Suatu sore, di perpustakaan kampus, Romeni menemukan Liana duduk sendirian. Tidak dengan buku politik atau ekonomi seperti biasanya. Kali ini, yang ada di tangannya adalah kumpulan puisi. Rambutnya diikat sederhana, tanpa riasan, tanpa aksesori yang biasanya mengikuti langkah glamournya.
Kejadian langka, pikir Romeni.
Justru karena itu ia berhenti di tempat.
Tidak ada aura melankolis. Tidak ada tatapan berkabut seperti yang dulu sempat membuatnya merasa bersalah.
Ia tampak… biasa.
Biasa yang baru.
Biasa yang tak lagi menunggu siapa pun untuk kembali.
Liana menyadari tatapan itu. Ia menutup bukunya pelan dan menatap Romeni—bukan dengan kelembutan, bukan dengan dendam. Netral. Seperti seseorang yang sudah berdamai dengan seluruh bab yang menyakitinya.
“Hai,” katanya.
Bukan lirih, bukan getir. Sekadar sapaan.
“Hai,” jawab Romeni.
Ada jeda.
Tapi bukan jeda canggung.
Hanya jeda dari dua orang yang pernah saling ada terlalu dekat, terlalu lama, hingga akhirnya harus saling melepas.
“Kamu baik?” Romeni bertanya. Ia tak yakin pantas menanyakan itu, tapi pertanyaan itu keluar juga.
Liana tersenyum—pendek, singkat, namun jujur. Senyum dari seseorang yang sudah menerima lukanya seperti menerima bentuk tubuh sendiri: tidak sempurna, tapi miliknya.
“Aku belajar untuk baik,” katanya. “Bukan menunggu baik.”
Ucapan itu menyentuh sesuatu dalam diri Romeni—seperti benang halus yang tiba-tiba ditarik dari dalam dadanya.
Ia ingin bilang maaf.
Ingin menjelaskan.
Ingin menyusun kata-kata yang dulu tak sempat ia ucapkan.
Tapi Liana mendahului, dan dengan nada yang begitu ringan hingga terasa berat:
“Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa, Men. Kita sudah sampai pada akhir cerita kita. Dan tidak semua yang berakhir itu harus disesali. Hidup harus terus berjalan…”
Kata-kata itu jatuh tanpa dramatis, tapi menggema lama.
Ia kemudian berdiri, mengemasi bukunya.
“Kita baik-baik saja,” ujarnya. “Tapi kita tidak perlu kembali. Jangan merasa bersalah. Konsekuensi selalu menyertai setiap keputusan, begitulah hidup. Dan, kita semua harus selalu siap dengan konsekuensi dari setiap keputusan kita.”
Dan ia pergi. Tanpa menoleh.
Bukan karena ingin melupakan,
tapi karena ia telah selesai mencintai tanpa balasan.