Resonansi Semesta

Malaika Farida
Chapter #1

Dunia Kedua

"Leo!" Miranda tersentak dari tidurnya.

"Mimpi lagi?" Miranda menggangguk ringan, beringsut dari tubuh Okta. "Tubuhmu hangat?" tanya Okta dari posisi rebah. Kepala Miranda yang tadi tergeletak di atas perut telanjangnya memberi sinyal yang jelas. Okta memang bionik pada awalnya, namun kini serat itu menjelma seutuhnya menjadi makhluk berperasaan. Karya Miranda selama di pengasingan. Pengasingan adalah nama yang tepat menurut Miranda. Setelah dentuman besar kembali menyapa bumi setelah jutaan tahun yang terulang. Kini dunia terbagi dua kaum, elit dalam kubah. Dan mereka yang terbuang. Terkatung dalam penderitaan. Bertarung dalam hukum rimba. 

"Hanya alarm."

"Kamu rindu, Leo?"

"Hahaha ... rindu?" Tawa Miranda terdengar sumbang. Ia yang memilih, dan sekarang tinggal menikmati konsekuensi.

Okta memandang langit hitam lewat genting kaca, membiarkan Miranda memeriksa gerigi-gerigi di rongga dadanya. Kemarin malam dia menelan semangkuk bayam yang pada akhirnya menjerat organ dalam. Memang sayuran tidak cocok untuknya. Namun sekali saja ia ingin benar-benar meyakinkan Miranda bahwa dirinya nyata. Bukan sekedar setumpuk serat yang dapat diajak bicara. Duduk dimeja makan dengan atmosfer kaku tentu bukan hal baik. Okta ingin menunjukkan peran bahwa dirinya bisa jadi Leo kedua. Saat Miranda menimbang-nimbang sendok makan tanpa minat saat itulah tanpa peringatan ia menumpahkan semangkuk bayam dalam mulut. Yang terakhir diingat adalah rasa tercekik dan wajah Miranda yang panik menariakkan kata bodoh.

Kiamat tidak datang tiba-tiba. Bisa jadi ia justru tamu yang dengan sengaja diundang. 


Okta mengamati wajah kusam Miranda. Ia telah menyaksikan setiap hembusan dan tarikan napas Miranda. Diantara balutan lemak dan protein itu terdapat hati baja yang tiada akan berkarat.

....

Pagi itu hembusan angin sangat dasyat. Tanpa lolongan tapi getarannya membuat dunia luluh lantak. Semua orang berlari, saling sikut dan dorong untuk sekubik tempat di bungker. Satu tepuk tangan untuk pemerintah, karena berhasil menggunakan uang pajak untuk sesuatu yang berguna. 

Miranda turut antre, terombang-ambing dalam kerumunan. Pasukan berseragam loreng menjaga pintu masuk. Berjubel, semua tidak ingin ketinggalan. Di belakang sana awan debu membumbung, hawa panas siap melelehkan kulit. Seorang lelaki dengan baju tebal, leher dililit syal menggenggam erat tangan Miranda. Lelaki itu batuk hampir tanpa jeda. Miranda berkali-kali melongok jam tangan merah yang melingkari tangan kirinya. Tetesan detik membuat jantung berdentam-dentam oleh rasa khawatir.

Satu persatu ID disidorkan. Mereka bagaikan antri untuk sebuah undian. 

Miranda mendengar seorang penjaga meneriakkan sesuatu. Tidak jelas. Seperti sisa tempat dalam bungker. Namun dengan insting ia mendorong Leo ke depan. Lalu dalam seperkian menit yang singkat ada suara desis yang keras. Gerbang memisahkan mereka. Leo ingin mengajukan protes tetapi perempuannya telah berbalik arah dengan gaya acuh tak acuh. Kadang Leo suka bertanya apa arti kebersamaan mereka. Sungguh sangat konyol sebenarnya seorang lelaki menyimpan pertanyaan melankolis seperti itu. 

