RESONANSI ROMENI

Desto Prastowo
Chapter #2

Secarik Kertas Di Meja Kayu

Tisya, teman kuliah satu jurusan dengan Romeni. Gadis pemalu yang duduk dua baris di belakang, seolah memilih jarak aman dari keramaian kelas. Saat perkuliahan, ia jarang sekali bersuara, tetapi matanya tak pernah lepas dari dosen di depan. Setiap kata ia simpan dengan tekun dalam catatannya yang rapi. Ia seolah platform AI yang begitu diaktifkan langsung merekam dan mencatat semua kata-kata dosen dalam perkuliahan. Buku-bukunya bersih, penuh coretan kecil rapi yang bukan sekadar ringkasan, melainkan seperti rajutan doa yang sabar—catatan yang membuat siapa pun yang membacanya bisa mengerti dengan mudah. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia sembunyikan: tatapannya. Sesekali, tanpa sengaja, pandangan itu melayang ke arah Romeni. Hanya sebentar, lalu buru-buru ia tundukkan kepala, seolah takut terbakar oleh cahaya yang ia ciptakan sendiri.

Di balik keheningannya, Tisya menyimpan cerita panjang yang membuatnya tumbuh lebih cepat daripada anak lain. Ia beruntung lahir selamat, meski ibunya meninggal hanya beberapa saat setelah melahirkannya. Sejak itu, hidupnya hanya berdua dengan sang ayah—seorang pedagang kelontong di gang sempit dekat pasar. Ayahnya yang protektif menjaga Tisya dengan ketat, seakan takut kehilangan lagi satu-satunya orang yang ia punya. Karena itulah, sejak kecil Tisya jarang bergaul dengan anak-anak sebaya. Sepulang sekolah, ia bukan berlari ke lapangan atau bermain petak umpet, melainkan langsung membantu ayahnya menjaga toko keluarga.

Dari situlah ia terbiasa dengan angka dan ketelitian. Ia fasih berhitung, hafal harga barang di luar kepala, dan mampu menata rak dagangan dengan rapi seperti puzzle yang ia mainkan setiap hari. Malam hari, selepas toko tutup, ia juga sudah paham tanggung jawab: menyapu lantai, mengunci pintu, memastikan semua aman. Sejak SMP, ia dipaksa keadaan untuk belajar memasak. Mulanya karena kebutuhan, lama-lama karena kebiasaan. Tisya bisa mengolah sayur sederhana dengan cepat, dan di saat tertentu ia mampu menyiapkan hidangan yang rasanya melampaui usianya.

Tisya adalah senja yang turun perlahan di antara riuh dunia. Rambutnya lurus sebahu, bukan sekadar helaian hitam, tapi seperti aliran sungai tenang yang menyimpan rahasia hutan. Ia tidak hanya menyisir rambutnya, ia merapikan semesta kecil yang ingin damai. Hidungnya mancung, bukan sekadar bentuk, tapi seperti jembatan waktu yang menghubungkan masa kecil dan kedewasaan yang ia pelajari dalam diam.

Wajah ovalnya bukan sekadar proporsi, melainkan kanvas tempat Tuhan melukis ketabahan, kesabaran. Di sana, garis-garis lembut menyimpan jejak malam-malam panjang, saat ia belajar memasak sambil menahan kantuk, atau menyapu lantai dengan bisikan doa yang tak terdengar. Kulitnya bukan sekadar warna, tapi seperti lembaran cahaya pagi yang belum disentuh polusi: bersih, jujur, dan menyimpan harapan.

Matanya menyimpan purnama, ya, tapi lebih dari itu: ada Galaksi Bimasakti super kecil yang berputar pelan di sana, mengamati dunia dengan sabar. Kerlingnya bukan sekadar pesona, tapi seperti angin yang menggeser awan, memindahkan planet dari orbitnya bukan karena kekuatan, tapi karena kelembutan yang tak bisa ditolak. Ia tidak menatap, ia menyentuh jiwa lewat pandangan.

Lehernya jenjang, seperti batang pohon muda yang tumbuh di antara bebatuan. Bahunya ramping, tapi cukup kuat untuk memikul beban rumah dan sekolah tanpa keluhan. Jemarinya lentik, bukan sekadar alat memasak, tapi seperti kuas yang melukis keseharian dengan ketelitian dan kasih. Langkahnya ringan, tapi setiap jejaknya meninggalkan gema: bahwa hidup bisa dijalani dengan tenang, asal tahu arah dan tahu kapan harus berhenti.

Lihat selengkapnya