kopi hitam tanpa gula. Ia tak pernah benar-benar butuh kafein, tapi aroma pahit itu seperti ritual yang menandai dimulainya hari. Di meja belajarnya yang sederhana, bersanding buku statistik dan novel Pramoedya, juga buku Simon Sinek berjudul Leader Eat Last, ia mencatat jadwal latihan sepakbola, deadline tugas, dan satu kalimat motivasi yang ia tulis sendiri: “Waktu yang kita habiskan untuk olahraga adalah investasi paling jujur untuk masa depan. Merawat tubuh hari ini adalah cara menghargai potensi diri di masa yang akan datang.”

Setiap sore, selepas kuliah, ia melatih adik-adik tingkat di lapangan kampus. Bukan pelatih resmi, tapi semua tahu: Romeni adalah poros. Ia mengajarkan bukan hanya teknik menggiring bola, tapi juga cara membaca ritme lawan, mengatur emosi, dan merawat solidaritas. “Jangan menunggu peluang datang, kita harus menciptakan kondisi agar peluang itu tercipta!” Begitu sabdanya kepada adik-adik angkatannya. Di sela latihan, ia kadang mengutip puisi Chairil atau menyelipkan logika statistik dalam strategi permainan. “Sepakbola itu bukan cuma kaki, tapi juga kepala dan hati,” katanya suatu kali, saat timnya kalah tipis dalam pertandingan antar fakultas.

----

Masa kecilnya di desa pinggir kota adalah mosaik sederhana: sepatu bolanya selalu berlubang, tapi semangatnya tak pernah koyak. Ia bukan anak yang paling pintar di kelas, tapi selalu jadi yang pertama datang dan terakhir pulang. Ketekunan adalah bahasa tubuhnya, bahkan sebelum ia mengenal arti kata itu. Tekun adalah nama tengah baginya.

Setiap Senin pagi, saat deretan siswa berbaris di lapangan upacara, suara guru memanggil, “Romeni, maju. Kamu siapkan teman-temanmu.” Ia melangkah ke depan, suara serak-seraknya lantang memimpin barisan. Bukan karena ia paling tinggi, tapi karena ia paling bisa diandalkan.

Sepakbola adalah cinta pertamanya. Sejak ia mampu berlari, bola telah menjadi semesta kecil yang ia peluk bahkan saat tidur. Di jam istirahat, ketika anak-anak lain bermain lompat tali atau petak umpet, ia juggling sendirian, meminjam bola sekolah yang sudah aus. Sore hari, ia selalu jadi anak pertama yang tiba di lapangan, kadang mendatangi rumah teman-temannya satu per satu, memastikan bahwa ritual sore itu tak pernah ditinggalkan. Sepakbola bukan sekadar permainan baginya, tapi cara menjaga ritme hidup, cara menyatukan langkah dan harapan.

Lihat selengkapnya