Romeni tersenyum tipis, getir.
“Yang paling menakutkan bagiku, kita hidup di zaman ketika laki-laki dipuji karena ketidakhadiran, dan perempuan disalahkan karena kelelahan.”
Senja merambat pelan di halaman perpustakaan kecil itu. Angin menggeser daun trembesi, menebarkan bayangan yang bergerak di lantai semen—seperti kenangan yang enggan diam.
Liana duduk di kursi rotan tua, lembaran koran yang memuat opini Romeni masih tergenggam di tangannya. Matanya terpaku pada paragraf terakhir, yang menulis tentang anak-anak yang tumbuh dalam kesunyian, ditemani bayangan ayah yang hanya hidup di pigura keluarga. Opini Romeni di sebuah surat kabar local itu berjudul, “Absennya Ayah, Ancaman bagi Generasi Emas 2045.”
Liana dengan suntuk membaca setiap kata dalam opini itu dan akhirnya sampai di paragraph terakhir :
Maka pertanyaannya kini: apakah kita akan terus membiarkan anak-anak mewarisi sunyi, atau bersama menghadirkan ayah yang benar-benar hidup dalam perjalanan tumbuh mereka? Jawaban itu akan menentukan: apakah masa depan bangsa ini dibangun di atas kehangatan, atau di atas kekosongan yang kita biarkan.
Generasi tak hanya diwarisi tanah dan harta, tetapi juga kehadiran. Dan kehadiran ayah adalah warisan paling berharga.
Romeni datang membawa dua cangkir teh hangat. Ia tidak berkata apa-apa, hanya meletakkan satu di depan Liana, lalu duduk di kursi seberangnya. Jarang sekali Romeni membawakan teh untuk Liana, yang sering terjadi adalah kebalikannya.
Diam mereka bukan kosong; ia berisi gema yang menunggu untuk diartikan.
“Rom,” suara Liana akhirnya pecah, lirih tapi menembus.
"Tulisanmu... it’s not just an article. It’s a mirror. A painful one."
Romeni menatap uap teh yang naik perlahan, dengan sabar menunggunya dingin.
"I didn’t expect it to hit that deep. But I know you—your radar for silent wounds is always sharp."
Liana menarik napas, panjang dan berat.
"You called it ‘fatherless’. But what I felt... it’s more than that. They didn’t just lose a figure, Rom. They lost their anchor. Their right to ask. Their right to feel safe."
Romeni mengangguk pelan.
"Exactly. We build schools, but forget to build homes. We teach formulas, but forget to teach presence."
Liana menatapnya dalam, seperti menelusuri makna di balik tiap kata.
“Rom, tulisanmu seharusnya tidak berhenti di lembar opini. Ia harus menjadi gerakan. Sebuah seruan untuk membayangkan ulang makna kelelakian, untuk mendefinisikan kembali apa artinya menjadi ayah. Dan seperti kuduga di negeri ini fenomena buruk ini sudah dinormalisasi.”
Romeni tersenyum tipis, getir.
“Yang paling menakutkan bagiku, kita hidup di zaman ketika laki-laki dipuji karena ketidakhadiran, dan perempuan disalahkan karena kelelahan.”
Liana mengangguk, suaranya bergetar.
“Dan anak-anak... mereka tumbuh sambil membawa diam. Mereka belajar bahwa cinta bisa ditunda, dan kehadiran bisa ditawar.”
Romeni menatapnya penuh empati.
“That's why I wrote it. Not to accuse, but to awaken. We need fathers who show up—not just for birthdays, but for breakdowns.”
Liana mengangkat cangkir tehnya.
“Then let’s do more, Rom. Let’s write, teach, speak. Let’s build spaces where men learn to be tender without shame.”
Romeni tersenyum.
“Untuk para ayah yang memilih untuk tetap hadir.”
Liana menjawab, pelan tapi penuh tenaga.
“Untuk anak-anak yang berhak atas kasih, bukan sekadar bayangan.”
Mereka saling menatap. Dalam diam itu, lahir sebuah janji yang tak terucap—bahwa mereka akan menjadi suara bagi ruang-ruang sunyi; bahwa tulisan mereka bukan sekadar bacaan, tapi nyala kecil yang menyalakan kesadaran.
