RESONANSI ROMENI

Desto Prastowo
Chapter #3

Aitana: Puisi yang Meledak

Aitana datang dari gelanggang olahraga, mahasiswi satu kampus dengan Romeni namun berasal  dari fakultas lain. Mereka bertemu ketika Romeni diminta membantu melatih UKM atletik. Pelatih Atletik ingin mengembangkan beberapa aspek teknis dalam pelatihan sehingga butuh bantuan Romeni. Aitana adalah gadis periang, selalu membawa buku catatan lusuh berisi puisi-puisi tak selesai. Kata-katanya menyala saat membacakan semua puisi yang ditulisnya. Jiwanya selalu bergelora saat berdiskusi tentang olahraga dan sastra.

Aitana adalah meteor yang jatuh ke bumi dengan tawa namun saat jatuh suaranya tidak berdegum melainkan merdu. Rambutnya tidak selalu rapi, kadang diikat asal, kadang dibiarkan berkibar seperti bendera semangat. Tapi justru di situ letak pesonanya: ia tidak berusaha tampil sempurna, ia hanya ingin jujur. Kulitnya kecoklatan, terbakar matahari lapangan, tapi menyimpan cahaya yang tak bisa dipadamkan. Ia bukan gadis yang duduk diam di sudut kafe, ia berlari, melompat, dan menulis puisi di sela-sela peluh. ia tak bisa diam.

Tubuhnya lentur, tangguh, dan penuh energi. Ia bisa berlari sepuluh putaran tanpa kehilangan napas, lalu duduk di pinggir lapangan sambil menulis bait tentang hujan dan kehilangan. Matanya tajam, bukan karena marah, tapi karena selalu ingin tahu. Ia memandang dunia seperti medan lomba: penuh tantangan, tapi juga penuh kemungkinan. Senyumnya lebar, kadang disertai tawa yang pecah seperti kembang api. Ia tidak malu menjadi dirinya sendiri, bahkan ketika puisi-puisinya belum selesai dan hidupnya belum sepenuhnya terdefinisi. Ia adalah lautan yang dalam, susah diprediksi apa yang tiba-tiba mendatanganimu saat kau mencoba menyelaminya.

Aitana adalah karakter yang tidak bisa dikurung dalam satu kata. Ia bisa menjadi sahabat yang mendengarkan, bisa menjadi rival yang memacu semangat, bisa menjadi penyair yang membacakan puisi dengan suara gemetar tapi penuh nyala. Ia tidak takut gagal, karena baginya kegagalan adalah bagian dari ritme. Ia tidak takut dicemooh, karena ia tahu bahwa keberanian bukan tentang diterima, tapi tentang tetap melangkah.

Ia adalah gadis yang menyalakan suasana, bukan karena ingin menjadi pusat perhatian, tapi karena ia membawa api kecil dalam dirinya: api semangat, api puisi, api keberanian. Ia bisa bersahabat dengan siapa saja, dari mahasiswa teknik yang pendiam hingga seniman yang eksentrik. Ia tidak memilih-milih, karena baginya setiap orang adalah cerita yang layak didengar. Ia percaya setiap orang adalah sumber ilmu bagi dirinya.

Jika Tisya adalah akar yang diam, maka Aitana adalah bunga liar yang tumbuh di tepi jalan: tak terduga, tapi indah. Ia adalah puisi yang meledak bukan karena kata-katanya sempurna, tapi karena jiwanya menyala. Ia adalah metafora dari perempuan yang tidak ingin dipoles, tapi ingin dikenali. Ia adalah suara yang tidak selalu halus, tapi selalu jujur.

Setiap pagi, Aitana bangun sebelum matahari benar-benar terbit. Ia tidak pernah menyalakan alarm—tubuhnya sudah hafal ritme dunia. Ia menyeduh teh manis, lalu melakukan peregangan ringan di halaman rumah. Kadang ia berlari kecil di gang sempit kampungnya, menyapa tetangga yang membuka warung, atau sekadar menyapa kucing liar yang ia beri nama “Pablo Neruda”. Ia percaya bahwa puisi bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tubuh seekor kucing yang kelaparan.

Di kampus, Aitana seperti percikan api. Ia bisa hadir di rapat UKM Atletik, lalu pindah ke diskusi sastra tanpa kehilangan semangat. Ia mencatat dengan cepat, kadang di buku lusuh yang penuh coretan puisi, kadang di punggung tangan jika tidak sempat membuka halaman. Ia tidak pernah benar-benar diam. Bahkan saat duduk, pikirannya berlari: tentang lari jarak jauh, tentang bait yang belum selesai, tentang teman yang sedang patah hati.

Malam hari, ia sering duduk di teras rumah, menyalakan lampu kecil, dan menulis puisi sambil mendengarkan suara jangkrik. Ia tidak menulis untuk lomba, ia menulis untuk melepaskan. Kadang ia menangis pelan, bukan karena sedih, tapi karena terlalu banyak rasa yang tidak bisa dijelaskan. Ia percaya bahwa tubuh manusia menyimpan banyak puisi, dan tugasnya adalah membebaskan satu per satu.

Masa kecil Aitana tidak selalu cerah. Ia tumbuh di rumah yang sempit, dengan ayah yang sering pergi dan ibu yang bekerja sebagai buruh cuci. Ia belajar berlari bukan karena ingin menang lomba, tapi karena harus mengejar waktu: mengantar cucian, membeli sabun, menjaga adik. Ia belajar menulis bukan karena diajari, tapi karena ingin bicara pada dunia yang terlalu sibuk untuk mendengarkan. Ia menulis di balik kertas bungkus nasi, di dinding kamar, bahkan di pasir halaman.

Lihat selengkapnya