RESONANSI ROMENI

Desto Prastowo
Chapter #5

Dalam Diam yang Bernapas

Ketika dunia meminta pilihan, Tisya justru mengajarkan cara untuk berhenti sejenak dan mendengarkan. Dan di situlah, di antara kesunyian dan tatapan yang singkat, Romeni akhirnya menemukan sesuatu yang selama ini ia cari—bukan jawaban, melainkan ketenangan.

Di antara Aitana yang meledak-ledak dengan puisinya, dan Liana yang tajam dengan logikanya, Tisya hadir seperti air jernih di sela batu-batu di sungai : tenang, sederhana, dan kokoh. Ia tidak menyalakan api, tidak meniup badai. Ia hanya meneteskan kesejukan yang membuat siapa pun ingin berhenti sebentar, menarik napas, dan merasa hidup.

Ia tidak pernah mencoba menaklukkan Romeni dengan kata-kata besar. Tidak menuntut ruang dengan suara yang keras. Ia hanya hadir—menyimak, memperhatikan, dan memberi isyarat kecil bahwa ia peduli. Kadang melalui tatapan yang tak sampai dua detik, kadang lewat secarik kertas catatan kecil yang aromanya masih menyimpan debu buku.

Romeni mulai menyadari: setiap kali dirinya terombang-ambing oleh badai perasaan—antara rasa bersalah pada Tisya, kekaguman pada Aitana, atau debat logika yang tak berujung dengan Liana—kehadiran Tisya selalu menjadi jangkar. Ia seperti nada rendah dalam simfoni yang bising: tak mencolok, tapi tanpa dirinya musik itu kehilangan keseimbangan.

Ada sesuatu dalam kesederhanaannya yang membuat dunia tiba-tiba terasa tidak serumit itu.

Toko Kelontong

Sore itu, selepas kuliah, langkah Romeni tanpa sadar membawanya ke arah toko kelontong keluarga Tisya. Dari luar, ia melihat Tisya sedang menata rak berisi botol kecap dan minyak goreng. Gerakannya teratur, seperti orang yang sudah hafal setiap jarak antar botol dan warna labelnya. Lampu toko memancarkan cahaya kuning hangat yang menempel lembut di kulitnya. Ada aroma sabun cuci, ada wangi rempah kering, ada denting sendok logam yang jatuh di lantai—semuanya terasa seperti potongan kecil dari hidup yang nyata.

Romeni berdiri cukup lama di luar pintu, menatap tanpa berani melangkah masuk.

Dalam diam itu, ia melihat hal-hal yang tak pernah tampak sebelumnya: kesederhanaan yang bukan karena pasrah, tapi karena sudah berdamai dengan kenyataan.

Ia tahu, Tisya bukan hanya gadis pemalu yang duduk dua baris di belakang kelas. Ia adalah seseorang yang ditempa oleh kehilangan, dibesarkan oleh keikhlasan, dan diajari tanggung jawab sebelum sempat bermimpi besar.

Dan mungkin justru karena itulah, Tisya memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Aitana maupun Liana: ketenangan yang lahir dari menerima hidup apa adanya.

Ketika akhirnya Tisya menyadari kehadirannya, ia hanya tersenyum kecil setengah kaget—senyum yang tidak berusaha memikat, tapi cukup untuk meluruhkan seluruh kegelisahan di dada Romeni.

Untuk pertama kalinya, ia berpikir: mungkin yang ia butuhkan bukan seseorang yang menyalakan api dalam dirinya, atau menantangnya dengan logika dan retorika, tapi seseorang yang membuatnya bisa bernapas tanpa takut kehabisan udara.

Senja di Kampus

Senja di kampus selalu punya cara sendiri untuk meluruhkan lelah.

Langit jingga menggantung di atas gedung fakultas, dan bayangan pepohonan memanjang seperti menyentuh langkah-langkah mahasiswa yang pulang terburu-buru. Di bangku beton dekat taman psikologi, Romeni duduk dengan buku statistik terbuka, tapi pikirannya jauh dari angka.

Tisya datang tanpa suara, seperti biasa. Ia membawa dua gelas teh hangat dari kantin. Salah satunya ia letakkan di samping Romeni tanpa berkata apa-apa.

“Teh ini bukan untuk meningkatkan konsentrasi,” katanya pelan, “tapi untuk menghangatkan statistik yang dingin.”

Romeni tersenyum tipis. “Kalau statistik punya suhu, mungkin aku sudah hipotermia.”

Mereka tertawa kecil. Tak ada yang berusaha mendominasi percakapan. Tak ada yang merasa perlu mengisi setiap jeda. Di antara mereka, diam adalah bentuk komunikasi yang paling jujur.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama.

Suara langkah sepatu boots terdengar mendekat. Liana muncul dari arah gedung debat, mengenakan blazer hitam dan membawa map penuh kertas. Ia baru saja selesai memimpin diskusi publik tentang kebijakan subsidi BBM dan dampaknya terhadap ruang fiscal pada APBN.

“Statistik hipotermia?” katanya sambil duduk di sisi lain bangku. “Kalian sedang membahas efek dinginnya birokrasi terhadap mahasiswa?”

Romeni tersenyum canggung. “Lebih ke dinginnya data regresi yang nggak mau nyambung.”

Tisya hanya menunduk sedikit, menyembunyikan senyum. Ia tahu, Liana tidak pernah datang tanpa membawa argumen.

“Kalau regresi nggak nyambung, mungkin variabelnya salah,” lanjut Liana. “Atau ada multikolinearitas. Seperti hubungan manusia—terlalu banyak variabel yang saling tumpang tindih.”

Tisya menatap Romeni sekilas. Romeni menatap teh di tangannya, seolah mencari jawaban di dasar gelas.

“Ngomong-ngomong,” kata Liana, “kalian ikut kuliah umum filsafat politik minggu depan? Aku jadi moderator. Topiknya tentang relasi kuasa dalam ruang publik.”

“Menarik,” jawab Romeni. “Tapi aku belum tahu bisa hadir atau nggak.”

“Kalau kamu hadir, aku bisa pastikan diskusinya lebih hidup,” kata Liana sambil menatap langsung ke arah Romeni. Tatapannya tajam, tapi tidak menusuk. Lebih seperti undangan yang tak bisa ditolak.

Tisya merapikan gelas teh kosongnya. “Aku juga tertarik,” katanya pelan. “Tapi aku lebih suka jadi pendengar.”

“Pendengar yang cermat bisa lebih berpengaruh daripada pembicara yang dominan,” kata Romeni, tanpa sadar menoleh ke Tisya.

Lihat selengkapnya