“Orang mencari cinta kemana saja, akan tetapi cinta sendiri yang akan menemukan kekasihnya.”
Di antara sorak yang telah reda dan tribun yang perlahan kosong, Romeni berdiri di ambang keputusan. Langkah orang-orang meninggalkan jejak kaki dan kertas-kertas sampah yang beterbangan di lantai semen. Lampu stadion mulai meredup, menyisakan cahaya kekuningan yang pecah di bangku-bangku besi. Bau keringat dan debu bercampur dengan aroma hujan yang menggantung di udara. Pertandingan final sore ini seolah turut menekan Romeni untuk mengambil keputusan. Ia tidak bisa terus mengelak apalagi mencari alasan. Saatnya telah tiba.
Tisya duduk di bangku paling ujung, memeluk botol minuman yang sudah kehilangan dinginnya. Romeni merasa lega melihatnya datang—ia memang mengundangnya sebab sudah beberapa pertandingan telah Tisya lewatkan dan itu membuat Romeni galau. Tisya tidak menuntut apa pun. Ia hanya hadir, seperti embun yang tak pernah meminta daun untuk memilih. Kesabarannya memberi ruang bagi dunia yang terlalu riuh ini untuk berhenti sejenak.
Namun di dada Romeni, sesuatu terus bertarung. Ia tahu, satu langkah mendekat berarti menutup pintu lain yang selama ini tak pernah benar-benar ia tutup. Hatinya goyah, seperti jembatan gantung yang berayun dalam angin: antara ingin menapak dan takut jatuh.
Akhirnya, ia melangkah pelan. Tak ada kata yang ia siapkan, hanya tatapan yang akhirnya berani menetap. Tisya menoleh, dan untuk pertama kalinya, Romeni mengangguk. Isyarat kecil, tapi cukup untuk mengatakan: “Aku ingin mencoba tenang bersamamu.”
Ada getar asing di dadanya—leganya seorang pejuang yang akhirnya memilih jalan pulang, tapi juga ngeri karena sadar banyak hati yang harus ia tinggalkan di belakang.
Tisya tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, senyum yang tak penuh euforia, tapi hangat dan lembut, lalu berkata pelan,
“Kalau kamu lelah, aku bisa jadi tempat duduk. Kalau kamu bingung, aku bisa jadi diam yang tak menghakimi. Aku akan menjadi supportermu yang setia.”
Kata-kata itu jatuh pelan ke hati Romeni, seperti tetes air di tanah kering. Ia merasa ditawarkan rumah, bukan sekadar pelarian.
Namun kebahagiaan itu hanya sebentar. Di sudut tribun, Aitana berdiri. Bayangannya memanjang di lantai, terpotong cahaya lampu yang makin redup. Di tangannya, ada lembaran puisi yang belum sempat ia serahkan. Kata-kata yang ia tulis dengan gemetar, dengan harap, dengan cinta yang tak pernah berani ia beri nama.
Ia berjalan mendekat, langkahnya ragu namun tegas. Lalu berhenti beberapa langkah dari Romeni.
“Aku tahu kamu telah mengambil keputusan dan jelas tak memilihku,” suaranya nyaris pecah, “tapi aku ingin kamu tahu, puisi ini bukan tentang menang atau kalah. Ini tentang keberanian mencintai seseorang yang tak pernah benar-benar membuka pintu.”
Romeni merasakan dadanya diremas. Ia ingin menghentikan waktu, ingin merebut kertas itu, ingin berkata sesuatu—apa saja—agar Aitana tahu betapa berharganya ia. Namun lidahnya kelu. Ia akan merindukan puitisnya Aitana di kala senja hari dan semangatnya yang terus berkobar.
Aitana menunduk, lalu merobek puisinya perlahan. Lembaran kertas itu jatuh satu per satu, ditangkap angin malam, beterbangan di antara bangku-bangku kosong. Suaranya bagai desah hati yang patah: sunyi tapi menusuk. Romeni ingin berlari mengejarnya, tapi kakinya terpaku, seolah tanah menolak melepasnya.
Aitana berbalik, pergi tanpa menoleh. Jejaknya tertinggal, tak kasat mata, tapi membekas di dada Romeni lebih dari sorakan stadion manapun.
Dan Liana, yang selama ini berdiri tegak dengan keyakinannya, melangkah mendekat. Langkahnya mantap, tidak terburu, tapi penuh kejelasan. Ia tidak membawa ultimatum, tidak pula amarah. Yang ia bawa hanyalah ketegasan seorang perempuan yang tahu siapa dirinya.
“Kamu sudah memilih. Dan aku menghormatinya.”
Suaranya tenang, nyaring, namun meninggalkan retakan halus di hati Romeni.
Ia menatap Romeni lama, sorot matanya seperti cahaya lampu sorot yang menelanjangi segala rapuh. Lalu ia menambahkan,
“Mungkin aku terlalu wah untukmu. Tapi bukan karena kamu kecil. Mungkin karena kamu belum percaya bahwa kamu pantas berdiri di tempat yang terang.”
Kata-kata itu menancap. Romeni menunduk, tak sanggup membalas tatapan Liana. Di hadapan Liana, ia selalu merasa seperti bayangan yang takut menyentuh cahaya. Ia sadar—bukan Liana yang menuntut terlalu banyak, tapi dirinya yang belum cukup percaya bahwa ia layak berjalan sejajar. Namun Romeni juga mahfum bahwa mulai saat ini ia akan kehilangan banyak hal dari Liana, diskusi yang berbobot dan kemudahan dalam banyak hal.
Malam itu, di kamar yang sunyi, ia menulis di jurnal:
“Memilih berarti juga melukai. Dan kadang, luka itu bukan karena kita jahat, tapi karena kita belum cukup utuh untuk menampung semua cinta sekaligus.”
-----
Malam merambat pelan ketika Romeni bersandar di teras rumah sakit, menunggu sang ayah yang tengah diperiksa dokter dalam kontrol rawat jalan. Udara lembap menggantung di antara bau obat dan aroma hujan yang baru saja pamit dari langit. Di sampingnya, Tisya duduk tanpa suara, matanya nyaris tak bergerak—seperti menyimpan semesta dalam diam yang tak ingin pecah.
Ia tidak bertanya apa pun, tidak memaksa Romeni bercerita. Hanya ada napas yang pelan, dan tatapannya yang mengarah ke kejauhan. Seolah ia tengah menjaga sesuatu yang rapuh—bukan Romeni, tapi ruang di antara mereka berdua. Ruang yang tidak perlu penuh kata-kata agar tetap utuh.
Di tangan Romeni, selembar kertas puisi Aitana yang sempat ia pungut dari tribun. Sudah lecek, basah, beberapa huruf terhapus seperti ingin menghilang namun masih bertahan. Romeni menelusuri sisa tinta itu dengan ibu jarinya, seperti seseorang yang mencoba mengingat suara yang hampir terlupakan.
Ia menarik napas perlahan.
“Aku melukai mereka,” bisiknya, entah kepada Tisya atau kepada dirinya sendiri.
Tisya tidak menoleh. Tidak langsung.
“Memilih selalu begitu,” jawabnya lembut. “Karena kita tidak pernah punya dua tangan untuk menggenggam semuanya.”
Kalimat itu sederhana. Tidak menawarkan pembenaran. Tidak memoles luka. Hanya kebenaran yang tenang.