Di luar, langit mulai gelap. Tapi di dalam hati mereka, sebuah cahaya baru sedang lahir—pelan, namun pasti, seperti subuh yang menolak padam.
Menyerap Getaran Tanpa Memantulkan
Ada hari-hari ketika udara terasa penuh gema, bukan dari suara, tapi dari getaran hati yang tak saling menyapa. Romeni berdiri di tengahnya, seperti batu karang yang dihantam tiga gelombang sekaligus—tak tenggelam, tapi perlahan terkikis.
Tisya makin sering hadir. Duduk di dekatnya saat diskusi kelas, menyodorkan buku tanpa kata, menatap lama lalu berpaling. Diamnya bukan hampa, tapi padat. Seperti kabut yang menyimpan hujan. Romeni merasakannya, tapi tak tahu bagaimana menjawab diam yang begitu penuh.
Aitana berbeda. Ia menulis puisi dan menyelipkannya di sela buku perpustakaan. Tentang tubuh yang berlari mengejar bayangan, tentang mata yang tak berani menatap cahaya. Ia tak menyembunyikan rasa, tapi justru menyalakannya seperti api kecil di malam dingin. Perhatian Aitana bukan sekadar gestur, tapi irama yang menuntut balasan. Dan Romeni, yang terbiasa menyerap, tak tahu cara memantulkan.
Liana, yang sejak awal berjalan bersisian dengan Romeni, mulai gelisah. Ia tak lagi bertanya dengan nada lembut, tapi menuntut kejelasan. “Kita ini apa?” katanya suatu sore, saat langit menggantungkan awan seperti pertanyaan. Romeni tak menjawab. Ia hanya menunduk, mencatat sesuatu di jurnalnya: “Aku menyerap semua getaran, tapi tak memantulkan.”
Dan di sanalah konflik halus mulai tumbuh. Tisya merasa Aitana terlalu bising, terlalu mendesak. Aitana menganggap Liana terlalu posesif, terlalu mengikat. Liana merasa Tisya terlalu hadir, terlalu dekat. Tapi tak satu pun dari mereka menyebut nama Romeni sebagai sumber. Ia hanya menjadi pusat gravitasi yang tak pernah bicara.
Romeni sendiri terhimpit. Ia bukan tak tahu, tapi tak mampu memilih. Baginya, setiap getaran adalah bentuk cinta yang berbeda. Tisya adalah kabut yang menenangkan. Aitana adalah api yang membakar semangat. Liana adalah tanah yang memberi pijakan. Tapi resonansi mereka tak seirama. Dan tubuh Romeni, yang selama ini menjadi modal hidup, mulai lelah menahan gelombang yang saling tabrak.
Ia berlari lebih jauh, lebih pagi. Menulis lebih banyak, tapi tak satu pun dikirim. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah tubuh bisa menjadi pelindung batin, jika batin sendiri tak tahu arah?
-----
Langit sore di pelataran fakultas itu seperti kanvas yang belum selesai.
Jingga memudar di antara pohon flamboyan, dan suara sepeda motor mahasiswa berlalu-lalang seperti jeda dalam simfoni yang tak sinkron.
Romeni duduk di tangga batu, membuka jurnalnya, mencoret satu kalimat, lalu menulis ulang:
“Aku menyerap semua getaran, tapi tak memantulkan.”
Ia tidak tahu pasti untuk siapa kalimat itu. Mungkin untuk dirinya sendiri—yang terlalu sering menampung tanpa berani menolak.
Liana datang dengan langkah cepat, rambutnya tersapu angin, membawa dua cup kopi mahal dan tote bag berisi buku-buku tebal yang jarang disentuh selain untuk terlihat penting.
“Aku tahu kamu suka yang pahit tapi nggak terlalu pahit,” katanya sambil menyodorkan cup. “Ini kopi Ethiopia, ada hint blueberry. Mahal, tapi worth it.”
Romeni menerima dengan senyum kecil. Ia tak enak menolak, seperti biasa. Cup kopi itu mungkin sudah yang kesekian kalinya.