RESONANSI ROMENI

Desto Prastowo
Chapter #6

Retakan di Luar Diri

Dokter berbicara pelan, tapi kata-katanya menggema lebih keras daripada sirene: “Kecapaian, kurang istirahat, pola makan yang salah. Jantungnya mulai bermasalah.”

Hari itu, langit tak benar-benar mendung, tapi cahaya terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung, menekan dada tanpa alasan. Di rumah yang dulu ramai oleh suara pelanggan dan tawa ibu, kini hanya terdengar detak jarum infus dan napas ayah yang tertahan.

Dokter berbicara pelan, tapi kata-katanya menggema lebih keras daripada sirene: “Kecapaian, kurang istirahat, pola makan yang salah. Jantungnya mulai bermasalah.”

Romeni menatap ayahnya yang terbaring. Tubuh yang dulu kuat mengangkat karung beras, air mineral gallon, kini ringkih seperti daun tua. Bukan hanya jantung ayah yang retak, tapi juga fondasi hidup yang selama ini ia anggap kokoh. Tabungan keluarga terkuras, toko kelontong yang sudah berkembang baik tiba-tiba harus kehilangan banyak modal karena tersedot untuk membiayai perawatan. Ibu yang selalu membutuhkan ayah untuk menangani segala macam mobilisasi dagangan di toko kini kesulitan. Dunia yang dulu stabil mulai bergoyang, seperti dinding rumah yang retaknya makin melebar setiap malam hujan.

Dan di sela kepedihan itu, kenangan menyeruak:

Ia masih ingat betul, usia sepuluh tahun, pertama kali ikut turnamen sepak bola usia, antar-desa. Lapangan berdebu, garis gawang hanya dicat kapur seadanya. Dari pinggir lapangan, ayah berdiri dengan topi lusuh, menepuk-nepuk karung beras yang baru saja ia angkat dari pasar. Senyumnya lebar, tepuk tangannya paling keras.

“Lari terus, Men! Jangan berhenti!” teriaknya.

Sejak hari itu, suara ayah selalu ada. Entah ia bermain di turnamen kecil atau pertandingan kampus, entah penontonnya puluhan atau ribuan, di telinga Romeni gema tepuk tangan itu tak pernah hilang.

Kini, melihat ayah terbaring lemah, suara itu seperti berganti nada: bukan lagi semangat, melainkan permintaan yang tak terucap—berjuanglah, tapi jangan lupakan aku.

Romeni pun mengambil kerja sampingan: melatih anak-anak di sekolah sepak bola, menjadi asisten riset, bahkan sesekali mengantar barang dengan motor butut. Tubuhnya tetap disiplin, tapi batinnya mulai lelah.

----

Di sore yang basah oleh gerimis, Romeni duduk di teras rumah sakit, mengenakan jaket tipis yang tak cukup menghangatkan. Matanya menatap kosong ke arah taman kecil yang ditumbuhi rumput liar. Ia baru saja selesai mengurus administrasi tambahan untuk ayahnya. Biaya terus bertambah, dan tabungan keluarga mulai menipis seperti lembaran harapan yang digerus waktu.

Langkah pelan terdengar dari belakang. Tisya datang, mengenakan sweater abu-abu dan membawa termos teh hangat dalam tas kain bergambar daun. Ia tak langsung bicara. Hanya duduk di samping Romeni, membuka tutup termos, dan menuangkan teh ke dalam gelas plastik kecil.

“Aku tahu kamu nggak suka teh manis,” katanya pelan. “Jadi ini cuma teh pahit, tanpa gula. Tapi hangat.”

Romeni menerima gelas itu, mengangguk pelan. Uap teh naik perlahan, seperti doa yang tak sempat diucapkan.

“Ayahmu gimana?” tanya Tisya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan yang mulai deras.

“Masih lemah. Dokter bilang harus dirawat lebih lama. Biayanya... ya, kamu tahu sendiri.”

Tisya mengeluarkan amplop kecil dari saku sweaternya. Ia tak menyodorkannya langsung, hanya meletakkannya di pangkuan Romeni.

“Ini nggak seberapa. Tapi aku ingin kamu tahu... kamu nggak sendirian.”

Romeni menatap amplop itu. Isinya mungkin tak cukup untuk membayar satu malam di ruang perawatan. Tapi ada sesuatu yang lebih mahal dari angka: ketulusan yang tak meminta balasan.

“Aku nggak tahu harus bilang apa,” ujar Romeni.

“Jangan bilang apa-apa,” potong Tisya. “Cukup minum tehnya. Dan kalau kamu butuh teman, aku akan selalu ada. Kamu harus kuat dan pasti kuat. Aku tahu siapa dirimu.”

Romeni menunduk. Di antara semua tawaran bantuan yang datang, ini yang paling ringan, tapi paling dalam. Ia menulis di jurnal malam itu:

“Ada cinta yang tak bersuara, tapi menggenggam erat. Seperti teh pahit di sore hujan, ia tak menyembuhkan, tapi menenangkan.”

Beberapa hari kemudian, Tisya datang lagi. Kali ini membawa buku puisi lama yang pernah mereka diskusikan di kelas. Ia membuka halaman yang ditandai dengan daun kering.

“Bacalah saat kamu lelah,” katanya. “Puisi ini tentang seseorang yang tak punya apa-apa, tapi tetap berjalan. Seperti kamu.”

Romeni membaca bait pertama:

Ia tak membawa pelita, hanya langkah yang tak berhenti.

Di gelap yang tak menjanjikan pagi, ia tetap percaya pada kaki sendiri.

Dan untuk pertama kalinya sejak ayahnya dirawat, Romeni menangis. Bukan karena lemah, tapi karena akhirnya ia merasa dilihat, bukan sebagai beban, tapi sebagai manusia yang sedang berjuang.

----

Di antara notifikasi tagihan rumah sakit dan pesan dari pihak administrasi, satu email datang dengan subjek yang berbeda: “Untukmu, yang berlari tanpa peluit.” Dari Aitana.

Romeni membukanya di sela istirahat melatih anak-anak SSB. Di layar ponsel yang retak di sudut, puisi itu terbuka seperti jendela kecil ke dunia yang lebih lembut:

Ada anak berlari membawa beban dunia,

bukan karena ia kuat, tapi karena tak ada yang lain.

Cinta tak bisa membeli obat,

Lihat selengkapnya