Miranda sudah berkorban, Leo bertekad akan melanjutkan sisa hidupnya di sini dengan separuh hatinya yang koyak. Ia juga berjanji pada diri sendiri suatu saat nanti Miranda akan dibawannya ke sini. Atau ia yang akan menyusulnya ke luar.


...

"Apa kamu merasa lahir kembali?"


Okta merenggangkan otot. "Tidak pernah seperti ini."


"Ulangi lagi lain kali," sindir Miranda. Benar-benar rongsokan. Tidak berpikir dimana Miranda akan mendapatkan sparepart jika dia berulah dan merusak komponennya.

Perempuan dengan potongan rambut cepak itu mencuci tangan di sebuah baskom yang airnya sudah kecokelatan. Isi kantongnya sudah semakin menipis untuk membeli butir-butir pil untuk menjernihkan air. Ia harus cukup puas mengandalkan temperatur panas dalam memasak untuk memusnahkan mikro organisme berbahaya. Hidup di luar kubah perlindungan memang keras.

Bisa dibilang seperti simulasi neraka.

Daging busuk terasa seperti steak di hotel bintang lima.


"Mau makan?" Tawar Okta membuka kaleng buah lalu menuangnya ke mangkuk.


Miranda menghempaskan bokong dikursi penuh karat di seberang meja.


"Aku selalu suka saat kita duduk untuk makan." Bionik itu menyodorkan dua butir analgesik. Sisa mereka menjarah kemarin lusa.


Kulit wajah Miranda belang, terpanggang sinar matahari dan rambut merah cepak yang tidak pernah dicuci maupun disisir. Ia melirik malas. Pikirannya dirambati ingatan akan kekasihnya. Masihkan bisa dibilang begitu. Pasti di dalam bungker banyak perempuan jelita yang antri untuk lelaki jangkung berkacamata seperti Leo. Dia punya pesona, hanya saja tidak pandai menciptakan obrolan.


Ada sedikit kelegaan saat mengingat Leo berhasil masuk ke bungker. Pusingan suspensi polusi pasti akan memotong hidupnya dengan sangat cepat. Tidak dapat dibayangkan jika lelaki itu harus menderita luka bakar cukup parah akibat radiasi. Dalam keadaan normal saja dia harus bersembunyi layaknya vampire.


....

Bungker dibangun dengan ilusi yang sempurna. Langit biru cerah dengan awan berarak. Bulan dan matahari bergilir dengan tempo tepat. Bangunan menjulang menggapai atap langit. Burung-burung melayang dikendalikan komputer. Leo membayangkan arsitekturnya seorang bocah hiperaktif dengan khayalan tingkat dewa.


Ia kembali berdiri di pinggir tembok pembatas. Beton dengan tingkat keamanan ekstra mencegah yang di dalam untuk keluar. Dan juga supaya tidak disusupi dari luar. Setiap hari jeritan di luar pagar bagai lolongan anjing rabies. Namun penduduk bangker bersikap tuli. 'Kalian hanya kuman,' begitu kira-kira batin mereka.


Leo berharap salah satu dari suara itu adalah Miranda. Rindu semakin menyesaki dada hingga rasanya ringsek. Lalu ia berpikir jika itu suara wanita yang memenuhi hati dan pikirannya, tindakan apa yang bisa ia ambil?


"Hay." Leo menoleh pada Vania. Polisi patroli yang sedikit bersahabat dengannya. Muda dan tampak sangat antusias dengan pekerjaannya. Anak society, semua keluarganya nyaman. Tidak ada yang akan mengganjal pikirannya.


"Lagi?"


"Tidak pernah lelah." Jawab Leo tersenyum tawar. Menimbang akan meminta tolong pada perempuan ini. Seharusnya tidak masalah jika bungker kehilangan satu penduduk. Tempat ini akan sedikit lapang. Perebutan oksigen sedikit diminalkan.


"Kalau memdengar ceritamu, perempuan itu ...."


"Namanya Miranda."


Lihat selengkapnya